x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tema-tema Cerpenis Perempuan Dunia

Enam belas cerpen dari cerpenis perempuan dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ciuman sang Buronan – Kumpulan Cerpen Pengarang Perempuan Dunia

Penulis: Kate Chopin, dkk

Penterjemah: Ade Komalasari, dkk

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2019

Penerbit: Gading                                                                                                          

Tebal: xvi + 321

ISBN: 978-602-6610-96-6

 

Buku ini memuat terjemahan dari cerpenis perempuan dunia. Para penterjemahnya pun adalah para perempuan. Ada 16 cerpen yang dipilih. Semua cerpen terpilih berasal dari penulis perempuan yang berbeda. Dari keenambelas cerpenis perempuan ini ada para penerima hadiah Nobel sastra. Diantaranya adalah Selma Lagerlof, Peral S. Buck dan Doris Lessing. Cerpenis lainnya adalah para penulis perempuan yang karyanya sudah diapresiasi oleh dunia. Menikmati karya-karya pesohor memang penting bagi kita. Sebab dengan membaca karya-karya mereka kita menjadi tahu apa yang sesungguhnya menjadi kerisauan mereka. Kerisauan yang dituangkan dalam bentuk cerita-cerita pendek.

Keenambelas cerpen ini pada umumnya berkisah tentang hal-hal yang menjadi pergumulan para perempuan. Misalnya Virginia Woolf. Woolf berkisah tentang perasaan perempuan dan laki-laki saat berada di taman bersama keluarganya. Lelaki menikmati alam untuk dirinya sendiri, sementara perempuan menikmati kesenangan melalui memperhatikan anak-anak dan suaminya.

Toni Morison berkisah tentang seorang ibu kulit putih yang galau karena melahirkan anak berkulit hitam. Suaminya tidak mau menerima kenyataan tersebut. Sang ibu memproteksi sang anak sedemikian rupa, meski ia tidak mencintainya. Saat sang anak sudah besar, sang anak mengabaikan ibunya dengan tidak mau mengunjunginya. Masalah warna kulit memang sering membuat cinta menjadi dingin.

Edith Warton berkisah tentang kegalauannya saat suami yang menjadi sandaran hidupnya sakit dan kemudian mati. Kegalauan begitu intens karena sang suami meninggal di atas kereta api saat perjalanan pulang dari rumah sakit. Dalam kisah ini kita bisa melihat berata perempuan sangat mendambakan sandaran hidup, tetapi sekaligus kuat saat menghadapi badai kehidupan. Kisah yang mirip disampaikan oleh Chitra Barnejee Divakaruni. Ia berkisah tentang Sumita si gadis desa di India yang dinikahkan dengan pemuda India yang tinggal di Amerika. Ia diboyong ke Amerika dan membantu usaha suaminya yang mencintainya. Namun sebuah tragedi menimpa sang suami. Suaminya mati karena dirampok di tokonya. Di sinilah Barnejee menunjukkan bahwa perempuan mendambakan sandaran hidup, tetapi mampu menghadapi badai kehidupan.

Amy Tan berkisah tentang benturan budaya China dengan nilai-nilai Amerika yang memberikan persamaan hak kepada anak perempuan. Ia berkisah tentang anak perempuan keluarga China di New York yang berbakat bermain catur. Amy Tan menyoroti perasaan bangga berlebihan keluarga China dan nilai-nilai baru yang dianut anaknya tentang privasi. Sementara Jumpha Lahiri berkisah tentang hidup bebas ala barat yang dijalankan oleh Miranda – gadis keturunan India. Kehidupan ala barat ini terpaksa dipikirkannya ulang saat tahu bahwa ternyata selingkuhannya adalah suami dari temannya.

Beberapa cerpen tidak bicara tentang perempuan secara khusus. Pearl S. Buck berkisah tentang hubungan manusia dan alam. Manusia Jepang yang alamnya begitu ganas. Baik laut maupun gunungnya selalu bergejolak. Keganasan alam membuat manusia memaknai kematian adalah sesuatu yang wajar dan harus diterima dengan suka cita.

Selma Lagerlof membahas nilai kesetiaan dengan mengangkat sebuah cerita tentang dua orang buronan. Dua buronan ini saling melayani dan saling menolong. Bahkan sang buronan muda sangat mengagumi, bahkan memuja sanga buronan tua. Namun akhirnya sang buronan muda harus memilih untuk menyerahkan sanga buronan tua kepada penduduk desa sebagai bentuk kesetiaan yang lebih dalam. Bukankah pengkhianatan dan pemujaan adalah tafsir dari siapa yang memilihnya?

Meski tidak semua, cerpen-cerpen tersebut memang menyuarakan kegalauan dan masalah perempuan, namun cerpen-cerpen tersebut tidak sampai menyuarakan “pemberontakan” perempuan terhadap kungkungan budaya yang sangat berpihak kepada lelaki. Kisah-kisah tentang perempuan dalam cerpen-cerpen ini memang mengungkapkan perempuan sebagai sub ordinat laki-laki. Perempuan memerlukan sandaran hidup. Namun perempuan mampu menghadapi persoalan hidup yang melandanya. Namun para penulis perempuan ini tidak menulis tentang pemberontakan perempuan. Mereka tidak bertutur tentang perjuangan persamaan hak yangmenggebu. Kalau ada cuatan tentang persamaan hak, itu dilakukan dengan samar-samar seperti yang diungkapkan oleh Amy Tan.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler