x

Ketua MUI Din Syamsuddin (tengah) bersama Forum Ukhuwah Islamiyah MUI memberikan keterangan menolak keberadaan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia di Kantor MUI Jakarta, 7 Agustus 2014. MUI menghimbau umat Islam di Indonesia agar tid

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendidikan Agama dan Akar Radikalisme~Abdallah

Perkara pendidikan keagamaan di sekolah tidak sebatas kurikulum dengan waktu yang terbatas untuk pengajaran agama, tapi juga buku teks pendidikan agama.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Abdallah

Peneliti Muda Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakart

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak kematian pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah, pada 18 Juli lalu, banyak pihak menilai hal itu sebagai keberhasilan ikhtiar negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir?

Gerakan terorisme di sini tidak bisa dibaca dalam satu sudut pandang. Pengeboman yang dilakukan oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) adalah hilir sebuah persoalan. Selama ini, hulu gerakan terorisme tidak menjadi perhatian yang serius di kalangan pemerintah. Hal ini tampak dari agenda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dititikberatkan pada deradikalisasi: upaya penyadaran terhadap teroris di lembaga pemasyarakatan.

Hulunya adalah adanya pemahaman keagamaan yang eksklusif. Sasaran empuk para teroris adalah anak-anak muda yang sedang berusaha mencari jati diri mereka. Sarana yang efektif digunakan oleh kelompok radikal adalah ruang digital yang kini digemari anak-anak muda masa kini, seperti media sosial, yang pada kadar tertentu sulit menemukan batas kepantasan.

Menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informatika serta UNICEF Indonesia pada 2014, kurang-lebih 43,5 juta anak dan remaja berusia 10-19 tahun di Indonesia adalah pengguna Internet. Artinya, dunia digital sudah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Pada titik ini, kebenaran tampak kabur di tengah riuhnya wacana yang terus dilempar ke ruang publik bak buih di tengah hamparan samudra yang mahaluas.

Anak muda yang menjadi sasaran adalah anak-anak SMP dan SMA yang sedang dalam proses pembentukan kepribadian. Paham keagamaan mereka diberikan di sekolah dengan waktu yang sangat sedikit: satu jam dalam seminggu. Konsekuensinya, jika tidak mendapat tambahan pelajaran agama dari orang tua atau ustad di lingkungan mereka, tidak tertutup kemungkinan anak-anak ini mencari pemahaman agama secara liar.

 dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Buku teks keagamaan menjadi sorotan masyarakat setelah beredarnya buku ajar yang berisi muatan intoleransi dan kekerasan di Jombang, Jawa Timur, tahun lalu.

Dalam konteks inilah Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melakukan penelitian "Diseminasi Paham Eksklusif dalam Pendidikan Islam" (2016). Hasil riset ini menemukan bahwa paham intoleransi keagamaan masih ditemukan melalui penyajian buku ajar di sekolah yang kurang mengedepankan aspek dialogis. Berkenaan dengan tema teologis, misalnya, penjelasan tentang apa dan siapa itu kafir, musyrik, dan munafik masih dijelaskan dalam konteks masa Nabi yang acap kali bersifat politis yang harus diperangi dan dibunuh. Sedangkan tema yang bersifat furu’iyah (berkaitan dengan praktek agama), seperti bacaan salat, jumlah rakaat salat tarawih, dan bacaan kunut, masih mengedepankan satu pandangan tertentu.

Ada beberapa hal yang dapat kita renungkan mengenai buku ajar ini. Pertama, isi buku agama perlu didiskusikan lebih dalam. Buku ajar seyogianya mengedepankan nilai-nilai keislaman-keindonesiaan, toleransi, serta keterbukaan dan menerima perbedaan. Berislam dengan tetap menghargai sang liyan. Beragama dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosiologis majemuk. Berkeyakinan dengan mengedepankan rasionalitas, bukan "Islam sontoloyo" seperti yang dilontarkan Bung Karno. Buku ajar agama yang dikeluarkan pemerintah mau tidak mau harus mengayomi semua golongan, karena ini kewajiban negara sebagai pelindung bagi setiap warganya.

Kedua, buku ajar saja tidak cukup. Hal yang harus mendapat perhatian juga adalah pendidik: guru agama. Di tangan guru agamalah nasib pemahaman agama peserta didik disandarkan. Guru agama adalah beragam individu yang masing-masing memiliki paham keislaman berbeda. Kiranya, pemerintah bisa membuat program untuk melatih para guru agama di seluruh Indonesia guna mencari titik temu kesepahaman bagaimana Islam di Indonesia, seperti apa yang dicontohkan Walisongo dalam menyiarkan Islam.

Terakhir, kaum akademikus kiranya bisa menyiapkan buku pengayaan untuk bahan ajar agama, buku yang mengedepankan pandangan Islam yang inklusif, toleran, dan menghargai perbedaan; buku yang mampu menangkis derasnya paham transnasional yang berbasis pada Wahabisme yang cenderung mengajarkan nilai saling mengkafirkan (takfiriyah). Pada titik ini, full-day school yang diwacanakan baru-baru ini alangkah baiknya dialihkan untuk membenahi dan melanjutkan sistem yang masih membutuhkan perhatian. Jika persoalan pendidikan agama dipandang sebelah mata dan diabaikan, tidak tertutup kemungkinan akan lahir Santoso-Santoso baru.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler