x

ilustr: PelangiQQ Lounge

Iklan

Harna Silwati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Minggu, 24 Juli 2022 06:41 WIB

Hantu Cinta Masa Lalu

Cerpen Hantu Cinta Masa Lalu

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hantu Cinta Masa Lalu

Cerpen : Silwati

        Aku mencintaimu kekasih seperti pagi merindukan cahaya. Aku bagai kabut yang lumat dalam kegelapan. Semua pintu harapan telah tertutup. Mereka yang hanyut dalam buai gelimang harta mungkin tak seluka aku yang mabuk dalam kepapaan. Hanya cinta yang aku punya. Hanya itu harapan yang tersisa, dan aku menjaganya bagai sebutir mutiara yang kuambil sendiri di rahim kerang di kedalaman laut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Masih teringat dan segar dalam ingatanku semua kata yang selalu kau lontarkan padaku. Semula aku sangat bosan denganmu, karena kau menjaga pagi, siang dan malamku tiada henti, seolah  tak ada tempat dan waktu bagiku di dunia ini selain dirimu.

       “Kau tahu? Hari ini aku tidak bisa fokus dalam hal apapun. Aku tidak bisa mengajar dengan tenang, tidak bisa melakukan apapun dengan baik. Kau menggangguku,” kataku dalam sebuah percakapan telpon .

       “Kau juga menggangguku, aku sangat gelisah jika tak mendengar suaramu. Aku sangat khawatir denganmu,” timpalnya

       “Aku hampir kecelakaan gara-gara teleponmu yang tiada henti. Gara-gara wajahmu selalu membayang di pelupuk mataku,” kataku dengan kesal.

       “Karena aku mencintaimu. Aku tak mau melewatkan masa sukaku dengan kesedihan, Aku ingin selalu membuatmu senang,” katanya pula.

      “Dan kau akan mengorbankan aku karena perasaan sukamu itu?” balasku.

      Dasar! Gombal! Semua laki-laki seperti itu. Aku berkata dalam hati. Sejak itu aku memutuskan untuk tidak membalas      ataupun menerima teleponnya. Aku tidak mau dibohongi dengan kata-kata manis atau rayuan jalanan seperti itu.

      Aku merasa hari-hariku kembali tenang. Walaupun Pasal, menelepon terus pagi, siang maupun malam. Aku tak peduli, aku pura-pura tidak tahu panggilannnya. Entah sudah berapa panggilan tak terjawab muncul di layar handphone.

       Aku mengajar di sebuah sekolah swasta yang letaknya jauh dari pusat kota. Hampir sepanjang hari itu aku hilang konsentrasi. Wajah Pasal kembali menggenang di kepalaku. Aku belum pernah jatuh cinta. Pasal adalah cinta pertamaku. Kehadirannya dalam hatiku telah meruntuh keangkuhanku untuk tidak mudah melabuhkan hati pada laki-laki.

       Tak ada yang istimewa padanya, lelaki pengangguran walau bergelar sarjana ekonomi. Dia telah mengirim banyak surat lamaran di berbagai kantor. Hasilnya nihil. Tetapi Pasal memiliki wajah simpatik dan berhati lembut. Dia membuat aku merasa berbeda saat di sampingnya. 

       Aku pulang lebih cepat ke rumah hari itu. Aku akan meneleponnya dan mengatakan aku rindu padanya. Aku akan bahagia melihat dia tersenyum. Senyum simpatik yang selalu memanjakan imajinasiku.

       Baru saja aku parkirkan motor di depan rumah kontrakan kecil. Suara lembut menyambutku dengan nada rindu. Suara yang sudah kuhapal. Pasal.

       “Aku sudah menunggumu sejak dari tadi,” katanya.

       “Sebegitunya rindumu itu,” balasku.

       “Ah! Aku juga tahu kau rindu padaku,” ucapnya.

       Aku tersenyum manja. Dia mengikuti langkahku masuk ke rumah dan langsung duduk di sofa. Sementara aku segera menggantikan pakaianku.

       Kemudian aku membuatkan mi instan untuk makan siang kami.

      “Kamu mau menikah denganku ‘kan?” tanyanya tiba-tiba. dengan tatap penuh harap

       Ups! Aku kaget dan hampir tersedak oleh mi.

       “Ya. Tapi tidak sekarang. Kita ‘kan perlu persiapan yang cukup,” jawabku tersenyum. Ada rasa senang meresap ke relung hatiku. Tatap mata teduhnya membuai mimpiku.

       “Aku maunya dalam waktu dekat. Aku tak mau orang lain memilikimu, Livia,” ucapnya.

       Aku menangkap sesuatu dari ucapannya. Sebelumnya ia tak pernah seambisius ini.  Ada yang aneh. Bisa saja ia sempat mendengar bahwa ada beberapa orang melamar aku melalui orang tuaku. Tapi itu semua aku tolak. Aku tidak mudah menerima perjodohan seperti itu. Apalagi di hatiku sudah diisi oleh seseorang. Pasal tentunya.

       “Kamu mau menikah denganku ‘kan Livia?” tegasnya.

       “Iya. Berilah aku waktu untuk menjawab! Walaupun aku mencintaimu, tetapi persoalan menikah tidak seringan lidah berucap,” kataku lagi.

       “Ya  sudah. Aku akan bekerja apa saja sambil menunggu keputusanmu,” ucapnya.

       Itulah percakapan terakhir aku dengannya. Sejak itu aku tak pernah lagi jumpa Pasal. Aku menunggu dan berharap dia datang membawa senyum yang membuat aku tersipu manja. Tuturnya yang membuat aku merasa tersanjung.

       Aku mencoba menghubungi lewat telepon, tak ada jawaban.  Aku datang ke rumah kontrakannya. Di sana aku hanya dapat jawaban kalau Pasal sudah bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang surveyor. ‘Ah mungkin dia sibuk,’ hiburku dalam hati.

       Berbulan aku tak mendengar lagi kabar tentang dia. Ada sakit, ada rindu, ada harap membaur jadi satu. Aku tak tahu salah apa aku dengannya.

       Tiga tahun telah berlalu aku mendapat kabar kalau Pasal telah menikah dengan seorang perempuan pilihan ibunya. Rasa sakit menyesak di dadaku. Luka menganga. Aku tidak tahu kesalahan apa yang telah aku lakukan. Tiga tahun bukan waktu yang singkat menjaga sebuah harapan. Andaikan saja waktu ketika dia mengajak untuk menikah aku ‘iyakan,’ tapi semua telah berlalu.  Semua mimpi buyar bersama waktu. Begitu rapuhnya dia. Ah!

       Delapan tahun terlewati dalam hampa. Aku menghadiri sebuah acara pesta perkawinan putri kakaknya Pasal yang tertua. Ada harapan menggantung di dada. Aku berharap ingin bertemu dengannya. Ada rindu dengan tatap matanya yang membuat aku jadi manja. Berharap dia menyapaku seperti dulu. Walau aku sadar untuk memilikinya sudah tak mungkin. Karena aku tak suka mengusik kehidupan rumah tangga orang lain.

       Sebuah acara pesta yang cukup meriah dan dihadiri oleh banyak pejabat. Karena kakak Pasal adalah seorang pejabat di salah satu instansi pemerintah.

       Aku datang bersama seorang teman  bernama Lora. Kebetulan dia juga diundang menghadiri resepsi tersebut. Mataku berkelana mencari sosok yang kuharapkan itu. Aku ingin tahu  reaksinya saat melihatku. Lora membaur bersama tamu-tamu lain dan juga beberapa kawan yang ia jumpai di situ.

       Sayangnya apa yang kuharap hanya sia-sia. Tak ada mata yang selalu memandangku mesra. Mata yang membuat aku lebur dalam kemanjaan. Duhhhh!

       Setelah mengambil makanan, aku mencari tempat untuk duduk. Sebuah meja agak pojok terlihat kosong. Aku memilih di sana. Baru beberapa menit aku menyuapkan makanan ke mulut, seseorang menyapaku. Ya, aku sudah hapal suaranya. Jantungku sedikit berdegup kencang. Ia duduk di sebelahku. Aku mengatur napas gugup.

       “Kamu selalu terlihat cantik, Livia!” sanjungnya.

       Aku tersipu. Sungguh dia masih seperti dulu. Aku menahan sesuatu yang hendak tumpah dari dalam hati. Tapi sudah tak mungkin, kesadaranku cukup tinggi. Pasal adalah milik orang lain, sekaligus milik anak-anaknya. Aku tak mau mengganggu siapa pun.

       “Aku perhatikan dari tadi matamu jelalatan. Pasti kamu mencari aku. Iya ‘kan?” tanyanya lagi

       “Sok tahu. Kamu adalah bagian dari masa laluku. Bukan masa depanku.  Dan aku tak akan pernah kembali ke masa lalu. Kita sudah punya dunia masing-masing,” kataku menepis ucapannya..

       “Aku mencintaimu, Livia, walau dunia kita sudah berbeda,” katanya.

       “Itu dulu! Sekarang adalah aku yang sekarang, “ kataku.

       Beberapa orang terlihat memandang ke arahku. Mungkin mereka curiga bahwa aku sedang berhadapan dengan suami orang. Aku sedikit serba salah, takut orang-orang akan menyangka aku perempuan penggoda.

       “Kepergianmu begitu saja. Tanpa pernah aku tahu sebabnya. Kau tak pernah menjawab teleponku. Kau meninggal aku dalam tanya sekaligus luka,” kataku.

       Kami diam sesaat. Ia memandangku. Tapi aneh, tatapan itu hambar, kosong. Tentu saja. Dia sudah jadi milik orang lain. Rasanya dingin sekali pertemuan ini, walau ia masih mengucapkan kata cinta.

       Orang-orang masih melempar  pandang padaku.

       “Kamu tidak mengerti,” katanya.

       “Tentu saja aku tak mengerti,” balasku singkat.

       Lora teman yang tadi bersamaku datang menuju ke arah kami.

       “Sebentar ya, Livia! Aku tinggal sebentar,” ucap Pasal pamit mendadak dari hadapanku seakan tak suka dengan kehadiran Lora.  Aku hanya mengangguk.

       Lora menghampiri kami dan  duduk di sampingku.

       “Aku dari tadi mencarimu, eh malah mojok di sini,” katanya

       “Abis tidak ada meja yang kosong,” jawabku.

       “Kamu dari tadi ngobrol dengan siapa?” tanyanya.

       Aku diam. Ada sedikit malu rasanya.

       “Pasal,” jawabku singkat. “Kau tahu ‘kan? Dia adalah masa laluku,” lanjutku.

       Wajah Lora seperti kaget dengan jawabanku.

       “Ya. Tapi …,” kalimat Lora terputus dan dia meletakkan tangannya di keningku.

       ”Hmmm … dingin kepalamu,” katanya lagi.

       “Ada apa sih? Jangan aneh-aneh deh! Malu dilihat orang tahu!” tegasku.

       “Kamu yang aneh. Dari tadi itu orang-orang memperhatikan kamu ngomong sendiri,” katanya lagi.

       “Aku ngobrol sama Pasal!” tegasku.

       “Kamu dari tadi itu ngomong sendiri, Livia. Pasal itu sudah almarhum setahun yang lalu, karena covid,” katanya.

       Kali ini aku yang kaget dan segera mengajak Lora pulang meninggalkan tempat itu.

       Sepanjang perjalanan pulang aku tidak habis pikir tentang kejadian ini. Untunglah! Aku selalu menjawab omongannya dengan baik dan logis.

       Aku tak tahu sesungguhnya aku telah berbicara dengan hantu cinta dari masa lalu.

 

***

                                                                                                Kincai, 10032022.

Ikuti tulisan menarik Harna Silwati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu