Akal, Kesadaran, dan Masalah Manusia

Selasa, 14 Mei 2024 20:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bukan manusia  jika tanpa masalah. Masalah perlu dihadapi dan dicarikan solusinya. Meskipun demikian, untuk memecahkan masalah, diperlukan ketenangan dan kehati-hatian.

Sebenarnya, masalah, ujian, tantangan, dan lain sejenisnya adalah hal biasa. Bentuk, tipe, durasi, detil, dan kompleksitasnyalah yang membedakannya. Bukan manusia  jika tanpa masalah. Masalah perlu dihadapi & dicarikan solusinya. Meskipun demikian, untuk memecahkan masalah, diperlukan ketenangan dan kehati-hatian. Jadi, diperlukan pemahaman yang baik, tepat, dan lengkap atas masalahnya. Baru kemudian dicarikan potensi solusinya.

Justru Menjadi Masalah

Dari tayangan video di channel-channel discovery, wild-life, national geographic, animal planet, dan BBC earth, dapat dilihat betapa senang, ceria, dan lincahnya Wildebeest, Antelope, dan Gazel ketika berlarian, berlompatan, mencari makan, dan bercengkrama di padang rumput Afrika. Tidak nampak kekawatiran atau rasa takut mereka ketika para reporter, peneliti, dan turis mendekat. Demikian pula ketika kamera mengarah pada posisi mereka. Sebagian dari mereka justru mendekat karena keingintahuannya. Mengapa demikian? Sebab, para pengunjung itu tidak mengagetkan dan mengganggu mereka. Itulah kesan yang didapat dari tayangan tersebut.

Seandainya ketiga spesies binatang itu diberi akal hingga mampu berpikir dan berkesadaran, bisa jadi kehidupan mereka berubah seketika; masalah segera mendatangi mereka. Mengapa? Sebab, dengan kemampuan berpikirnya itu, mereka akan mendapatkan sebagian dari ilmu, pengetahuan, dan kesadaran! Dengan itu semua, mereka justru akan menyadari bahwa kehidupannya selalu terancam. Apa tidak stress?

Bagaimana tidak, setiap kali lapar & hendak makan di padang rumput, beberapa binatang buas (Python, Singa, Heyna, Cheetah, dan Leopard) sudah menantinya; ketika kehausan hendak minum di tepi sungai, Buaya siap menyergapnya; dan ketika hendak tidur, segerombolan anjing hutan siap memangsanya. Belum lagi hadirnya para pemburu yang memang sengaja mengincar ketiga spesies ini karena rasa dagingnya yang lezat. Jadi, sebenarnya, ketiga hewan itu hidup di tempat yang sangat mengerikan! Tantangan untuk survive dan ancaman kematian silih-berganti setiap saatnya. Tetapi apakah karenanya mereka selalu gelisah, stres, terbebani, berbadan kurus, dan menderita sebelum kematiannya? Tidak bahagia kah mereka?

Ironi Kesadaran Manusia

Memang, kematian yang sebenarnya (dimakan hewan pemangsa atau diburu manusia) adalah takdir yang tak terhindarkan; hanya masalah waktu saja. Tetapi, dengan pengetahuan & kesadaran yang diandaikan mereka miliki itu, maka potensi “kematian” secara mental justru akan datang lebih dini. Mereka akan mati sebelum waktunya. Itulah sebabnya mengapa mereka tidak diberi akal hingga tidak berpengetahuan dan berkesadaran. Itu demi kebaikan mereka sendiri, sesuai dengan misi hidup mereka masing-masing yang telah ditentukan.

Berdasarkan pengandaian di atas, bisa jadi, suatu kesadaran (pengetahuan) yang benar (realitas) pun dapat mendatangkan ketidak-nyamanan, ketidak-tenangan, ketidak-bahagian, masalah, kekawatiran, ketakutan, atau konflik-batin. Itulah ironisnya kesadaran manusia; sebagian dari pengetahuan atau kesadaran justru dapat mendatangkan hal yang tidak diinginkan. Mereka tidak diberi akal sedikit pun hingga tetap dapat hidup dengan tenang, ceria, bahagia, dan menikmati hidup apa adanya. Jadi, pada kasus-kasus tertentu, ketidak-tahuan, keluguan, ketidak-sadaran, atau kelupaan justru dapat menenangkan. Rasa-rasa kecemasan dan ketakutan adalah ciri khas manusia; adanya unsur-unsur pemikiran atau sudut pandang manusia.

Masalah & Akal Manusia

Kehidupan manusia tentu saja tidak seperti ketiga hewan itu. Manusia adalah makhluk yang berakal, bernafsu, dan juga diistimewakan. Dengan akalnya, manusia dapat berfikir, merenung, menganalisa, berpengetahuan, berkesadaran, berempati, berproses, bertoleransi, beradaptasi, dan mengendalikan nafsunya. Dengan akalnya, manusia menjadi berbeda dengan hewan; hidupnya lebih baik, makmur, santun, tertib, teratur, dan bermartabat. Akal adalah karunia yang sangat luar biasa; pembeda hakiki antara manusia dan hewan.

Manusia bertanggung jawab atas anugerah akalnya. Mereka wajib mengembangkan dan memeliharanya secara berkelanjutan dengan cara banyak mendengar, bertanya, melihat, membaca, belajar,  berlatih, bekerja, berpengalaman, dan makan & minum yang halal dan baik-baik saja. Sebab, akal tidak dapat berkembang sendiri (secara otomatis), sementara hawa nafsu (ironisnya) mampu berkembang secara mandiri seiring dengan waktu dan pengalaman hidupnya.

Sejak dewasa, manusia mulai memahami bahwa sebagian besar dari hidupnya akan berupa tantangan, kewajiban, ujian, cobaan, atau masalah. Sejak itulah sebagian dari mereka merasa iri dengan burung yang dapat terbang bebas seolah tanpa beban, ujian, dan kewajiban; bisa terbang kemana saja. Mengapa demikian? Ternyata, mereka mulai terkena rayuan rasa malas malas, hawa nafsu, menemui masalah, dan mengeluh. Sebagian dari itu cukup berat, mengganggu, dan melelahkan. Hidup manusia memang tidak lepas dari masalah. Ada akal & nafsu, berarti juga ada masalah. Fungsi utama akal adalah untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengatasi hawa nafsu, masalahnya, dan tantangannya dengan benar/tepat.

 

Sebab-Sebab Manusia Bermasalah

Jika ditanyakan, terutama sejak remaja, mengapa manusia bermasalah? Tentu saja, selain karena dikarunia akal & hawa nafsu, jawabannya cukup beragam. Sebagian dari jawaban itu adalah: [1] untuk mendapatkan yang dibutuhkan, manusia perlu berusaha, bekerja, dan berproses, hal itu merupakan tantangan sekaligus masalah harian yang tidak semua manusia dapat bersyabar dengannya; [2] manusia sering membandingkan dirinya dengan yang lain, atau membandingkan kondisinya saat ini dengan saat-saat yang lain (mengundang pemikiran perbedaan antara harapan dan kenyataan); [3] di dunia ini selalu terjadi perubahan, dan sebagian dari itu menuntut manusia untuk bertoleransi, berdamai, berkompromi, dan beradaptasi, sementara tidak setiap manusia mampu melakukan itu dengan baik; [4] hidup ini berisi banyak hal ketidak-pastian dan tidak setiap manusia mampu bertahan dalam kondisi itu; [5] lingkungan & kehidupan manusia memiliki kompleksitas yang beragam, sementara tidak semua orang dapat memahaminya dengan benar, baik, dan lengkap, apalagi manusia cenderung bersifat parsial dan terbatas; [6] manusia memiliki akal (kemampuan berfikir), tetapi tidak banyak manusia yang menggunakannya secara maksimal dan jujur dengan akalnya; [7] manusia memiliki kebebasan untuk memilih, berpikir, dan bertindak. Oleh sebab itu, wajar saja jika sebagian manusia (pernah) bertindak salah (mengganggu sesama manusia atau lingkungannya); [8] manusia itu unik, oleh sebab itu, sangat mungkin memiliki pemikiran, pilihan, pendapat, keyakinan, kepentingan, dan kebutuhan yang berbeda (potensi terjadi gesekan, konflik, dan perselisihan); [9] manusia dikelilingi oleh sumber-daya yang terbatas (potensi terjadi gesekan, perselisihan, persaingan, konflik kepentingan, dan peperangan); [10] manusia cenderung berpandangan atau berpikiran sempit, subjektif, dan parsial; dan/atau [11] karena cenderung pada nafsunya, terkadang, ia tidak bersyukur tetapi justru mengeluh (selalu merasa kurang) atas apa pun yang telah diperolehnya selama ini.

Dengan mempertimbangkan ke-11 jawaban di atas, maka adalah wajar saja jika manusia selalu bermasalah.

Contoh-Contoh Masalah

Jika dihitung, akan ada banyak bentuk, ungkapan, model, tipe, katagori, tingkatan, kompleksitas, atau detil masalah manusia. Sekedar ilustrasi, berikut ini adalah beberapa contoh masalah:

  1. Sakit mata.
  2. Sakit kepala di rumah.
  3. Sakit perut karena baru saja makan rujak pedas.
  4. Si Adi patah kakinya hingga perlu dirawat selama 2 bulan. Akibatnya, ia tidak dapat mengikuti pelajaran dan ujian akhir.
  5. Pak Ismail bingung berat pagi ini dengan uangnya yang tersisa Rp. 100 ribu. Jika dijadikan modal dagang hari ini, maka keluarganya tidak dapat makan hari ini.
  6. Seorang presenter masih sakit gigi hingga sulit berbicara, padahal 30 menit lagi harus tampil membawa acara diskusi nasional.

Masalah Vs. Tantantan

Meskipun kebanyakan masalah berkonotasi negatif, ternyata tidak selalu demikian. Ada sisi atau episode dimana masalah juga disebut sebagai tantangan. Artinya, pada sisi itu, masalah merupakan tantangan yang mau-tidak-mau harus dihadapi. Dengan kata lain, pada masalah terdapat unsur tantangan. Oleh sebab itu, pada konteks ini, tantangan ≈ masalah.

Kompleksitas Masalah

Berdasarkan contoh di atas, dapat dikatakan bahwa masalah dapat bersifat sederhana (mudah dipahami dan solusinya pun mudah ditemukan), sedang, atau kompleks (tidak mudah dipahami dan solusinya pun sulit ditemukan). Contoh masalah sederhana adalah sakit perut. Pada kasus ini, masalahnya jelas dan sering dialami oleh manusia; jadi, referensinya banyak. Oleh sebab itu, solusinya pun jelas, tinggal memilih, sesuai kondisinya: (1) jika sudah tidak ada waktu lagi dan tak sanggup menahannya, segeralah pergi ke toilet; (2) jika masih ada waktu dan masih sanggup menahan rasa itu, makanlah obat sakit perut; dan (3) jika terus-terusan sakit perut dalam periode tertentu, pergilah ke dokter untuk berkonsultasi dan berobat. Selain itu, hampir setiap orang sudah mengenal kelemahan tubuh sendiri. Masalah sederhana ini pada umumnya dapat ditindak-lanjuti sendiri, dengan resikonya sendiri, dan tidak perlu bahasan lebih lanjut.

Lain halnya dengan masalah yang tidak sederhana; kompleks, abstrak, penting, berdampak luas & besar, menyangkut banyak pihak, aset berharga, konflik, dan lain sejenisnya. Tipe masalah seperti ini tidak mudah untuk dipahami dan diselesaikan secara tuntas. Apalagi jika masalahnya berbelit, berefek samping, dan berkomplikasi hingga dikatakan orang sebagai “lingkaran setan”. Oleh sebab itu, pada masalah seperti ini, diperlukan formulasi yang baik.

Masalah, Istilah Sejenis, dan Makna-Maknanya

Pada konteks tertentu, sebagian orang lebih menyukai penggunaan istilah-istilah tantangan, ujian, cobaan, problem, persoalan, konflik, atau krisis ketimbang masalah. Dalam keseharian, istilah-istilah itu sering tertukar satu sama lainnya. Sebagian tidak bermasalah. Yang penting maksudnya dapat dipahami. Dengan demikian, istilah masalah memiliki beberapa varian sesuai dengan sudut pandangnya.

 Secara sederhana, masalah merupakan situasi, kondisi, suasana, keadaan, atau konstelasi yang dianggap sulit, tidak disukai, ingin dihindari, atau bahkan sudah berbahaya hingga perlu segera ditangani, diselesaikan, diatasi, dihindari, dihentikan, dan/atau dibuatkan solusinya. Selain itu, pada konteks yang kurang-lebih sama, masalah juga sering dimaknai sebagai situasi & kondisi dimana terdapat perbedaan (gap yang signifikan) antara kenyataan dan harapan (yang diinginkan, dimimpikan, ditargetkan, atau yang menjadi referensi). Sementara pada konteks yang sedikit berbeda, masalah dapat diartikan sebagai tantangan yang perlu diungkapkan, dipecahkan, atau dicarikan jawabannya; seperti halnya teka-teki, misteri, kasus, ujian, soal matematika & sosial, dan lain sejenisnya. Meskipun demikian, pada konteks lainnya, masalah juga dapat diartikan sebagai “sistem” (yang terkadang) tersembunyi (faktor sebab) yang (diasumsikan telah, masih, atau akan) “bekerja” hingga menghasilkan satu atau lebih gejala (faktor akibat). Berdasarkan makna-makna inilah, sebagian dari masalah menjadi wajar jika diformulasikan agar lebih mudah dipahami, didiskusikan, dikomunikasikan, dan disebarkan.

Sifat Relatif pada Masalah

Terkadang, terdapat sifat relatif pada masalah. Dengan sifat ini, suatu masalah, di samping menyebabkan munculnya gejala, bisa jadi juga menyebabkan masalah turunan di kemudian hari. Dengan demikian, masalah turunan akan setingkat dengan gejala masalahnya. Karena setingkat, maka tidak mengherankan jika sebagian orang menganggap suatu gejala sebagai masalah. Sebagai misal, karena telat makan munculah gejala-gejala mengantuk, lemas, kurang berkonsentrasi, berkurangnya kemampuan berfikir, asam lambung meningkat, dan sakit kepala. Sehubungan dengan hal ini, sebagian orang menyebut sakit kepala sebagai penyakit (masalah) dan bukan gejala. Sedangkan asam lambung meningkat juga mereka sebut maag (masalah); bukan gejala. Jadi, dari contoh ini saja, sakit kepala dan maag (masalah turunan) akan setara dengan gejala-gejala (mengantuk, lemas, kurang konsentrasi, dan berkurangnya kemampuan berfikir). Seorang analis yang baik, setelah mengamati, tentu saja mampu mengenali urutannya dari masalah (hulu) hingga ke gejala dan masalah turunannya.

Masalah, Gejala, dan Turunannya

Tentu saja, masalah (hulu) akan menghasilkan gejala atau masalah turunan (hilir). Hal ini bersesuaian dengan kaidah yang banyak terdapat pada kasus kriminal “tidak ada kejahatan (masalah) yang sempurna” (akan ada saja bukti/fakta [gejala] yang tertinggal di tempat kejadian perkara baik secara sengaja mau pun tidak sengaja) dan “follow the money”. Selain itu, hal itu juga sesuai dengan peribahasa “tiada asap tanpa api”; api ≈ masalah, dan asap ≈ gejala.

Gejala adalah faktor akibat atau apa saja (fakta, kenyataan, kejadian, kenampakkan, atau peristiwa) yang dapat dilihat, dirasakan, dicium, didengar, dan/atau diamati. Meskipun demikian, sebagaimana telah disinggung, sebagian dari gejala dianggap oleh sebagai masalah (turunan).

Gejala adalah hal biasa, lumrah, atau wajar terjadi; tidak harus selalu luar biasa, jarang, istimewa, aneh, langka, mengagumkan, dan ekstrim. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa buah durian yang jatuh dari pohonnya, nangisnya seorang anak, naiknya harga minyak goreng, tutupnya supermarket besar, tersebarnya berita bohong, perubahan prilaku konsumen, kenaikan suhu udara, kenaikan tinggi rata-rata muka air laut, dan jatuhnya komet juga suatu gejala.

Sebagian gejala, jika diamati, cepat atau lambat akan mengarah pada faktor sebabnya. Setelah gejalanya dipelajari & dipahami, masalahnya (hulu) mulai diidentifikasi dan dipahami, barulah diperoleh potensi solusinya.

Jangan Takut, Menghindar, dan Mencari Masalah

Akal akan selalu disandingkan dengan masalah atau tantangan yang datang silih-berganti. Mereka terus berdatangan selama manusia hidup. Oleh sebab itu, jangan takut atau menghindari masalah jika situasi tidak sangat merugikan, menyulitkan, atau membahayakan. Meskipun demikian, seandainya bisa, demi kebutuhan atau skenario/strategi tertentu, kita dapat memilih masalah yang akan dihadapi; menghindari yang satu dan menghadapi yang lain pada saat yang sama.

Manusia mengalami proses belajar bersama dengan masalahnya. Masalah adalah partner sejati bagi manusia dalam proses-proses belajar, berkembang, dan mendewasa. Jadi, keberadaan masalah seharusnya melatih otak dan otot manusia menuju ke  tingkatan yang lebih baik secara bertahap; demi keberlangsungan hidup manusia itu sendiri. Keberadaan masalah, seharisnya, akan membuat manusia menjadi termudahkan, sabar, cerdas, bijak, dewasa, dan berkelanjutan. Akal akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan sekian banyak tantangan dan masalah yang terselesaikan.

Selain mendatangkan manfaat (mencerdaskan, bijak, dewasa, dan berkelanjutan), di sisi lain, masalah juga menyebabkan manusia menjadi lemah, lelah, letih, lesu, pusing, stres, sakit (fisik & hati), kecewa, dan juga susah; kehilangan banyak waktu, tenaga, pikiran, emosi, biaya, dan lain sejenisnya. Tentu saja dampak-dampak ini memerlukan refresing, liburan, hiburan, traveling, pengobatan, atau penyembuhan hingga residu dampak negatifnya dapat diminimalisir dan kemudian sehat dan segar kembali (siap menghadapi masalah berikutnya). Dengan demikian, jika sekiranya tidak sangat diperlukan, tidak demi mencapai cita-cita yang luhur (mulia), atau bahkan tidak ada manfaatnya yang signifikan, maka janganlah sengaja mencari masalah atau melayani tantangan yang ada, meskipun sebenarnya kita mampu. Hadapilah yang wajib-wajib saja (penting dan tak terhindarkan) terlebih dahulu, dan pilihlah yang akan membawa kebaikan dalam jangka panjang. Kebanyakan manusia sudah repot dengan masalah dan tantangan yang ada, maka berhematlah dengan waktu, tenaga, kesehatan, dan perasaan (emosi) masing-masing. 

Durasi/Siklus Masalah

Pada dasarnya, banyak faktor yang menyebabkan tidak terekamnya suatu gejala (masalah turunan) dengan benar, akurat, dan lengkap. Kemungkinan, justru lebih banyak gejala yang tidak teramati dari pada yang teramati. Tentu saja, sebagian gejala dapat terlihat tetapi tidak sempat terekam. Hal ini dapat disebabkan karena alat perekamnya yang tidak terbawa, kelangkaan gejalanya, durasinya pendek (cepat berlalu), atau justru memiliki siklus yang panjang hingga tidak teramati secara tuntas. Jadi, jika durasinya saja ekstrim, maka pengamat hanya akan mendapatkan kepingan-kepingan gejalanya (data/fakta) saja secara parsial, sedikit-demi-sedikit, atau sepotong-demi-sepotong; kemungkinan tidak representatif. Oleh karena itulah manusia memerlukan alat bantu, alat ukur, sensor-sensor, atau sistem untuk merekamnya.

Yang jelas, jika gejalanya saja tidak teramati secara benar (datanya masih mengandung kesalahan acak/sistematik) dan juga tidak lengkap atau parsial, kemungkinan besar, masalahnya (hulu) tidak akan teridentifikasi dan terpahami dengan benar.

Keserupaan Gejala & Komplikasi

Pada dasarnya, suatu masalah bisa saja menyebabkan munculnya lebih dari satu gejala. Dengan demikian, suatu masalah belum tentu dapat diidentifikasi berdasarkan pengamatan terhadap satu gejala saja; setiap gejalanya perlu diamati secara cermat. Selain itu, bisa jadi, suatu masalah memiliki gejala yang serupa dengan masalah lain. Sebagai misal, penyakit flue memiliki beberapa gejala umum seperti halnya demam, batuk, pilek (hidung mampet & berlendir), sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot, badan lemah, dan kurang nafsu makan. Sedangkan penyakit Covid-19, sebagai pembanding, bergejala demam, batuk, sesak nafas, badan lemah, mudah lelah, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit kepala, berkurangnya rasa penciuman, sedikit diare, dan lain sejenisnya.

Pada kasus terdapat lebih dari satu masalah, misalkan seseorang penderita penyakit flue pada saat yang sama juga menderita penyakit Covid-19, maka tugas para analisnya semakin berat; masalah hulunya lebih dari satu dan memiliki gejala-gejala umum yang serupa. Yang lebih berat lagi adalah jika masalah hulunya itu berkomplikasi hingga menghasilkan gejala-gejala yang baru di samping gejala-gejala umumnya. Berdasarkan observasi terhadap keseluruhan gejala yang muncul, maka akan berhasilkah para analisnya mengidentifikasi semua penyakit hulunya dengan benar?

Itu baru masalah (hulu) mengenai penyakit fisik. Bagaimana dengan masalah-masalah di bidang-bidang mental/psikis, ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, dan lain sejenisnya yang juga memiliki lebih dari satu gejala, keserupaan sebagian gejala antar-masalah, kemungkinan komplikasi gejala? Tentu saja masalahnya lebih sulit diuraikan dan diberikan solusinya.

Kesalahan Identifikasi Masalah & Akibatnya

Berdasarkan kemungkinan keserupaan gejala dan komplikasi masalahnya, apalagi jika terdapat lebih dari satu masalah hulunya, maka wajar saja jika terdapat kesalahan pada analisis, identifikasi, atau diagnosa (pemahaman) masalahnya. Akibatnya, bisa jadi, hanya sebagian dari masalah yang berhasil teridentifikasi dengan benar. Meskipun demikian, potensi solusinya (resep) secara keseluruhan menjadi tidak akan benar; masalahnya berpotensi berkelanjutan. Bagaimana akibatnya pada manusia dan lingkungannya?

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Eddy Prahasta

Penulis Indonesia

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler