x

Ilustrasi rel kereta. Gambar dari Pixabay.com

Iklan

Malik Ibnu Zaman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Oktober 2022

Senin, 29 Januari 2024 07:09 WIB

Pasar Senen dan Sastrawan

Aku bergegas mengirimkan lamaran ke berbagai media massa, harapanku untuk menjadi jurnalis terus membara. Namun, sebulan berlalu, belum satu pun balasan yang aku terima. Untunglag aku tetap produktif menulis. Artikulasi kata-kataku menjadi teman-teman setia dalam perjalanan ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku turun dari Bus Sinar Jaya di Terminal Tanjung Priok, udara sangat panas. Langkah pertama yang kurasakan saat keluar dari bus adalah panas menyengat yang mendera wajah dan badanku. Aku segera merasakan keringat menetes di pelipis. Terik matahari tak kenal ampun, membuat suasana di terminal ini terasa seperti dalam tungku raksasa.

Dengan langkah terhuyung-huyung, aku mencari tempat berteduh, mencoba melindungi diriku dari sinar matahari yang memanggang bumi ini. Rasanya seperti berada di tengah gurun pasir yang tak berujung, hanya saja ini adalah terminal sibuk yang penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Aku tahu, perjalanan ini belum selesai, dan tantangan yang menantiku di Jakarta belum selesai.

Setelah meneguk air sebagai pelepas dahaga, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan naik Transjakarta jurusan Tanjung Priok-Pasar Senen. Terminal Tanjung Priok sangat ramai, dengan kendaraan yang bergerak lambat di tengah kemacetan khas ibukota.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat bus Transjakarta tiba, aku langsung melompat ke dalamnya, mencari tempat duduk yang masih tersedia. Dalam bus yang penuh sesak itu, aku merasa seolah-olah menjadi bagian dari dinamika Jakarta yang tak pernah berhenti. Sambil melihat pemandangan luar jendela, aku merenung tentang semua perjuangan dan harapan yang tersemat di hatiku untuk meraih cita-cita di kota ini.

Berbeda halnya dengan kebanyakan orang kampung yang merantau ke Jakarta dengan maksud menjadi pegawai atau kuliah, aku ingin menjadi penulis. Ketika kaki-kaki ini melangkah di tanah besar ibukota, hatiku penuh dengan mimpi-mimpi dan cerita-cerita yang ingin aku bagi dengan dunia.

Aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah, terutama di tengah hiruk-pikuknya Jakarta yang terkadang terasa begitu tak ramah. Namun, tekadku untuk mengejar impian ini tak tergoyahkan. Aku ingin merayakan setiap momen dan menggali inspirasi dari setiap sudut kota ini, karena aku yakin, jalanku menuju dunia tulis-menulis penuh dengan cerita-cerita menarik yang menunggu untuk diceritakan.

Sebenarnya ibu menentang keinginanku untuk pergi ke Jakarta, katanya menulis bisa dari manapun. Lagian tanpa ke Jakarta pun, tulisanku sudah dimuat di berbagai media massa, begitulah yang ibuku ucapkan. Tetapi tekadku sudah bulat, aku harus merantau ke Jakarta.

“Ya sudah ibu restui kamu, hati-hati di sana, jangan lupa sholat,” ujar ibu akhirnya luluh.

“Terima kasih bu.”

Dari buku yang aku baca, Pasar Senen banyak melahirkan sastrawan hebat, sebut saja Chairil Anwar, Ajip Rosidi, dan H.B. Jassin. Mereka adalah tiga pilar besar dalam dunia sastra Indonesia yang memberikan warna dan kekuatan pada perbendaharaan kata-kata bangsa.

Chairil Anwar dengan puisi-puisinya yang menggetarkan jiwa, mampu menyentuh perasaan dan membuka wawasan tentang kehidupan. Ajip Rosidi, dengan cintanya pada warisan budaya, telah memperkaya dunia sastra Indonesia dengan pengetahuannya tentang tradisi dan budaya lokal. Sementara H.B. Jassin, sebagai seorang kritikus sastra, telah memberikan pandangan yang mendalam tentang karya-karya sastra dan berperan penting dalam menjaga dan menghormati warisan sastra Indonesia. Melihat warisan besar ini, aku merasa terdorong untuk mengikuti jejak para maestro ini, menyusuri dunia kata-kata dengan harapan bisa berkontribusi pada sastra Indonesia yang semakin berkembang.

Aku turun di Bungur, Pasar Senen, sebuah sudut kota yang mungkin tak seberapa dikenal oleh banyak orang. Setelah melangkah dari bus, aku merasa kecil di tengah hiruk-pikuknya Jakarta. Tugas selanjutnya adalah menyusuri gang-gang sempit yang menjelma menjadi labirin kota, sambil mencari jalan menuju kosan pamanku. Langkahku penuh ketidakpastian, dan di tengah gemuruh kendaraan dan beragam bau khas kota besar ini, aku merasa sedikit kewalahan. Gang-gang itu seperti saluran-saluran kecil yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, mengantarkanku pada tempat yang akan aku panggil "rumah" selama aku di kota ini.

Paman sudah menunggu di depan kosan ketika aku akhirnya tiba, di umurnya yang menginjak kepala empat ia masih menjomblo. Wajahnya penuh senyum hangat, dan dengan sambutan hangatnya, ia menyambutku dengan pelukan. "Selamat datang, nak," katanya.

Lalu, dengan penuh kepedulian, ia menyarankan agar aku segera istirahat untuk memulihkan tenaga setelah perjalanan panjang. Aku setuju, rasanya seperti anugerah di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta ini. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, tempat yang paman sediakan akan menjadi tempat perlindungan dan ketenangan.

Keesokan harinya, aku diajak oleh paman ke Stasiun Pasar Senen untuk melihat-lihat sekaligus sarapan bubur. Sambil menikmati semangkuk bubur ayam yang lezat, paman bercerita dengan penuh semangat tentang pertempuran mempertahankan kemerdekaan yang pernah berlangsung di Pasar Senen. Ia menggambarkan detail-detail perjuangan yang terjadi di daerah ini selama masa perang kemerdekaan, dan aku bisa merasakan betapa besar makna sejarah itu baginya.

Selain itu, paman juga menceritakan perihal seorang sastrawan besar Indonesia, Chairil Anwar. Aku kagum mendengar bagaimana paman dengan penuh gairah memaparkan kisah-kisah hidup dan karya-karya Chairil Anwar. Meskipun paman hanya lulusan SMA, pengetahuannya tentang sastra begitu luas. Ia menjelaskan betapa pentingnya keberanian dan eksplorasi dalam dunia sastra, dan bagaimana Chairil Anwar mewakili semangat itu melalui puisi-puisinya yang kontroversial dan berani.

Melalui ceritanya, paman telah memberikan wawasan yang berharga dan rasa hormat yang mendalam terhadap warisan sastra Indonesia. Aku merasa beruntung bisa belajar begitu banyak hal darinya.

“Ayok pulang,” ajak paman tatkala matahari sudah sepelemparan tombak.

Sesampainya di kosan paman langsung mandi, setelah rapi ia berangkat kerja. Paman bekerja sebagai operator mesin selama puluhan tahun di sebuah percetakan. Terkadang aku menyayangkan pilihan hidup paman, setelah lamarannya ditolak oleh keluarga pacarnya, ia benar-benar meninggalkan dunia wartawan. Bahkan ia sempat depresi, mabuk-mabukan dan bermain judi.

“Anak saya mau makan apa, kerjamu nggak jelas, kerjamu nggak menjanjikan, anak saya mau dikasih makan kata-kata,” begitulah yang aku dengar dari cerita ibu.

Padahal kalau dipikir-pikir, seharusnya paman bisa memanfaatkan penghinaan tersebut untuk menjadikannya lebih baik bukan malah jatuh dalam lembah hitam. Aku jadi teringat tokoh Zainudin dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang ditulis oleh Buya Hamka, ia berhasil menjadi penulis hebat gara-gara tersakiti oleh Hayati.

Setelah mandi aku pun bergegas mengirimkan lamaran ke berbagai media massa, harapanku untuk bisa mengejar impian menjadi seorang jurnalis terus membara. Namun, sebulan berlalu, belum satu pun balasan yang aku terima. Setiap pagi, aku memeriksa emailku dengan hati yang penuh harap, namun kotak masuk tetap sepi. Meskipun rasa kecewa itu menghantui, aku bersyukur bahwa aku masih bisa produktif menulis.

Artikulasi kata-kataku menjadi teman-teman setia dalam perjalanan ini. Honor-honor dari beberapa tulisanku membantu menjaga aku tetap bersemangat dan menghidupi diri selama perjuangan ini berlangsung. Sementara banyak yang menyerah, aku masih memegang teguh mimpi dan tekad untuk menjadi seorang jurnalis sejati.

Namanya manusia, sesemangat apapun pasti akan mengalami titik terendah. Pada suatu hari, ketika perasaan putus asa hampir melanda, aku memutuskan untuk menjauh dari kebisingan kota dan kutelusuri rel kereta api yang tampak tak berujung. Dengan setiap langkah yang aku ambil di atas rel yang panjang, aku merenung tentang perjalanan hidupku yang penuh liku-liku.

Terkadang, terasa seperti sebuah jalur kereta yang tak terhingga, tak ada ujungnya yang terlihat. Aku tahu, seperti kereta yang terus bergerak di atas relnya, aku juga harus terus melanjutkan perjalanan ini. Meskipun perasaan putus asa datang menghampiri, langkah demi langkah di atas rel itu mengingatkanku bahwa dalam hidup ini, selalu ada peluang baru di setiap tikungan, dan bahwa aku harus tetap bergerak maju.

Setelah lelah berjalan menelusuri rel yang tampak tak berujung, kaki-kaki ini akhirnya menyerah pada kelelahan. Dalam perjalananku, aku tiba-tiba melihat sebuah gubuk kosong di pinggir rel. Tanpa ragu, aku memutuskan untuk istirahat di sana. Setelah menunduk dan merenung sejenak, tubuh ini akhirnya melepaskan beban lelah dan tertidur dengan nyenyak.

Dalam tidur yang mendalam itu, sebuah mimpi yang tak terduga datang menghampiriku. Di sana, aku bertemu dengan Ajip Rosidi, seorang sastrawan besar yang dulu pernah kukenal melalui buku-bukunya. Dia tersenyum ramah dan berbicara dengan kata-kata bijak tentang kehidupan, sastra, dan perjalanan.

“Lihatlah seseorang dari perjalanannya, prosesnya, bukan hasilnya,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menceritakan, ia bisa berada di titik kesuksesan, bisa menjadi dosen di Jepang dan Profesor meskipun bukan seorang sarjana. Menurut Ajip hal tersebut karena berkat kerja keras.

Aku terbangun karena suara deru kereta api yang menggema di kejauhan. Aku masih mengantuk, tapi suara itu memanggilku, seperti sebuah panggilan dari jauh. Aku bangkit kembali berjalan menelusuri rel menuju ke kosan.

Mimpi itu memberiku semangat baru dan keyakinan bahwa meskipun perjalanan ini penuh tantangan, aku bisa menghadapinya dengan tekad dan semangat yang tak tergoyahkan. Mimpi itu memberiku semacam petunjuk dan inspirasi yang sangat kuat untuk melanjutkan perjalanan ini, meraih mimpi yang aku kejar.

Ikuti tulisan menarik Malik Ibnu Zaman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 jam lalu

Terpopuler