x

Anak-anak kecil bermain di pemukiman kumuh tepi rel kereta Tanah Abang, Jakarta, 8 Juni 2015. Dari 4,1 juta anak terlantar, diantaranya 5.900 anak menjadi korban perdagangan manusia, dan 3.600 anak bermasalah dengan hukum. TEMPO/Subekti.

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Human Trafficking dan Lukanya Kemanusiaan

Anak-anak dengan rata-rata berusia 15-16 tahun itu, dijual layaknya hewan di pasar mulai harga Rp.4,5 juta hingga Rp.27,5 juta per orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tertangkapnya 13 pelaku perdagangan manusia (human trafficking/HT) yang beroperasi di desa-desa di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 2015 hingga 2016 dengan korban mencapai 941 anak NTT sungguh tamparan yang menyakitkan bagi wajah kemanusiaan kita. Anak-anak dengan rata-rata berusia 15-16 tahun itu, dijual layaknya hewan di pasar mulai harga Rp.4,5 juta hingga Rp.27,5 juta per orang, sebagaimana disampaikan Brigjen Pol. Drs. Eustaceus Widyo Sunaryo, saat jumpa pers di Markas Polda NTT, Senin, (22/8). Bahkan seorang agen perdagangan manusia dari Surabaya tak tanggung-tanggung menukar anak dengan mobil Daihatsu Xenia. Disinyalir, para pelaku itu berasal dari berbagai profesi antara lain petugas groundhandling bandara Eltari Kupang, pembuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), akte kelahiran (palsu) dan pembuat paspor.

Ini setidaknya makin mengukuhkan tiga hal. Pertama, tribalitas eksploitasi manusia terus terjadi di tengah gegap gempita kampanye humanisme pembangunan. Tesis Thomas L Friedman bahwa di era globalisasi dunia itu datar, kian tepat. Datar tidak saja dalam pengertian meluruhnya batas-batas teritorial antarnegara yang membuat lalu lintas modal dan manusia mengalir secara masif karena penetrasi kapital, tapi juga datar dalam pengertian permisifitas terhadap kerakusan, eksploitasi dan penjajahan struktural manusia, di mana semua itu terlepas dari barikade moral dan kemanusiaan, yang sejatinya ditentang oleh rezim peradaban.

Kedua, segregasi kelompok sosial dalam demokrasi bukan makin dipersempit tapi justru diperlebar sehingga identitas, harkat dan martabat manusia seakan tidak bermakna. Kelompok minoritas yang mestinya diproteksi lewat konstitusi dan kebijakan justru menjadi tersandera. Terungkapnya data nasional di mana mayoritas korban perdagangan manusia adalah perempuan (80 persen) dengan tingkat pendidikan mayoritas SD (30,64 persen), di mana  wilayah kerja dan profesi para korban mayoritas sebagai PRT (56,99 persen), prostitusi (16,53 persen), nelayan (5,93 persen), perkebunan (5,15 persen), pelayan (2,38 persen), pabrik (2,22 persen), dan konstruksi (1,99 persen), membuktikan hal tersebut (Pitaloka, 2013).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu terungkap pula, provinsi dengan jumlah korban terbesar perdagangan manusia yakni: Jawa Barat 1.218 orang (26,9 persen), disusul Kalimantan Barat (15,62 persen), Jawa Tengah (12,62 persen), Jawa Timur (11,85 persen), NTB (6,11 persen), Sumatera Utara (5,85 persen), dan NTT (5,29 persen). Mereka masuk dalam lingkaran human trafficking dilatari oleh masalah ekonomi (87,65 persen).

Ketiga, ada pembiaran sistemik dari pemerintah lokal terhadap HT. Di NTT, akses masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang sejahtera dan berkeadilan secara umum masih minim. Sementara itu, kebijakan untuk memperkuat opsi melindungi kelompok yang minoritas dan yang rentan dengan kemiskinan, belum efektif. Buktinya, kaum perempuan, anak-anak berusia sekolah, anak-anak jalanan, berdasarkan penelitian yang penulis lakukan akhir 2015 lalu belum memperoleh ruang yang adil dalam beraktualisasi dan menyatakan hak-hak mendasarnya. Pembiaran seperti ini membuat warga minoritas tersebut mudah terjebak dalam perangkap kriminalisasi dan kejahatan sosial seperti kasus pelecehan anak di bawah umur, meningkatnya jumlah prostitusi dari kelompok masyarakat miskin sebagai jalan menyambung hidup, yang justru distigma sebagai musuh pembangunan. Watak antagonisme populis ini menempatkan NTT sebagai wilayah yang selalu berada dalam keterkucilan baik secara sosial, politik, ekonomi bahkan sosial budaya.

Ini diperparah lagi dengan penegakan hukum sungsang, lebih garang terhadap kejahatan konvensional, yang sering dipertunjukkan di jalanan, dan melunak terhadap kejahatan sistemik-kemanusiaan yang mendegradasi derajat martabat manusia. Tidak menutup kemungkinan, sindikat HT tersebut dilindungi oleh rezim hukum sehingga upaya penanganan perdagangan orang termasuk para TKI ilegal bergerak seperti jalannya siput. Kita tentu masih ingat bagaimana Brigadir Rudi Soik, anggota Kepolisian Daerah NTT yang berusaha membongkar jaringan HT, justru dihalang-halangi oleh atasannya di Direktorat Kriminal Umum Polda NTT, bahkan akhirnya ia divonis 4 bulan penjara dalam sidang di Pengadilan Negeri Kupang (17/2/2015).

Sistemiknya jaringan aktor-aktor pelaku tersebut sebenarnya bisa dikalahkan kalau ada political will pemerintah untuk melakukan pencegahan maupun pemberantasan kasus dimaksud. Misalnya pemerintah mestinya sudah jauh-jauh hari membuat early warning system berupa peta akar masalah, faktor-faktor kausalitas dan pendorong HT, peta jalur pengiriman TKI yang bermasalah dengan modus dominan penyaluran ilegal calon TKI sehingga dengan itu, bisa dijadikan sebagai basis dalam memformulasi kebijakan pencegahan maupun pemberantasan HT di daerah NTT. Nyatanya kerja gugus tugas tentang anti perdagangan orang dan pencegahan serta penanganan calon tenaga kerja Indonesia/tenaga kerja Indonesia bermasalah/non prosedural di provinsi NTT yang ditetapkan melalui SK Gubernur nomor 294/KEP/HK/2014, yang diketuai asisten 1 Setda NTT, tidak efektif berjalan.

Inilah saatnya sindikat HT dibongkar. Warga masyarakat, LSM yang pro terhadap kemanusiaan, institusi agama, dunia perguruan tinggi harus bergandengan tangan menyelamatkan cermin kemanusiaan yang terluka ini. Kita berharap ini juga menjadi pintu tobat bagi pemerintah bersama aparat untuk menginisiasi perlawanan kolektif terhadap HT.

 

Oleh: Umbu TW Pariangu

Dosen FISIPOL Universitas Nusa Cendana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler