Mengejar Hak Pekerja di Ruang Domestik
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBagaimana pekerja rumah tangga bertahan di bawah bayang-bayang perbudakan modern
Mata pencaharian Sunarti sebagai pekerja rumah tangga mengharuskan ia berpindah dari satu apartemen ke apartemen lainnya. Dalam satu hari, Ia mesti menyelesaikan urusan rumah tangga di tiga griya tawang yang berjauhan. “Dulu nggak pernah kebayang jadi pembantu,” katanya, saat ditemui Rabu, 27 Juli 2016.
Sunarti bercerita, ia menjadi pekerja rumah tangga sejak 2007 pasca usaha dagangannya kandas. Ia tak bisa fokus bekerja sejak putra ketiganya meninggal. Sunarti tak punya pendapatan lagi. Apalagi, pendapatan suaminya sebagai pekerja serabutan juga tak cukup untuk menghidupi kelima anaknya. Ia lalu memutuskan menjadi pekerja rumah tangga.
Keluarganya menentang ide Sunarti. Profesi yang ia pilih dianggap kurang bermartabat di lingkungannya. Tapi, ia tetap berkeras meski saat itu gajinya hanya Rp 300 ribu. Pendidikannya yang hanya sekolah dasar, membuat ia berpikir, hanya pekerjaan itulah yang bisa ia ambil.
Kondisi ekonominya tak kunjung membaik. Ia hanya bertahan empat bulan dan mencari peruntungan lain.
Melalui seorang teman, perempuan berusia 38 tahun itu mendapat informasi yang membuatnya tergiur. Dengan pekerjaan yang sama, menjadi pekerja rumah tangga di rumah ekspatriat menawarkan gaji lebih tinggi. Ia pun mencoba melamar dan diterima bekerja di apartemen warga negara asal Korea di Jakarta.
Dengan bahasa inggris yang sama-sama terbatas, komunikasi selama setahun pertama dalam hubungan kerja lebih mengandalkan bahasa tubuh. Waktu itu, ia mendapat Rp 700 ribu untuk pekerjaan dari jam tujuh pagi hingga sembilan malam.
Tiga tahun berjalan, ibu lima anak ini mendapat pengalaman pahit. Tahun 2010, menjelang lebaran, ia dituduh menghilangkan sumpit. Padahal, setiap hendak pulang, tas miliknya selalu digeledah. Pengguna jasa tak pernah absen mengecek apakah Sunarti membawa sesuatu dari apartemennya.
“Memang banyak modusnya. Majikan dari luar negeri suka semena—mena, apalagi menjelang lebaran. Mereka mangkir dari tanggungjawab memberi tunjangan hari raya. Ada yang mendadak bilang pulang ke negaranya, ada yang memecat tanpa alasan, ada yang kayak saya, dituduh mencuri terus dipecat sepihak juga.” Ujar Sunarti
Selain soal sistem pengupahan, menurut Sunarti, bekerja di apartemen juga lebih rentan kekerasan. Jika di perumahan aksesnya lebih terbuka dan masih bisa diawasi, apartemen sifatnya sangat tertutup.
”Banyak campur tangan dari manajemen. Jadi, kalau ada kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, sangat mudah ditutupi. Asal ada uang, manajemen apartemen bisa melakukan apapun untuk penghuninya.” Sunari, menjelaskan dengan ekspresi yang mendadak serius.
Menurut data Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga, hingga bulan April 2016, terlapor 121 kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga di Jakarta. Sedangkan pemecatan sepihak oleh majikan ekspatriat, ada 22 kasus. Jumlah ini hanya dari kasus yang dilaporkan saja.
Nihilnya peraturan mengenai kontrak kerja di dalam lingkup tenaga kerja domestik di dalam negeri, membuat kasus kekerasan dan pemecatan sepihak terus berulang. Hanya pekerja rumah tangga yang berani dan paham untuk melapor saja, yang bisa menuntut hak pesangon dari pemecatan sepihak. Sisanya, lebih memilih untuk mencari pengguna jasa yang baru.
***
Pada 2013 lalu, seorang teman Sunarti, Fitri, menulis kekecewaannya atas perlakuan majikan di blog. Ia dipecat sepihak dengan gaji yang tak dibayar penuh. Sebuah organisasi internasional yang menangani isu pekerja domestik memberinya komentar. Fitri disarankan untuk melaporkan kronologisnya ke JALA. Ia mengajak Sunarti untuk turut serta. Saat itulah pertemuan Sunarti dan Lita Anggraini, koordinator JALA, bermula.
Sunarti mulai terlibat banyak perbincangan dengan Lita. Mulai dari mengenal hak-haknya sebagai pekerja seperti hari libur, hak untuk cuti, pentingnya kontrak kerja, hingga cara melakukan negosiasi dalam hubungan kerja.
Ia lalu mengajak teman-temannya yang juga bekerja sebagai pekerja rumah tangga untuk bergabung dan membentuk jejaring. Mulanya ia bersama tigapuluhan teman hanya ingin belajar bersama di dalam serikat pekerja rumah tangga Sapulidi. Kini, jejaring ini mulai meluas. Enam ratus lebih pekerja rumah tangga di Jakarta saling terhubung, berbagi informasi, dan mulai bisa belajar mengadvokasi kelasnya.
Hingga saat ini, sebagian besar kegiatan Sapulidi adalah peningkatan kapasitas pekerja rumah tangga seperti program kejar paket, kursus bahasa inggris, komputer, teater, pelatihan keterampilan, dan jurnalisme warga. Mereka menyebut aktivitas ini sebagai sekolah PRT.
Aktivitas Sapulidi dirasa sangat penting oleh Sunarti dan teman-teman seprofesinya untuk terus membekali diri di tengah ketiadaan payung hukum yang melindungi sektor kerja ini. “Kerja begini besar tantangannya. Karena tidak ada payung hukum bagi perlindungan pekerja rumah tanngga, ya tidak ada yang takut melakukan hal apapun.” Sunarti membuka suara soal kebutuhan perlindungan.
Biasanya, jika mendengar kasus dari ketidakberesan majikan, nama pengguna jasa juga masuk dalam daftar blacklist yang disebarkan melalui jejaring komunikasi Sapulidi. Hal ini dilakukan sebagai mekanisme bertahan saat belum ada sanksi yang bisa menjerat.
Bayang-bayang ketidakjelasan perlakuan para pengguna jasa dalam hubungan kerja, membuat Sapulidi bergerak. Di ruang komisi sembilan, Ludiah, Santi, dan beberapa teman dari serikat PRT lainnya berkumpul menemui para legislatif. Mereka mendesak RUU Perlindungan PRT agar menjadi prioritas dan segera disahkan. Momen itu bertepatan dengan hari pekerja rumah tangga sedunia pada enam belas Juni lalu.
Menyoal respon negara, Ludiah dan Sunarti tidak patah semangat meski perlindungan PRT belum menjadi prioritas program legislasi nasional. Hingga saat ini, Sapulidi terus bergerak membentuk pertahanan saat negara belum menyediakan perlindungan.
“Kalau negara belum bisa melindungi, ya, kita yang bertahan. Supaya enggak dibodohi, harus pinter dulu. Di sekolah PRT saya ikut kejar paket, mengejar ketertinggalan. Belajar bahasa inggris, supaya bisa ngerti yang diomongin majikan dan kita bisa ngomong maunya kita juga. Belajar negosiasi juga, supaya kerjanya nggak diperas.” Tutur Sunarti, menutup perbincangan sore itu.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Mengejar Hak Pekerja di Ruang Domestik
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler