Bukan Kompetitor, Parkir Liar Adalah Musuh Terberat yang Harus Dihadapi Para Pelaku UMKM

Sabtu, 20 April 2024 11:32 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi saya yang masih pra sejahtera, mengeluarkan uang untuk parkir lebih berat dari memikul beban utang negara yang semakin menumpuk. Saat masih di Yogyakarta, saya lebih memilih warkop atau café yang free parkir.

Sudah menjadi rahasia umum parkir liar menjadi kendala berkembanganya para pelaku usaha kecil. Parkir liar bisa dibilang benalu yang tidak sadar telah merenggut rezeki para pelaku UMKM yang dengan gigih menjalankan usahanya.

Bagi para pelaku UMKM, keberadaan kompetitor bukan menjadi masalah utama keberlangsungan suatu usaha, karena jika bisa mengambil peluang kompetitior bisa menjadi partner bisnis yang saling menguntungkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak sedikit UMKM yang menyayangkan akan adanya parkir liar yang mengganggu usahanya, alih-alih menjaga dan mengatur parkir, keberadaannya malah menjadi bumerang pelanggan datang ke dagangannya.

Belum lagi tukang parkir nakal yang dengan seenak dengkulnya mematok tarif yang tidak masuk akal, sudah barang tentu para pelanggan enggan untuk kembali, terlebih bagi kaum kelas menengah atau kaum mendang mending mengeluarkan uang untuk parkir adalah hal yang sebisa mungkin dihindari.

Terlebih di kota besar, ada banyak premanisme berkedok tukang parkir, bagi UMKM menjadi pilihan sulit untuk tidak menerima tukang parkir, lantaran tidak sedikit oknum yang memanfaatkan para pedagang tersebut demi bisa menjadi tukang parkir.

Lebih parahnya lagi, tidak sedikit yang mengancam para pelaku UMKM jika tidak diijinkan untuk menjadi tukang parkir di depan lokasi jualannya, hal ini sungguh meresahkan bukan, padahal kita kan sudah membayar pajak kendaraan yang di dalamnya termasuk untuk parkir berlangganan.

Bayangkan saja, jika kita ingin menikmati makanan yang tidak sampai Rp15.000,- kita harus mengeluarkan uang lagi untuk bayar parkir, sangat tidak manusiawi jika hal ini terus dibiarkan tanpa ada pencegahan dari pihak yang berwenang.

Terlebih bagi saya yang masih pra sejahtera, mengeluarkan uang untuk parkir lebih berat dari memikul beban utang negara yang semakin menumpuk. Saat masih di Yogyakarta, saya lebih memilih warkop atau café yang free parkir.

Saat ini, tampaknya mencari café dengan fasilitas bebas parkir sudah sukar untuk ditemukan seperti menemukan jodoh yang  cocok dan mau diajak nikah. Kantong tipis mahasiswa jika diporot tukang parkir bisa-bisa kultur ngopi dan nongki akan semakin langka dan jarang ditemui jika tukang parkir tetap berkuasa.

Memang di sisi lain tukang parkir juga butuh untuk mencari nafkah, tapi apa tidak ada pekerjaan yang bisa saling menguntungkan satu sama lain, agar kita para mahasiswa rantau donatur kampus yang tidak mengandalkan beasiswa bisa bernafas lega tanpa terbayang-bayang tukang parkir.

Selain itu, para pelaku UMKM bisa enjoy berbisnis tanpa perlu takut pelanggannya kabur karena keberadaan tukang parkir yang terkadang datang tanpa diundang tersebut, sehingga berdagang aman dan bisa menghidupi keluarganya.

Disclaimer ya, artikel ini bukan bermaksud untuk menyudutkan salah satu pihak akan tetapi mencoba untuk menguraikan problematika umat yang semakin kusut dan sulit terurai jika tidak ada langkah jitu bagi pengambil keputusan.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhammad Rizal Firdaus

Content Writer, Copywriter, Graphic Designer, and Creator Digital

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua