x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Ada Pribumi dalam Bangsa Indonesia

Kita ini bangsa Indonesia? Belum. Kita masih berproses menjadi bangsa Indonesia. Alat untuk membuat bangsa Indonesia adalah membuat negara Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kita ini bangsa Indonesia? Belum. Yang terbukti nyata sudah ada: kita masih berproses menjadi bangsa Indonesia  (alat untuk membuat bangsa Indonesia adalah membuat negara Indonesia). Dalam proses ini, rata-rata warga (calon) bangsa rancu nalarnya memikirkan masalah pribumi dan nonpribumi, soal etnisitas. Yang terjadi sejak dulu sampai hari ini hanya hiruk-pikuk berkhayal berdasar kekacauan cara pikir kaum primitif di negara-negara purba.

Masalahnya, ciri utama negara maju-damai-modern ditandai warga berbudi luhur yang tepat memraktekkan peradaban pluriformitas. Budi luhur itu spontan tanpa diatur-atur, tulus menerima kebhinnekaan jenis manusia beserta keunikannya menyangkut warna kulit, keyakinan sikap hidup, suku, ras, golongan dan agama alias SARA.

Artinya, SARA itu positif dan mulia meski mungkin ada persepsi sebaliknya. Gara-gara menipulasi "pendidikan" politik, ia berubah jadi mitos dan jutaan tetek bengek tidak penting  yang membuat otak manusia makin picik-dangkal-sempit yang hanya mengacau kerukunan dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terbius mitos dan berhala di atas, bisa dipahami jika utopia-adab-luhur warga RI yang kontinu jadi kurikulum sejak TK sampai jenjang S3 itu, sering tak terbukti dalam praktek. Pelecehan terhadap kelompok manusia karena sentimen ras dan atau keyakinan tertentu, masih terjadi, seperti tampak dalam banyak tragedi berbasis SARA di negara kita. Ia menjadi luka seumur hidup bagi para korban. Bagi provokator, menjadi senjata ampuh untuk membuat goblok seluruh bangsa.

Syukur dan mitos

Akal sehat universal sepakat rasialisme itu dungu. Ia telah menodai Afrika Selatan (apartheid), AS (Klux Klux Klan), Eropa Barat (Neo Nazi) dan beberapa negara Arab (Syariah). Mengingat hal itu, warga RI termasuk bahagia.

Negara kita secara formal-resmi-tertulis, terutama dengan Pancasila, melarang keras segala bentuk rasialisme. Kita bersyukur sebab negara kita menjamin pluriformitas ras, agama, suku dan sebagainya. Semua warga RI apa pun jenis homo sapiens-nya, terjamin mendapat perlakuan sama. Jadi, ribuan ras di RI punya hak dan kewajiban sama. Semua tanpa kecuali dipersilakan berkembang seluasnya merealisasikan kekhasannya masing-masing.

Punya hak dan kewajiban sama berarti tiap warga RI apa pun muatan SARA-nya mendapat perlakuan sama. Jika ia korupsi, seret ia ke pengadilan karena laku jahatnya dan tak usah disangkut-pautkan dengan asal ras dan atau sukunya. Jika individu A atau B melakukan kejahatan ekonomi, seret ia ke penjara karena ia jahat dan jangan diharu-biru martabatnya hanya karena etnisitasnya.

Jadi, mengaitkan fenomena ekonomik apa pun nilai dan krusialitasnya dengan "soal pri-nonpri", mengganggu akal sehat, sebab tak ada fondasinya. Maka penting sekali bagi kita semua sebagai warga bangsa dan negara yang telah merdeka 71 tahun, untuk terus menerus berintrospeksi akan fenomena "pri-nonpri" itu sendiri. Sebab, pri dan nonpri itu mitos. Peristilahan itu lahir dari utopia yang rasialistik, buta sejarah, picik, dan menodai peradaban Nusantara yang toleran.

Sesama Pendatang

Utopia di atas menggolongkan saya, sebab wong Jowo, sebagai pribumi. Ini sembrono. Sebab, manusia RI segala jenis dan ras hanya satu hakikatnya: pri semua atau nonpri semua, tinggal pilih, sebab sama-sama warga pendatang.

Jenis manusia Indonesia asli tidak ada. Indonesia itu konsep negara yang lahir karena politik. Dalam konteks bangsa, ia mengacu kewarganegaraan. Ia belum final sebagai realitas kultural-antropologis. Indonesia masih menjadi! Secara kultural, umurnya belum mencapai dua abad. Sebagai konsep politis, Indonesia baru mulai dikenal publik sejak 14 April 1917, diucapkan RMA Soerjo Putro dalam jamuan makan malam untuk delegasi Indie Weerbaar oleh Indische Vereeniging di hotel Paulenz, Den Haag, Belanda.

Secara kultural antropologis, istilah pri yang serba tulen itu kacau. Tulen yang bagaimana? Warga RI siapa yang bisa membuktikan diri 100 persen asli sebagai ras tanpa setetes darah ras lain? Ras pribumi asli dan tulen itu ras apa? Adakah asli tulen itu purba? Jadi, nenek moyang kaum tulen itu Meghantropus Paleau Javanicus? Itu manusia rahang kuda, hidup di Sangir sekitar 600.000 tahun lalu, ditemukan Von Koningsvald. Atau Pathecanthropus Erectus di lembah Bengawan Solo? Itu manusia-kera, hidup sekitar 400.000 tahun lalu, ditemukan E Dubois. Atau Homo Soloensis dan Homo Madjakertensis? Banyak pakar sejarah menyebut, semua jenis manusia itu sudah musnah dan tak ada hubungannya dengan manusia RI masa kini. Jadi, semua ras dan atau suku di Indonesia termasuk yang disebut nonpri itu secara kultural antropologis adalah warga pendatang. Sebab, apakah ada di antara kita berupa manusia rahang kuda dan atau manusia-kera?

Yang terbukti nyata, penduduk asli Nusantara purba hanya bisa ditelusuri mentok sekitar abad ke-5 SM, saat terjadi gelombang besar perpindahan penduduk yang melibatkan nenek moyang kita. Mereka berasal dari berbagai tempat Asia, terutama dari Laos, Kamboja, Vietnam, Burma (Myanmar), Thailand, Filipina, dan Cina. Ini  banyak buktinya. Salah satunya, sejarah etnologi menunjuk kesamaan ras antara orang-orang Vietnam dengan aneka warga bangsa di Nusantara. Dari penggalian arkeologis zaman batu misalnya, ditemukan kapak, periuk, berbagai alat dari batu dan perkakas dari tulang yang sama. Juga, adanya kesamaan adat-istiadat dan cara hidup dua kelompok warga bangsa tersebut.

Pembauran Era Purba

Dampak gelombang perpindahan penduduk itu amat dahsyat. Warga asli Nusantara terdesak terus oleh warga pendatang. Secara etnis-kultural terpaksa punah atau dipunahkan serta menjadi masyarakat baru. Pendatang-pendatang baru dari Tiongkok di masa sesudahnya juga menjadi bagian integral proses pembentukan masyarakat baru. Itu berlangsung berabad-abad, menjadi "bangsa" yang relatif stabil dan final secara kultural, dengan proses pembauran alamiah.

Proses etnis kultural itu berlangsung berabad-abad jauh sebelum masuknya para kolonialis Barat. Dan itulah nenek-moyang warga RI masa kini. Ada yang jadi Jawa, Batak, Sunda, Daya (bukan Dayak), dan semua bangsa di RI termasuk bangsa Cina-RI yang jumlahnya ribuan. (Bukan suku bangsa. Ini istilah politik dalam negara Indonesia yang terjelma karena proses politik. Jangan pernah sampai lupa: negara Indonesia sebagai alat pembuat bangsa Indonesia).

Gelombang perpindahan yang melibatkan ras Mongol itu terbagi dalam dua periode ialah Palaeo Mongoloid dan Neo Mongoloid. Ras itu beranak-pinak selama berabad-abad dan tersebar ke mana-mana. Ada yang menjadi petani di Mataram, tukang pijat di istana kaisar Tiongkok dan ada yang lihai menaklukkan bison sebagai suku-suku Indian di Amerika. Singkatnya, kawanan homo sapiens itu bersaudara, sama-sama ras Mongol, yang ciri biologisnya antara lain bercak Mongol. Itu berupa bercak biru pada pantat bayi Cina dan banyak bayi Nusantara yang lain.

Jadi, sejauh menyangkut pembauran darah, tak ada jaminan bangsa  ini atau itu di RI bebas dari percampuran darah. Tak usah jauh-jauh ke zaman sebelum Masehi saat gelombang perpindahan penduduk, sejarah Nusantara yang lebih muda pun bisa bicara banyak. Singosari saat pasukan Tiongkok cerai berai, sejarah Palembang, masa akhir Majapahit, dan sejarah Demak misalnya, adalah sejarah pembauran "multi-darah" yang antara lain melibatkan ketionghoaan sebagai bagian integral peradaban Nusantara.

Mengapa persepsi umum tentang Cina-RI jadi kacau balau menjadi macam sekarang? Historis, biang keladi pengeksklusifan itu relatif masih muda. Diawali sejak zaman VOC abad ke-17 sampai jadi Hindia-Belanda yang berakhir pada revolusi 1945. Kekhasan warga Cina, dalam ekonomi misalnya, dimanipulasi untuk kepentingan penjajah. Nusantara dikotak-kotak antara lain empat kelas etnis. Kelas satu ras Eropa, kelas dua ras Indo-Eropa, kelas tiga ras timur asing dan kelas kambing ialah para inlander.

Kepentingan jahat rasialistik yang dungu itu agaknya tetap laku keras sekarang, mendasari sikap pikir gerombolan provokator. Di antaranya, melahirkan ide-ide tolol yang lebih sarat politis katimbang kultural. Itulah PR raksasa kita dalam berbangsa dan bernegara. Menjadi Indonesia!

Berkaitan dengan "Menjadi Indonesia" menyangkut kecinaan, banyak dari kita masih terpenjara dalam dogma, utopia dan prakonsepsi yang bodoh. Kita cuma bersikutat dalam diskursus politis dan tak pernah tuntas mempersoalkan nilai kultural-historisnya. Soal mendasar semacam "absorbsi" kultural suatu etnis dalam pembauran di hadapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika (yang konsekuen) misalnya, tidak pernah kita sentuh.

Pengalaman Nyata

Pengalaman penulis, rupanya orang RI itu sulit ditebak jenis etnisnya. (Tampang penulis biasa, pasaran, seabrek-abrek  bisa ditemukan di pasar-pasar desa).

Pada 1980 di dalam jeepney di Manila, pak sopir tampak sebal sebab saya tanya jalan dalam bahasa Inggris dan tidak dalam Tagalog (saya tidak bisa) - ia mengira saya orang Filipina.

Pada 1985 di Altotting, kota kecil Jerman selatan, dikira orang Kamboja kapiran, seorang nenek tiba-tiba memeluk saya dan memberi saya 40 DM.

Pada 1988, waktu mengisi bensin di sebuah pompa bensin kota kecil dekat Sydney, bule petugasnya pasang muka masam terus saat melayani. Ia mengira saya orang Vietnam. Maklum, saat itu di Australia lagi "musim" kecemburuan sosial terhadap orang Vietnam yang konon kelewat rajin bekerja hingga banyak yang sukses.

Di Belanda tempat saya tinggal dari 1983 sampai 2008, berulang kali saya dikira orang Indian. Bukan cuma oleh orang Belanda, tapi oleh orang-orang Indian sendiri. Entah berapa kali saya ketemu berbagai kelompok pengamen Indian. Mereka memberi salam dalam bahasa yang tak saya mengerti. Eh, mereka tahu kami senenek-moyang rupanya?

Lebih konyol, salah tebak juga terjadi di tanah air, tak jauh dari kampung sendiri. Pada Januari 1995, gara-gara salah ambil jalur, di Tugu Muda Semarang, saya dicegat mas sersan polisi. Ia dengan mantabnya berkata: "Du yu spik Indonesia?”

Gunung Merbabu, Oktober 2016

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler