x

Ilustrasi buku. Sxc.hu

Iklan

Setyaningsih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengalaman (Religius) Membaca

Kita mengingat bahwa pernah ada buku membuat tersenyum dan menangis di pojokan waktu dan peristiwa. Serupa kitab yang membawa pada jalan dipenuhi cahaya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Waktu pernah menerakan jejak pada pengalaman membaca yang religius. Setiap dari kita barangkali mengalaminya dengan aneka rupa rasa; haru, hening, bahagia, sunyi, atau sendu dipenuhi air mata. Kata-kata membuat hati tergetar atau justru tidak berdaya di depan semesta, tempat Tuhan menuntun kita menemukan misteri kata-kata. Ada syukur tidak terkira karena suatu masa sempat dipertemukan dengan bacaan yang bisa dikenang sepanjang waktu. Buku-buku tetap diingat secara mendalam sekaligus menentukan keberimanan untuk selalu ingin membaca. Keheningan merekam janji selalu beriman buku.

Secara rutin teralami di Indonesia, keluarga Muslim dibentuk oleh kebiasaan mendaras al-Quran. Usai Maghrib, lantunan itu membunyikan rumah-rumah meski kadar religiusitas tidak pernah sama. Sekalipun rutin, membaca al-Quran masih belum mencapai tataran spiritual. Terkadang anak-anak, baru sampai pada bujukan, menjalankan perintah orang tua, atau waswas bila esok ditegur guru. Namun, penghormatan pada kitab suci harus tetap terjadi yang menjadi awal penciptaan religiusitas membaca. Kitab suci harus ada di dalam keluarga meski jarang diimajinasikan sebagai buku.

Yang religius ini mesti dibarengi dengan tindak ragawi memperlakukan kitab suci. Tubuh harus suci dari segala kekotoran lewat basuhan air wudhu. Tidak elok menempatkan al-Quran di tempat rendah, apalagi sejajar dengan kaki. Penutupan yang sakral muncul saat wajah mencium kitab suci perlahan, tidak ingin melukai dan melewatkan. Segala tindakan adalah wujud dari emosionalitas membaca. Kitab suci mendapatkan tempat yang tinggi di waktu yang suci.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebaliknya, bisakah buku juga disebut sebagai kitab? Kita mendudukkan buku setara dengan kitab suci yang mendatangkan nikmat dan pahala, terlebih di bulan Ramadan. Menjelang 50-an, buku-buku bacaan untuk Sekolah Rendah ditulis secara ortodoks; kitab batjaan. Dua di antaranya Sinar (R. Soekardi, 1949) dan Titian (R.M. Djamain, 1950). Penyebutan kitab membawa kesan buku bacaan di sekolah tidak ingin terlintas begitu saja tapi menjadi kitab petunjuk dalam pembentukan budi, adab hidup, dan intelektualitas. Karena terbit sebagai kitab, buku seolah pantang dirongsokkan atau diusir dari rumah. Kitab berhuruf Latin menentukan keberimanan kepada membaca.

Permulaan

Di sekitar kita, agaknya muncul pernyataan bahwa buku bersifat sekuler. Jauh berbeda dengan kitab suci yang di sana ada ikatan menuju Tuhan. Ia begitu sulit diresepsikan sebagai manifestasi keilahian. Meski firman yang pertama turun berbunyi “Bacalah!”, umat yang sedemikian besar justru mencukupkan diri untuk membaca. Khaled Abou El Fadl dalam Musyawarah Buku (2002) mengatakan al-Quran sebagai “bacaan yang menjadi permulaan semua bacaan”. Sang Kitab telah membuka setiap lembar bagi pembaca yang bisa saja bodoh, terbatas, dan miskin pengalaman tapi teguh untuk memahami dan menghubungkan teks dengan rasa batinnya.

Tiada kesedihan selain menjadikan kitab suci sebagai bacaan tunggal dengan melupakan buku-buku yang lain. Seolah Tuhan tidak bisa ditemukan di sana. Segala buku untuk semakin dekat dengan kitab justru terabaikan. Bisakah kita menjadi kandidat calon pembaca, “Tuhan, melalui sebuah kitab tunggal, Engkau mentransformasi kami menjadi sebuah peradaban buku-buku.”

Daoed Joesoef menuliskan pengalaman religius membaca dalam novel biografis Emak (2005). Suatu senja menjelang malam Nuzulul Quran, emak memandikan Daoed di Sungai Baboera yang jernih. Malam itu sekaligus momentum penting bagi Daoed untuk mulai belajar membaca al-Quran di usia menjelang 4 tahun. Di rumah setelah peringatan di surau, “Dengan disaksikan oleh kakak-kakakku, bapak mula-mula mengajarkan membaca huruf-huruf Arab, dari Alif sampai Ya, berulang hingga tiga kali. Lalu bapak, emak, dan kakak-kakakku membaca bersama-sama lima ayat pertama dari surat Al ‘Alaq,…Ayat-ayat ini mereka baca lambat-lambat agar aku dapat mengikutinya sampai lima kali. Akhirnya bapak menutup upacara kecil ini dengan membaca doa.”

Upacara kecil menandai tubuh mewaktu dengan membaca. Di mulai dari keluarga, Daoed tidak hanya disakralkan membaca kitab suci. Malam itu adalah permulaan untuk kelak sampai pada buku-buku berhuruf Latin yang memuat segala ilmu duniawi dan buku-buku berhuruf Jawi yang membahas masalah keagamaan. Kitab suci mengawali diri berkelana menuju kata-kata lain yang tersembunyi. Membaca setara dengan sembahyang.       

Setiap pembacaan memiliki getaran dan kenangannya masing-masing. Setiap orang mengenang dan menyimpan pengalaman religius membaca. Kita mengingat bahwa pernah ada buku membuat tersenyum dan menangis di pojokan waktu dan peristiwa. Serupa kitab yang membawa diri pada jalan dipenuhi cahaya. Buku ikut menentukan laku beragama dan ber-Tuhan, melahirkan tanya sebagai buah rindu pada liku-liku iman. Berkitablah dan berbukulah!     

Ikuti tulisan menarik Setyaningsih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu