img-content
Image of Indonesiana.id
honing

Penulis Indonesiana

20Artikel

0Pengikut

-Mengikuti

Karya Penulis

Berpikir sistemik adalah kunci

Minggu, 28 Juni 2020 11:16 WIB

Tidak ada daerah yang miskin. Yang ada adalah daerah yang salah urus. Kenapa salah urus? Sebab para pemangku kebijakan melihat masalah secara bagian-perbagian. Mereka (para pemangku kebijakan), akhirnya terjebak pada masalah yang sama, ketika mencoba menyelesaikan beragam masalah, mulai dari kemiskinan, kesehatan, pendidikan sampai dengan masalah krisis ekologi. Salah satu alasan, mengapa ini terjadi adalah, karena para pemangku kebijakan tidak melihat masalah secara jernih. Mereka hanya melihat masalah sebagai masalah itu sendiri, seolah tanpa keterkaitan dengan hal-hal lainnya. Banyak contoh soal itu. Salah satu contoh adalah cara pemerintah daerah menyelesaikan masalah gizi buruk di kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Kita tahu, masalah gizi buruk adalah masalah multifaktor. Oleh karena itu, untuk menyelesaikannya harus dilihat secara keseluruhan. Harus dilihat hubungannya dengan masalah-masalah lain seperti pendapatan keluarga, pengetahuan ibu tentang gizi, pengadaan air minum bersih dan lain-lain. Sayangnya, sering kali para kepala daerah tidak mau melihat akar masalah tersebut. Dan lebih sibuk mengurus gelaja-gejala yang muncul dipermukaaan. Masalah yang multifaktor seperti permasalahan gizi itu pun, harus diselesaikan dengan melibatkan banyak pihak. Bukan hanya melimpahkan masalah kepada para tenaga kesehatan semata. Pada titik itulah, menurut saya, kita memerlukan sudut pandang baru, yakni pola berpikir sistemik. Berpikir sistemik Berpikir sistemik (systems thinking) adalah sebuah upaya untuk memahami masalah ataupun keadaan dengan berpijak pada teori sistem. Di dalam pola berpikir sistemik, kita mendekati semua hal tersebut dari kaca mata keseluruhan, yakni dari kaca mata sistem. Dalam arti ini, sistem dapat dipahami sebagai kesalingterkaitan segala sesuatu yang membentuk keseluruhan. Sebuah negara dapat dilihat sebagai sebuah sistem besar yang memiliki sistem-sistem kecil sebagai bagiannya. Ada dua hal dasar yang menjadi bagian dari setiap sistem, yakni tanggapan (feedback) dan penundaan (delay). Kaitan antara tanggapan dan penundaan itu menciptakan beragam perubahan di sekitar kita, mulai dari sistem politik, ekonomi sampai dengan sistem tubuh kita yang mempengaruhi kesehatan tubuh maupun batin kita. Peter Senge, salah satu ahli pengembangan organisasi dari sudut pandang teori sistem, memahami pola berpikir sistemik sebagai upaya untuk melihat secara keseluruhan. Artinya, kita diajak untuk melihat kaitan dan hubungan dari berbagai hal (interconnectedness). Kita diajak pula untuk melihat pola yang berulang dari berbagai perubahan yang terjadi, dan tidak hanya terpaku pada potongan-potongan peristiwa belaka. Pola berpikir sistemik ini menawarkan sudut pandang baru bagi kita untuk memahami keterkaitan-keterkaitan yang seringkali tak tampak langsung pada pandangan pertama. Kesalingterkaitan inilah yang sesungguhnya merupakan ciri dasar dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Tidak ada satu hal pun yang bisa ada tanpa kaitan dengan hal-hal lainnya. Masalah dalam kesalingterkaitan Kita kerap kali melihat para kepala daerah telah berusaha mengatasi berbagai masalah yang ada didaerah. Meski begitu, masalah-masalah tersebut terus muncul, padahal beragam cara telah dilakukan untuk menyelesaikannya. Ini terjadi, karena para kepala daerah belum menggunakan pola berpikir sistemik. Artinya, mereka belum sadar, bahwa sebuah masalah selalu terkait dengan banyak hal lainnya. Tidak ada masalah yang berdiri sendiri. Misalnya persoalan kematian Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Banyak masyarakat di Nusa Tenggara Timur memilih menjadi TKI, karena ditekan oleh keadaan, misalnya kemiskinan. Oleh karena itu, jalan keluar yang ditawarkan tidak bisa hanya sebatas melakukan pengetatan dengan memperbanyak aparat keamanan diberbagai pintu keluar Nusa Tenggara Timur. Hal itu tentu tidak salah. Hanya saja, belumlah cukup. Untuk itu, kita perlu melihat hubungannya dengan berbagai faktor. Misalnya, orang menjadi TKI terkait erat dengan kemiskinan. Kemiskinan terkait erat dengan salah kebijakan pemerintah guna memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya. Kesalahan kebijakan terkait dengan mutu para pembuat kebijakan yang rendah. Kemampuan berpikir mendalam dan kritis mereka amatlah kurang. Hal ini terkait juga dengan masalah pendidikan yang juga salah paradigma, dan lemah secara sistem. Artinya, orang memilih bekerja sebagai TKI terkait erat dengan semua unsur-unsur tersebut. Membangun daerah Pembangunan harus dipahami sebagai upaya pemerintah daerah untuk menjadi bagian dari solusi atas masalah rakyat. Secara umum, masalah yang dialami oleh masyarakat dapat dikategorikan dalam empat hal: bagaimana hidup lebih sehat sehingga harapan hidup lebih panjang, bagaimana rakyat lebih cerdas sehingga lebih mampu mengembangkan potensi dan keterampilan hidupnya untuk dapat meraih hidup yang lebih baik, bagaimana rakyat lebih produktif menciptakan pendapatan dan daya beli, serta bagaimana rakyat dapat hidup lebih bahagia. Untuk itu, pembangunan infrastruktur, pengelolaan lingkungan hidup, pembuatan regulasi, pengelolaan anggaran, dan tata kelola, misalnya, harus ditempatkan dalam kerangka penyelesaian empat masalah tersebut. Selanjutnya, dengan pola pikir sistemik ini, kita akan sadar bahwa pembagian urusan dalam pengelolaan pembangunan tidak bisa ditangani oleh satu unit organisasi atau yang disebut organisasi perangkat daerah. Problem ego sektoral dapat diselesaikan dengan penempatan isu strategis sebagai isu bersama. Sebagai contoh, isu produksi pangan tidak hanya menjadi tanggung jawab dinas pertanian. Tapi, justru dinas itulah yang meminta dinas yang mengurus pembangunan infrastuktur air, jalan, dan perdagangan untuk memenuhi semua hal yang diperlukan guna menjamin target produksi pangan. Dengan pola pikir sistemik, kita juga akan sadar bahwa untuk menjamin mekanisme problem driven base dan ketersambungan antara kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan; pemerintah harus memberi akses seluas-luasnya kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan keluhannya. Pemerintah harus menjamin bahwa rakyat dapat mengakses semua proses politik dan teknokratik serta pelaksanaan pembangunan sejak perencanaan, penganggaran, pengadaan, hingga pelaporan. Terakhir, dengan menggunakan pola berpikir sistemik, kita menjadi sadar, bahwa ada hal-hal yang dapat terjadi di luar dari maksud dan tujuan tindakan kita. Inilah yang disebut akibat-akibat yang tidak dimaksudkan dari sebuah tindakan. Kita bisa menghindari ini dengan terus sadar akan pengaruh dari tanggapan maupun penundaan dari tindakan kita. Pola berpikir sistemik ini juga mengajarkan kita untuk melihat sesuatu dalam kaitan dengan hal-hal lainnya. Kita tidak lagi mengira, bahwa suatu peristiwa terjadi terpisah dari beragam hal lainnya. Kita harus bisa merancang jalan keluar dalam kesadaran akan keterkaitan dengan banyak hal tersebut. Hanya dengan cara berpikir sistemik ini, ada kemungkinan, masalah yang ada selama ini bisa berkurang, atau menghilang sama sekali.

img-content0

Cerpen | Perempuan Bodoh dari Besipa'e

Selasa, 19 Mei 2020 08:16 WIB

“Perempuan bodoh!” “Perempuan bodoh?” Saya tak mengerti: kenapa ucapan itu terdengar pelan. Bukankah ia sedang menghina saya? Kenapa ia tak berani lantang? Beberapa detik saya pikirkan. Oh, mungkin karena ia sudah terlalu lelah. Berjam-jam ia memeriksa saya. Sejak kemarin lusa, ini pemeriksaan kali kedua. Tapi sampai sekarang ia belum juga mendapatkan apa-apa. Saya menatapnya, ia duduk menghadap ke arah saya di seberang meja. Sebagai seorang polisi, ia sudah menjalankan aturan sebagaimana mestinya. Ia tak seperti kebanyakan polisi lainnya, ia lepaskan seragamnya sewaktu memeriksa saya. Ia ganti dengan sebuah kemeja. Memang, sudah semestinya begitu. “Perempuan bodoh? Maksud Bapak apa?” Raut wajahnya berubah. Ia terlihat tegang dan mulai ketakutan. Saya bisa saja melaporkan dia atas tuduhan penghinaan dalam pemeriksaan perkara. Atau setidak-tidaknya saya bikin laporan ke Propam, untuk pelanggaran kode etik. Akan tetapi, saya tidak tega. Lihatlah raut wajahnya. Betapa lelahnya ia. Berjam-jam ia memeriksa saya. Seharusnya ada pengganti, atau setidak-tidaknya ada yang mendampingi. Tidak seperti saat ini, hanya ia sendiri. Berdua dengan saya di ruangan Reskrim ini. “Sumpah, saya tidak bermaksud demikian.” Ia coba meyakinkan saya. “Empat jam saya diperiksa, tapi Bapak melecehkan saya. Tidakkah Bapak seharusnya bisa lebih sopan?” “Iya, iya,” ia menjawab gugup, “saya minta maaf". Saya tidak ada niat menghina, Mama. Saya hanya lelah. Saya hanya butuh sedikit istirahat. Saya minta maaf .” Saya coba memahaminya. Ia belum mendapatkan keterangan yang berarti dari saya, tapi lelah sudah menyergap tubuhnya. Betapa kasihan ia. “Jujur,” katanya, “saya tidak mau mama melaporkan saya.” “Kenapa?” “Karena saya sudah mengalami trauma.” “Trauma kenapa?” “IYa, mama” katanya. “Sudah dua kali saya ditegur Komandan.” “Ditegur kenapa?” " Karna emosi saya sering tidak terkendali. Setiap ada terperiksa atau tersangka yang berbuat datang, saya langsung jadi kesal. Awalnya hanya makian. Tapi karena terlalu sering, akhirnya jadi kebiasaan. Seperti tadi yang mama dengar. Saya kesal. Saya belum juga mendapatkan keterangan kunci. Sedangkan saya sudah lelah. Akhirnya….” “Akhirnya pak hina saya bodoh begitu?” “Iya, mama! Tapi saya tidak maki.” Saya mengerti. Ia kesal karena belum mendapatkan keterangan tentang siapa yang menyuruh kami memprotes dengan bertelanjang dada. Saya tahu, sebab sejak tadi ia melontarkan pertanyaan tentang siapa yang memprovokasi kami untuk melakukan seperti itu. Selain belum mendapatkan keterangan, sebenarnya ia juga kesal karena tak ada petugas pengganti. Padahal rasa capek sudah menyergap tubuhnya. “Saya harap mama mengerti. Saya tidak ada maksud menghina.” “Baiklah,” kata saya. “Tapi bolehkah saya tahu kenapa pak memilih kalimat 'perempuan bodoh’ untuk menunjukan kekesala? Kenapa tidak ucapkan kata yang lain saja?” “Ada,” katanya. “Hanya saya sudah terbiasa menggunakan kalimat itu.” “Kasihan,” kata saya. “Kasihan?” “Ya. Karna perempuan masih saja dihina dan dilecehkan seperti itu. Padahal kau lahir dari seorang Perempuan. Pak tahu kalau perempuan adalah makluk paling teraniaya didunia ini?” “Maksudnya?” Betapa bodohnya ia, tak mengerti maksud saya. “Baiklah. Saya jelaskan. Pak pernah urus kasus perselingkuhan?” “Pernah,” katanya. "Tau istilah pelakor?" "Pernah," ia menjawab lagi. “Itu kebiasaan kaum laki-laki. Mereka yang memulai lebih duluan. Tapi saat ada masalah, mereka berpura-pura jadi korban.” “Siapa suruh jadi pelakor?” “Istilah pelakor itu ciptaan laki-laki, pak.” “Hah, ciptaan laki-laki?” “Iya, pak. Laki-laki lah yang lebih dulu menggoda. Saat menggoda, ia suka menipu perempuan bahwa ia masih jomblo atau belum menikah. Nanti saat terjadi masalah, ia tiba-tiba mengubah posisi seolah-olah menjadi korban. Saat itu perempuanlah yang disalahkan. Padahal perempuanlah yang seharusnya menjadi korban dari tipu daya si laki-laki. Istilah pelakor itu awalnya cuma ucapan biasa, lama kelamaan jadi kebiasaan dan stigma untuk mendeskreditkan perempuan. "Awalnya ucapan biasa tp lama-kelamaan lalu menjadi kebiasaan, maksudnya?" Ia bertanya. "Iya, Pak. Awalnya hanya ucapan biasa seperti kalimat 'perempuan bodoh' yang tadi bapak ucapkan kepada saya. Tapi lambat-laun menjadi kebiasaan." Ia menatap saya dengan serius. Saya lalu melanjutkan." Pak pernah dengar kasus di Desa Kiubaat? " "Kasus apa?" Ia penasaran. "Kasus perselingkuhan seorang laki-laki yang sudah menikah. Ia meninggalkan istrinya yang telah memberikan 3 orang anak kepadanya." "Yang benar?" "Sumpah, pak! Ia membawa perempuan hasil perselingkuhan itu ke rumahnya. Ia lalu mengusir istinya yang sah." "Trus..?" "Perempuan itu akhirnya pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa tiga orang anak itu. Dua bulan kemudian, ia berangkat ke Malaysia untuk menjadi TKW." "Kenapa harus ke Malaysia? Kan bekerja disini! Katanya." "Kalau disini, ia pasti akan dihantam beberapa masalah sekaligus. Ia akan terus tersakiti kalau melihat suaminya bersama perempuan yang lain. Ia juga harus menahan malu dengan ucapan orang-orang disini. Pak, tahu istilah dalam Bahasa Dawan untuk seorang janda? " "Tidak! apa?" "Disini orang biasanya menyebut orang yang sudah diceraikan dengan istilah "Mpoli". "Artinya?" Ia bertanya. "Mpoli itu artinya buangan, bekas, sampah !" Ia hanya menunduk. Saya kemudian melanjutkan, "Laki-laki sepintar apa pun, ia tak bisa merasakan langsung perasaan yang dialami perempuan." "Betul" Iya mengangguk. "Laki-laki juga tak bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi perempuan yang tanahnya dirampas. Ia tak bisa melihat hubungan antara tanah dan pangan. Ia tak tahu hal itu sebab ia tak pernah berpikir soal stok makanan di dapur. Ia juga tak pernah berpikir soal anak-anak yang berbisik dikala lapar." "Tapi tidak semua laki-laki begitu." "Benar! Tidak semua! Tapi sebagian besar laki-laki seperti itu. Apa lagi laki-laki yang hidup di kota. Ia seringkali hanya sibuk bicara soal sopan-santun, moral, dan merasa sok tahu. Dia juga..." "Tapi kan kasus kemarin itu, ada juga perempuan yang mencibir mama dan teman-teman yang bertelanjang dada saat melakukan protes?" "Saya tahu, pak. Tapi saya tak bisa menyalahkan mereka. Perempuan-perempuan seperti itu sebetulnya karna ia sudah terbiasa berpikir dari sudut pandang laki-laki. Pokoknya, persis seperti perempuan yang suka berkelahi dengan sesama perempuan di saat suami atau kekasihnya selingkuh. Ia bisa marah karna ia melihat dari sudut pandang laki-laki. Ia tak sadar bahwa kami sesama perempuan adalah korban dari tipu daya laki-laki." Saya melihat ia sungguh-sungguh mendengarkan penjelasan saya. "Perempuan yang melihat dari sudut pandang laki-laki juga seperti itu. Awalnya cuma kebiasaan, lama-lama jadi hobi." "Hah, hobi?" "Iya. Hobi menyalahkan sesama perempuan." "Ah, masa?" "Sungguh ! Coba pak lihat saja kalau ada kasus perselingkuhan. Alasan yang sering disampaikan bahwa hal itu terjadi karna perempuan tak bisa memberikan kepuasan kepada suaminya, atau tak bisa menjaga diri. Padahal, laki-laki itu yang tak bisa mengatur hasratnya. Ia tiba-tiba menarik napas lalu menghembuskan. Saya melanjutkan, " Kasus pemerkosaan, kasus KDRT, kasus perampasan lahan, kasus perselingkuhan dan kasus yang lain juga seperti itu. Perempuan juga yang pada akhirnya disalahkan." "Kasus pemerkosaan juga seperti itu?" “Ya,” jawab saya. Ia diam, mungkin menunggu kelanjutan. “Saat masih muda. Saya juga pernah diperkosa." “Hah? Mama pernah diperkosa?” “Pernah,” kata saya. "Saat itu mama melapor ke polisi?" "Tidak!" Ia mengerutkan keningnya menandakan ketidakmengertian. “Ceritanya bagaimana sampai mama bisa diperkosa?" "Saya hanya diam." "Mama, kenapa?" "Saya hanya terdiam. Air mata tiba-tiba membasahi pipi saya." "Mama, bisa ceritakan untuk saya?" “Bisa,” kata saya. “Tapi kita harus kembali dulu ke materi pemeriksaan.” Saya berbicara sambil mengusap air mata dengan baju." “Maksudnya?” “Seperti yang pak mau. Pak kan tadi mau mengorek keterangan kunci dari saya soal siapa dalang dan kenapa kami memprotes pemerintah dengan bertelanjang dada. Nah, supaya pak tidak bertanya-tanya diluar kasus itu. Sebaiknya langsung saja saya utarakan.” “Silakan!” katanya. Saya lihat ia sungguh-sungguh mendengarkan. “Begini,” kata saya, “saya tahu dalangnya siapa. Dalangnya adalah pemerintah." "Dalangnya pemerintah?" “Ya.” “Alasannya?” “Karna itu adalah tanah leluhur kami. Orang tua kami dulu ditipu oleh pemerintah. Mereka berjanji bahwa kalau kami memberikan tanah kami untuk di sewa oleh pemerintah, maka hidup kami akan berubah." Ia menatap saya dengan serius. "Tapi apa yang kami dapat? Sampai habis masa sewa hak pakai atas tanah, hidup kami tak kunjung berubah." Ia tiba-tiba menunduk. "Sudah begitu, pemerintah malah mau merampas tanah kami. Padahal, jika jangka waktu sewa sudah habis, seharusnya tanah itu dikembalikan kepada kami. Ia mengangkat kepala sambil menatap saya. "Ini seperti kita menyewa sebuah mobil. Kalau masa sewanya sudah selesai, mobil harus dikembalikan kepada pemiliknya. Bukan justru sebaliknya." "Tapi kan pemerintah hanya mau melanjukan kontrak atau sewa itu?" "Betul, pak. Tapi kalau mau melanjutkan sewa pun juga harus ada kesepakan dengan kami sebagai pemilik tanah. Bukan membuat kesepakatan sepihak seperti itu. Saya memang tidak sekolah, tapi saya mengerti hal seperti itu." Ia mengangguk. "Lalu kenapa mama dan teman-teman melakukan protes dengan bertelanjang dada?" Ia bertanya. "Pak, belum mengerti kenapa kami melakukan protes dengan bertelanjang dada? Itu perjuangan simbolik. Hanya, itu satu-satunya cara menarik urusan privat ke urusan publik. Tapi pemerintah tak pernah melihat dari sudut pandang kami. Pemerintah dan sebagian orang suci diluar sana selalu melihat dari sudut pandang laki-laki. Persis seperti kasus-kasus yang lain. Ia tiba-tiba menunduk. Saya sebetulnya ingin melanjutkan ucapan itu. Tapi belum sempat saya lanjutkan, tiba-tiba saya lihat matanya mulai berbinar, dan ia kembali berkata, “Perempuan bodoh! Sekarang saya mengerti."

img-content0

Cerpen: Nona Mince

Rabu, 6 Mei 2020 15:52 WIB

"Minceee?" suara ayahnya memanggil dari ruang tamu. "Iya?" Mince menjawab dari dalam kamar. Ia kemudia berjalan menuju ruang tamu yang sudah penuh dengan keluarga besarnya. "Coba telpon Melky dulu. Kesepakatan untuk kesini jam 3, tapi sudah jam begini keluarga Melky belum juga datang," Ayahnya mulai kesal. Sebetulnya mereka berniat melamarmu ataukah tidak?" lanjut ayahnya dengan wajah cemberut. Beberapa orang keluarganya pun tampak mulai gelisah. Mince kemudian menelepon Melky. Tapi nomernya tak aktif. Ia terus menelpon berulang kali. Tapi hasiknya tetap sama. Tak ada jawaban. Sesekali ia melihat kearah dinding diruang tamu itu. Jarum jam sudah menunjukan pukul 4 sore. Ia pun mulai gelisah. Perasaanya tak enak. Detak jantungnya terasa berdegup lebih cepat ...cepat sekali. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sore itu ia kenakan kain sarung peninggalan ibunya, serta baju merah tua yang baru ia beli pada hari sabtu kemarin. Ia keliahatan lebih manis dari biasanya. Tapi..tapi detak jantungnya semakin keras, sampai telapak tangannya pun ikut berkeringat. Sesekali ia usapkan tangannya ke kain sarung yang sudah beberapa jam membalut tubuhnya. Ia tak tahu kenapa detaknya semakin keras. Kenapa semua terasa begitu sepi? Kenapa? Ia bertanya dalam hati. Ia tetap duduk menanti. Apakah semua janji yang pernah diucapkan Melky akan tertunai hari ini? Entahlah. Ia hanya menunduk sambil sesekali memainkan ujung sarungnya. Matanya sayu. Telinganya dipenuhi detak memaksa. Suara perbincangan keluarga besarnya diruang tamu tak lagi ia hiraukan, detak itu saja yang tak henti menemani. Tiba-tiba,..... tiba-tiba kerumunan orang mendekati rumahnya. Mendekati dari arah jalan setapak itu. Ia hanya menoleh dan bertanya dalam hati. Apa yang terjadi? Kenapa wajah orang-orang itu seperti ketakutan? Kenapa ada orang menangis? Detak jantungnya semakin keras terdengar. Entah berapa kali ia usapkan tangannya yang basah. Ujung sarung itu pun lusu dan basah. Baju merah tua yang ia kenakan itu pun semakin kusut. Apa yang didengarnya, apa yang disaksikannya membuat semuanya terasa gelap. Gelap gulita. Tanpa cahaya. Ia tergolek lemah dipangkuan ayahnya. Melky, kekasihnya yang paling ia cintai...yang sore ini akan datang melamarnya, akhirnya pergi untuk selamanya! *** Rumah biru, Mey 2020.

img-content0

Cerpen: Kisah Buaya Penunggu Cekdam Bu'at

Rabu, 6 Mei 2020 06:08 WIB

Pistol di tangan empat orang polisi itu berbunyi, tetapi sudah kukeraskan seluruh kulit dan tubuhku. Perih memang ketika peluru-peluru itu menyentuh kulitku, tetapi peluru itu hanya terhempas ke semak-semak disekitarku. Seperti kemarin-kemarin, hanya kulitku saja yang sedikit terkelupas oleh besi-besi itu. Setelah satu jam menembak, polisi-polisi itu mundur sambil menggeleng kepada teman-temannya. Seluruh peluru didalam senapan itu sudah kubikin penyot ketika menyentuh lapisan terluar dagingku. Sudah seminggu ini para warga di kota ini sudah berusaha membunuhku. Ada yang memancingku dengan menaruh racun pada perut seekor ayam , ada yang melempariku saat aku berjemur ditepi cekdam,, hingga para polisi ini menembakku. Sejak tahun 1972, hanya aku dan suamiku yang pertama kali menempati Cekdam ini. Sebetulnya, kami bukan berasal dari sini. Kami berasal dari sungai Nolemina. Sungai terbesar dikabupaten ini. Kami dilepas seusai melalui beberapa ritual adat. Bupati pertama dikabupaten inilah yang melepaskan kami. Tapi sepuluh tahun kemudian, suamiku mati diracun oleh dua orang warga yang tak pernah mengerti tentang perasaan dua ekor hewan. Aku masih ingat hari kematian suamiku. hari itu langit berwarna jingga. Daun-daun seakan berdebu. Saat itu, suamiku mengajakku berjemur di tepi Cekdam. Ia keluar lebih duluan. Aku mengikutinya dari belakang. Waktu itu, aku sudah memperingati suamiku ketika aku melihat ada seekor ayam yang lerlentang ditepi Cekdam. Aku menyuruhnya untuk mencium terlebih dahulu sebelum menyantap tubuh ayam itu. Tapi seperti para suami pada umumnya, ia tidak menghiraukan apa yang aku sampaikan. Ia sempat mengajakku untuk ikut mencicipi tubuh ayam itu. Tapi perasaanku tak enak. Aku menolak dan membiarkannya mencicipi terlebih dahulu. Setengah jam setelah itu, ia muntah-muntah. Perutnya mengembung. Ia lalu berguling dengan busa memenuhi mulutnya. Semak-semak disekitarnya seakan ikut merasakan kesakitan itu. Beberapa saat kemudian, ia meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Pergi tanpa sepatah kata adalah cara pergi paling kejam. Ia mati di ujung cekdam ini. Seusai kematiannya, aku tak lagi memiliki teman. Sejak saat itu, aku memusuhi semua orang dikota ini. Kecuali beberapa ekor sapi yang sering kesini untuk minum. Mereka adalah teman-teman terbaikku. Merekalah yang menghiburku disaat setiap kali aku merindukan suamiku. Sapi-sapi itu pernah berkata kepadaku, "manusia-manusia itu ingin membunuhmu agar mereka bisa memancing ikan atau bebas mengambil air di cekdam ini."Namun, aku belum bisa mengikhlaskan diri menjadi tumbal. Aku lebih dulu lahir ketimbang siapa pun di kota ini. Kulitku adalah tanda bahwa aku lebih tua dari manusia paling tua sekalipun dikota ini. Kusaksikan langsung jalannya sejarah kota ini! Begitu banyak yang kusaksikan hingga aku berani mengaku lebih bijaksana dari siapa pun, bahkan para Pendeta, Pastor, maupun pohon beringin tertua di kampung bernama Airbesi itu. Seandainya aku bisa menulis, tentu sudah kutulis buku-buku tebal berisi hikmah dan pengetahuan. Saat tubuhku mendekati setengah meter, kota ini masih belantara lebat tanpa manusia. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Aku pernah menggigit seekor ular sebesar pohon pisang. Aku juga pernah menerkam seorang pria dewasa dan anaknya yang sedang memancing dipinggir cekdam. Para raja dikota ini pun pernah menyembahku sebelum agama-agama impor itu masuk. Itulah mengapa mereka menjululiku Besimnasi {Besi Tua}. Aku juga sering mempersilahkan burung tekukur, pipit dan sebagainya untuk menikmati air ditempat ini tanpa mengusir, melarang, atau membeda-bedakan mereka. Ketika panjangku mencapai satu meter, kusaksikan manusia pertama yang membawa tombak dan berburu rusa dan babi hutan disini. Juga masih kuingat laki-laki pertama yang membuka lahan untuk berkebun. Laki-laki itu sering mencuci tangan dan kakinya disini seusai berkebun. Sering pula ia tertidur hingga sore dan harus kubangunkan dengan membanting tubuhku ke air agar ia terjaga. Selalu ia mengucapkan terima kasih kepadaku sambil tersenyum saat terjaga. Aku memang tak tega jika laki-laki berambut jagung yang santun dan rajin itu pulang kemalaman. Aku dan dia sama-sama tak menyukai gelap, tetapi mungkin dengan alasan yang berbeda. Aku tak suka gelap karena tanpa panas dan cahaya, aku tak bisa berjemur untuk menghangatkan tubuhku yang lebih banyak menyentuh air. Aku tumbuh menjadi buaya paling ditakuti dikota ini. Setiap kali tubuhku bertambah panjang, pengetahuan dan kebijaksanaanku juga bertambah. Lalu kutemukan cara paling manjur untuk mendapatkan makanan. Aku tak lagi menerkam hewan peliharaan warga. Juga tak lagi menerkam manusia yang sering memancing disini, kecuali mereka menggangguku. Aku lebih suka memangsa hewan-hewan liar di hutan saat malam hari, atau memangsa ikan-ikan di cekdam ini. Tapi jika ikan-ikan disini mulai berkurang, aku akan membiarkan mereka berkembang biak. Tak jarang aku kelaparan karena tak mendapatkan mangsa. Apalagi saat cekdam ini mulai dipagari kawat berduri. Seringkali aku harus mengganjal perutku dengan membuka mulut lebar-lebar, dan membiarkan lalat menghinggapi gigi dan lidahku. Saat aku merasa sudah cukup banyak, aku akan menutup mulut dan mengunyah lalat-lalat itu. Memang tak begitu mengenyangkan, tapi itu cukup untuk mengusir rasa lapar dalam beberapa hari. Hasilnya, aku semakin tumbuh dengan sehat. Gigiku menjadi sangat kuat, sanggup merobek daging yang sangat padat, juga bisa menghancurkan tulang dari hewan mana pun. Perutku sanggup menampung air setara 20 jerigen, dan daging seberat 15 Kilogram untuk bisa bertahan selama sebulan. Kalau musim kemarau tiba dan air disini mulai berkurang. Aku akan menyelam ke dasar Cekdam, membersihkan rumput atau menggeser beberapa batang kayu yang menghalangi mata air. Mungkin lantaran itulah beberapa orang-orang menyebutku Uis Oe (Tuan Air). Dengan pengetahuan dan kebijaksanaan seperti itu, siapa pun akan mahfum jika aku tumbuh menjadi raksasa: pada puncak usiaku sekarang ini, butuh 2 orang dewasa untuk memeluk tubuhku. Namun, aku tak pernah takabur dengan kelebihan itu. Ketika Taman Bu'at pertama kali dibangun di daerah ini, kuizinkan siapa pun menghibur diri dengan melihat sosokku. Bahkan setelah Desa Bu’at berubah menjadi kota yang ramai, tak pernah kutolak orang-orang yang ingin berkunjung kesini. Tak kuingat lagi sudah berapa banyak pasangan yang pernah datang kesini. Aku menjadi saksi entah berapa ciuman pertama, janji-janji manis, dan pertengkaran-pertengkaran asmara. Aku menikmati cerita-cerita cinta itu karena aku pun merasakan keindahannya, sebelum suamiku mati diracun. Aku juga pernah menyaksikan kebodohan-kebodohan dari beberapa orang yang pernah besila dan menaruh tempat siri sambil berbicara seperti kesurupan. Mereka mengucapkan beberapa permohonan. Minta menurunkan hujan, minta dijaga, minta dikasih rejeki dan minta ini-itu yang hanya membikin aku tersenyum geli. Aku hanyalah seekor Buaya, bukan Uis Neno atau Pengusaha kaya seperti Tomi Mubatar. Yang bisa kuberikan hanyalah menjaga keindahan Cekdam ini dan membersihkan mata air jika sewaktu-waktu tersumbat. Hanya itu, tak lebih. Kebodohan paling menyebalkan adalah ucapan seorang laki-laki berdarah biru yang mengaku sebagai pemilik lahan tempatku tinggal. Ia memaki dan mengancamku ketika memancing disini. Ia berpikir akulah yang mengusir ikan-ikan itu sehingga tak memakan umpan diujung kailnya. Padahal, seminggu lalu banyak ikan yang mati karena diracun oleh seorang pemuda yang entah dari mana. Aku tak suka dimaki. Aku juga benci diancam. Maka aku menerkamnya tepat dilengan kanannya. Aku menariknya dasar cekdam. Lalu menggigit dan merobek beberapa bagian tubuhnya. Kaki, tangan, dan kepalanya aku telan. Sebetulnya, saat itu aku sudah memafkan lelaki ini. Hanya saja, aku mengenal wajahnya. Ia adalah sah satu dari dua orang lelaki muda yang pernah meracuni suamiku. Sejak hari itu, tak ada lagi orang yang berani membunuhku. Hingga suatu hari, aku merasa kaki-kakiku tak lagi bisa menopang tubuhku. Aku tak bisa berjalan. Aku hanya bisa tertidur diujung Cekdam ini. Aku sudah tak makan dalam beberapa minggu ini. Hingga aku merasa bahwa ajalku hampir tiba. Banyak semut sudah memenuhi tubuhku. Aku bisa merasakannya. Hanya tubuhku tak bisa lagi untuk bergerak. Aku pasrah. Setengah jam sebelum aku menghembuskan nafas terakhirku. Aku memilih mengingat kembali saat pertama kali aku dan suamiku menempati Cekdam ini. Aku mengingat semuanya. mengingat sejarah jalannya kota ini. Meminta maaf kepada siapapun yang pernah aku lukai dan rugikan dalam hidupku. Hingga suatu malam, tepat pukul 21 : 23 WIT, saat jalannan sudah mulai sepi. Aku mati dalam kesunyian dengan ditemani bunyi-bunyian jangkrik. Aku meninggal tepat di tempat ini; Di depan Cekdam, tempat dimana suamiku pernah menghembuskan nafas terakhirnya.

img-content0

Mendesain Sektor Pendidikan dan Pariwisata di Kabupaten TTS

Selasa, 7 April 2020 09:08 WIB

Sebagian pemangku kebijakan didaerah memang masih ada yang beranggapan bahwa dengan menarik investor untuk mengelola sumber daya alam didaerah kita, maka seluruh permasalahan di kabupaten Timor Tengah Selatan akan terselesaikan. Pertumbuhan ekonomi akan meningkat, kemiskinan berkurang dan masyarakat akan sejahtera. Pertanyaannya apakah sesederhana itu? Menurut saya tidak. Pergerakan capital ke suatu daerah tanpa diikuti dgn pergerakan sumber daya manusia yang handal tidak akan menciptakan dampak ekonomi yang luas. Ini mungkin tepatnya seperti apa yang sedang terjadi saat ini. Saat pemerintah pusat mengalokasiskan dana ke daerah-daerah tertinggal atau menggelontorkan dana kesetiap desa, tapi tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Dana-dana yang digelontorkan itu seharusnya dimaknai sebagai stimulus saja. tidak lebih. Lalu, harus dimulai dari mana? Menurut saya, daerah kita akan semakin membaik jika kita memperkuat sumber daya manusia. Untuk meningkatkan sumber daya manusia Timor Tengah Selatan (TTS) yang handal bisa kita lakukan dengan jalan menjadikan Kota Soe sebagai kota pendidikan. Dimana ini nantinya akan menghasilkan efek ganda yang akan membawa perubahan mendasar pada sektor ekonomi yang juga berdampak pada peningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Kita seharusnya tidak perlu malu-malu untuk belajar dari kota malang sebagai contoh. Mari coba dihitung, seandainya saat ini ada 300 anak TTS yang sedang menempuh pendidikan kota malang. Jika biaya hidup mereka (uang kos + makan minum) dalam sebulan adalah 1juta, maka setiap bulannnya uang dari kabupaten TTS yang seharusnya berputar di TTS harus keluar dan berputar di kota malang mencapai 300 juta (300 mahasiswa x 1juta). Ini mungkin salah satu contoh sederhana saja, bahwa kita sebetulnya juga ikut membangun kota Malang dan kota-kota lainnya. Nah, mari kita hitung ada berapa ribu mahasiswa TTS yang tersebar di Jogja, Salatiga, Malang, Surabaya, Kupang, Kediri dan lain-lain. Coba bayangkan, ada berapa banyak uang yang keluar dari daerah kita dalam setiap bulannya? Selain menata sektor pendidikan, Para pemangku kebijakan juga tidak perlu kaku untuk menata sektor pariwisata di Timor Tengah Selatan dengan memberi julukan bagi daerah ini. Seperti halnya Jogja dengan julukan kota pelajar, atau Malang dengan julukan kota pendidikan. Hanya dengan julukan seperti itu, sudah membuat jutaan orang datang ke kota-kota ini, dan ikut membangun kota ini tanpa disadari. Lalu bagaimana dengan daerah kita? Apakah kita masih ingin terus bertahan dengan julukan kota dingin? Selanjutnya, saya percaya bahwa kalau SDM yang handal ini kemudian hadir bersamaan dengan pergerakan modal, pasti akan mendorong kemajuan ekonomi didaerah kita. Jika langkah ini sudah kita lakukan, maka selanjutnya tugas kita adalah terus menerus memastikan agar SDM tersebut kemudian juga mengakumulasi capital, sehingga menciptakan inovasi dan mencetak SDM yang lebih handal. Hal ini penting, supaya dalam konteks pergerakan capital dan SDM itu harus mampu mendorong terciptanya pusat penelitian, fasilitas sosial dan pendidikan yang lebih baik secara berkala. Sekali lagi, coba bayangkan jika daerah kita ini dijadikan sebagai salah satu kota pendidikan, lalu dengan adanya sekolah dan kampus-kampus ini, para pengajarnya mendapatkan bea siswa keluar negri. Pastinya, kampus-kampus dan sekolah ini akan menjadi sumber penyebaran pengetahuan, dan tentunya akan terus menciptakan SDM yang handal. Belum berhenti disitu, dengan adanya kampus-kampus dan sekolah ini, tentunya akan ada pusat-pusat penelitian, dan dengan fasilitas yang ada maka sudah pasti akan menjadi corong inovasi dan teknologi yang selanjutnya akan kita gunakan untuk membangun daerah kita. Jika hal ini ditangkap oleh para pemangku kebijakan dan dengan pelan-pelan menata kembali birokrasi, menyediakan regulasi yang mendukung dan memfasilitasi masyarakat lokal, maka kedepan daerah kita akan memiliki aset baru yaitu berupa generasi dan tenaga kerja yang handal, yang kemudian akan menciptakan nilai ekonomi baru. Lalu pertumbuhan ini tentu akan menarik tenaga kerja handal di daerah lain untuk masuk ke wilayah ini dan menciptakan pertumbuhan lagi. Ini pasti akan berlangsung terus sehingga menjadi sebuah siklus yang berulang. Memang tugas para pemangku kebijakan di daerah kita ini kedepan haruslah benar-benar melihat kebutuhan daerah dalam jangka panjang, lalu membuat skala prioritasnya sambil pelan-pelan bergerak menuju apa yang sudah direncanakan dan apa yang ingin dituju. Menata tempat wisata di TTS Disamping fokus untuk menata dan memperbaiki pendidikan di TTS yang berfokus pada kualitas. Pemerintah juga perlu pelan-pelan memoles beragam wisata yang ada di TTS agar terintegrasi dengan aktivitas masyarakat, dan juga mampu menghasilkan efek ganda pada sektor ekonomi sehingga dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Beragam potensi wisata yang ada di TTS juga perlu dikaji dan di rencanakan dengan matang supaya tidak mengesampingkan masyrakat yang ada disekitar tempat-tempat wisata. Disamping itu, setiap bangunan kantor pemerintah, rumah warga, vila dan lain-lain disekitar tempat wisata perlu untuk dikawinkan dengan motif dan corak lokal yang ada di TTS. Hal ini penting agar ciri khas dari daerah kita benar-benar menyatu dengan bangunan dan budaya yang kita punya. Khusus untuk pembangunan vila di sekitar tempat wisata, menurut saya perlu untuk dibatasi agar dampak langsung dari tempat-tempat wisata ini tidak hanya nikmati oleh sekelompok orang saja yang mempunyai modal. Jadi, yang perlu diperkuat oleh pemerintah adalah rumah-rumah warga yang ada disekitar tempat wisata. Setiap rumah yang ada disekitar tempat wisata, minimal ada satu kamar yang harus diperbaiki untuk disewakan. Hal ini penting agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton disekitar tempat wisata. Disamping itu, makanan-makan lokal, kerajinan tangan dan lain-lain juga bisa langsung dijual kepada para pengunjung disekitar tempat wisata yang ada. Terkahir, tidak berlebihan jika saya beranggapan bahwa tugas pemerintah daerah ini haruslah seperti memoles Nona Timor. Tidak perlu mengumbarnya, tapi memolesnya pelan-pelan, memberikan pendidikan, mengajarkan budaya halus dan memasak, sehingga kelak ia bisa memenangkan hati seorang pria yang baik dan bertanggung jawab. Dan untuk memulai hal ini, para pemangku kebijakan haruslah benar-benar memiliki komitmen yang kuat, dengan hadir untuk memberikan stimulus terlebih dahulu.

img-content0

Terlalu Sulit Menjadi Perempuan

Selasa, 7 April 2020 09:06 WIB

Seorang pemikir perancis bernama Jacques Rousseau pernah berkata: “Manusia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara.” Kira-kira begitulah nasib perempuan. Ia dilahirkan bebas, namun dimana-mana, ia dipenjara. Di penjara oleh apa? dipenjara oleh sistem kolot yg ingin mendominasi. Jadi musuh utama perempuan adalah mental patriarki. Apa itu mental patriarki? mental patriarki adalah mental yang menindas perempuan dengan menggunakan ajaran-ajaran tradisional yang ditafsirkan secara bodoh dan serampangan. Mental ini seringkali dibiarkan dan akhirnya semacam menjadi sistem sosial yang di legalkan. Dalam kebudayaan kita, sistem ini begitu halus sehingga sebagian perempuan pun tidak merasakannnya. Jadi untuk menjelaskan hal ini, saya punya satu contoh cerita dalam keluarga saya. Ceritanya begini: Saya punya seorang sepupu (laki-laki) yang seusai tamat SMA, ia kembali ke kampung. Disana ia menikah dengan seorang perempuan yg ia kenal saat berkunjung ke sebuah kecamatan. Keluarga akhirnya berkumpul untuk melangsungkan acara adat (Masok minta). Setelah itu mereka akhirnya dikarunia 3 orang anak. Dalam beberapa tahun, keluarga kecil mereka baik-baik saja. Hanya saja, semua berubah saat sepupu saya mulai bekerja di kantor koperasi. Ia sering kali keluar ke beberapa kecamatan untuk menagih utang. Karna pekerjaan inilah, saudara saya akhirnya bertemu dan berkenalan dengan perempuan lain. Setelah berkenalan, kehidupan keluarga mereka berubah. Sepupu saya sering marah-marah dan memukul istrinya. Ia pun menyuruh istrinya untuk meninggalkan rumah mereka. Beberapa bulan kemudian, sepupu saya mulai membawa perempuan yang ia kenal ke rumah mereka. Ia kenalkan perempuan baru ini kepada ayah dan ibunya. Istri sah-nya yang memiliki 3 orang anak ini hanya bisa menangis. ia tidak tau harus mengadu kemana. Ia pun malu dan bingung karna sudah diusir oleh suaminya. Jika ia memilih untuk tetap bertahan, ia sudah tidak dianggap lagi. Sedangkan kalau dia memilih untuk meninggalkan suaminya, bagaimana dengan tiga orang buah hatinya. Oh iya, dalam bahasa daerah kita (bahasa dawan) , diceraikan biasa disebut dengan mpoli. Mpoli artinya diceraikan/dibuang/ditinggalkan. Sungguh, ini adalah sebuah kata yang justru semakin mendiskrimanasi seorang perempuan. Lanjut soal cerita diatas. Singkat cerita, istri sah dari sepupu saya ini akhirnya memilih meninggalkan suaminya. Ia membawa tiga orang anaknya kembali ke orang tuanya. Sesampainya dikeluarganya, 3 orang anaknya ia titipkan kepada kedua orang tuanya, lalu beberapa bulan kemudian ia memilih menjadi TKW di Malaysia. Cerita ini adalah kisah nyata yang terjadi sekitar 5 tahun lalu. Dalm tulisan ini, saya hanya mau mengajak kita untuk coba memikirkan masalah-masalah seperti ini dari sudut pandang perempuan. Coba bayangkan, sudah punya 3 orang anak lalu suaminya memilih bersama perempuan lain. Pertanyaan yang muncul setelah ini adalah bagaimana nasip 3 orang anak tersebut yg akan tumbuh dan besar tanpa kasih sayang orang tua? lalu coba kita pikirkan perasaan seorang perempuan yang diceraikan dan diperlakukan seolah tidak berharga. Bayangkan, laki-laki yang adalah sepupu saya, membawa perempuan lain ke rumah mereka. Kebetulan selama ini mereka tinggal dirumah tua atau tinggal bersama orang tua laki-laki. Salah satu hal yang membuat saya tidak bisa bayangkan adalah saat diceraikan, diusir dari rumah, bagaimana perasaan perempuan tersebut? Ia harus malu pada keluarga laki-laki, juga malu pada orang kampung yang sudah mengnggap rendah perempuan yang telah di ceraikan. Dalam kondisi seperti itu, tentunya perempuan akan depresi, dan sangat rentan pada banyak masalah-masalah sosial lainnya. Cerita seperti yang terjadi diatas sangatlah banyak dalam kehidupan kita. Sayangnya, dalam masalah-masalah seperti itu sudah dianggap biasa dalam kebudayaan kita. Dalam banyak kasus, laki-laki bahkan tidak pernah disalahkan. Yang sering terjadi adalah perempuan yang dianggap tidak mampu memuaskan suami, tidak becus urus keluarga dan lain-lain. Cerita diatas hanya salah satu contoh saja bahwa dalam kebudayaan kita, masih tersembunyi sistem patriarki yang membuat posisi perempuan selalu berada dibawah. Untuk itu, kita perlu dengan jeli untuk mendeteksi hal-hal dalam kebudayaan kita, agar hal-hal seperti diatas bisa kita tolak dan kalau bisa kita hilangkan sistem patriarki ini. Untuk melawan hal itu, perempuanlah yang harus berani untuk bersuara dan melawan. Perempuan harus betul-betul mampu melihat setiap masalah yang terjadi dgn jernih. Ini penting agar tidak malah menyalahkan perempuan dengan cepat-cepat mendukung posisi laki-laki. Banyak berita yang kalau kita baca di berbagai media. Perempuan hanya disuruh mengurus anak dan masalah-masalah rumah tangga lainnya, sedangkan laki-laki bebas bepergian kemana pun. Saat anak kekurangan susu, laki-laki masih terus santai dengan menarik rokok tanpa henti. Jika ada masalah dalam rumah tangga, perempuanlah yang akhirnya dikorbankan. Kalau perempuan dikorbankan, makan anak juga ikut dikorbankan. Selanjutnya, kita perlu menghilangkan sistem patriarki ini dengan mendidik anak laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan. Jangan menanam sistem patriarki pada anak laki-laki dengan membiarlan memukul saudara perempuannya, karna kalau tidak, ini akan terus terbawa sampai kelak ia berumah tangga. Kita semua memasuki gerbang kehidupan melalui perempuan. Sebagian besar manusia menjadi penghuni rahim perempuan selama sembilan bulan. Disanalah kehidupan tercipta. Ketika pertama kali menginjak dunia, kita juga dibimbing oleh perempuan. Cara-cara hidup dunia juga pertama kali diajarkan oleh perempuan. Perempuanlah yang sesungguhnya menjadi tulang punggung keluarga. Tanpa kasih sayang perempuan, keluarga akan tersesat di jalan. Sayangnya, hampir di seluruh penjuru dunia, perempuan dipenjara. Budayalah yang memenjarakannya. Masyarakat menjajahnya. Perempuan memberi, namun ia tak pernah sungguh dihargai. Dia tak boleh belajar. Kecerdasan dianggap sebagai sumber pemberontakan yang menganggu harmoni masyarakat. Dia bahkan tak boleh bekerja. Seumur hidupnya, semua keputusannya didikte oleh lingkungan sosialnya, terutama para laki-laki. Sebagai ibu dari kehidupan, perempuan harus keluar dari penindasan ini. Ia mesti sadar, bahwa peran sosial yang ia jalani bukanlah sebuah kemutlakan. Berbagai pilihan ada di tangannya. Kaum perempuan perlu sadar bahwa kehidupan bertopang di bahu mereka. Mereka mesti bangkit dari perasaan tak berdaya yang ditimpakan oleh masyarakat. Namun, ini semua tergantung dari perempuan itu sendiri. Bisa dibilang, kunci perubahan sosial ada di dalam cara perempuan memandang dunianya. Menjadi perempuan berarti menjadi perawat kehidupan. Menjadi perempuan juga berarti hidup dalam dilema. Ia dipuja dan dibutuhkan, namun dijajah sepanjang jalan kenangan. Sudah waktunya, dilema ini diakhiri. Kita perlu mendorong pembebasan kaum perempuan. Sekarang.

img-content0

Perbedaan Identitas kok Jadi masalah?

Selasa, 7 April 2020 07:27 WIB

Terlalu banyak konflik di Indonesia terjadi karena perbedaan identitas. Perbedaan ras, suku, agama, sampai dengan pemikiran hampir setiap hari kita saksikan di berbagai media. Perbedaan ini seringkali dijadikan sebagai pembenaran untuk memupuk dendam, saling hujat, hingga saling menaklukan. Lingkaran kebencian dan dendam pun seakan berputar pada masalah identitas semacam ini. Sayangnya, kita tak pernah belajar dari berbagai konflik yang diakibatkan dari kesalahpahaman kita akan identitas ini. Kita punya setumpuk pengalaman akibat perbedaan identitas, mulai dari deskriminasi mayoritas terhadap minoritas, perpisahan sepasang kekasih akibat berbeda suku, hingga tawuran antar pelajar yang adalah contoh kongkrit dari kesalahpahaman kita akan identitas. Lantas apa itu identitas? dan kenapa perbedaan identitas selalu menjadi masalah? Identitas itu adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita. Label itu ditempelkan kepada kita, karena kita menjadi bagian dari suatu kelompok atau komunitas tertentu. Nah, didunia ini ada beragam bentuk identitas atau label yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari organisasi, ras, agama, suku, negara, hingga gender. Lalu dari mana kita menerima label-label itu? Kita menerima label atau identitas itu dari tempat, keluarga atau komunitas dimana kita dilahirkan. Kita menerima label atau identitas ini sejak lahir tanpa diberi pilihan. Identitas itu pun bisa berubah kapan saja, jika diinginkan. Bahkan identitas diri sendiri seperti nama pun bisa kita ubah kapan saja. Bisa kita buatkan julukan, samaran dan sebagainya. Sekali lagi, semua itu dimungkinkan, jika kita mau. Hal itu sama dengan berbagai identitas lainnya, salah sagunya adalah agama. Siapapun bisa masuk ke agama tertentu, dan juga bisa keluar atau berpindah ke agama yang lain, jika diinginkan. Perubahan keyakinan atau agama itu sejatinya adalah suatu hal yang lumbrah dalam proses kehidupan ini. Bukankah kita semua sepakat bahwa dalam hidup ini semuanya berubah? bahkan kata orang, yang tak berubah hanyalah perubahan itu sendiri. Masalahnya adalah, kita sering menyamakan dan melekatkan diri kita pada identitas sosial yang kita punya. Akhirnya banyak konflik terjadi akibat dari orang menyamakan dirinya dengan identitasnya. Kemelekatan akan identitas atau label ini menjangkit banyak kalangan tanpa kenal usia dan jabatan. Contoh dari kemelekatan seperti ini bisa kita temukan dimana saja. Banyak pembela agama yang berlagak melebihi Tuhan adalah hasil dari kesalahan mereka dalam memahami identitas. Mereka akhirnya begitu cepat tersinggung hanya karna menganggap agama sebagai diri mereka sendiri. Bahkan tak sesekali menafsirkan dan bertindak melebihi Tuhan itu sendiri. Para plitisi bermental feodal yang suka membangun politik dinasti adalah contoh lain dari kesalahan memahami identitas. Mereka menyamakan jabatan dengan dirinya, atau keluarganya sendiri. Akibatnya, saat kita mengkritisi posisinya sebagai kepala daerah, ia sangat mudah tersinggung karena merasa kita sedang menghina dirinya. Contoh lain dari kemelekatan seperti ini juga bisa kita temukan dalam hubungan (pacaran) kawan-kawan muda. Banyak yang saat masih berpacaran, sudah cepat-cepat menyamakan dan menganggap bahwa kekasihnya adalah miliknya. Padahal dalam hubungan berpacaran, semua bisa berubah kapan saja. Akhirnya, saat kekasihnya memutuskan hubungan atau berselingkuh, ia mengalami depresi yang sangat berat hingga bunuh diri hanya akibat dari kemelekatan semacam ini. Kemelekatan pada identitas atau label ini juga seringkali membuat kita sangat sensitif. Ketika salah satu label yang kita pegang itu dikritik, kita pun merasa terhina. Saat ada salah satu anggota dari komunitas (agama) kita berpindah keyakinan, kita pun menghujat karena merasa identitas kita tak dijaga atau tak diistimewakan. Tapi pada saat anggota dari komunitas yang lain masuk ke komunitas kita, kita justru merasa bangga. Tahun lalu, dalam sebuah seminar disalah satu kampus swasta di Surabaya. Salah seorang Dosen filsafat asal Surabaya, Rizal A Watimena, pernah berkata bahwa identitas itu punya dua karakter dasar, yakni kesementaraan dan kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya, sama dengan ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh. Saya sepakat dengan beliau, identitas itu sementara dan rapuh, karena ia bisa berubah kapan saja. Konsep-konsep identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, adalah ciptaan dari pikiran manusia. Karena ia adalah hasil ciptaan dari pikiran manusia, maka ia pun bisa kita ubah kapan saja, jika diinginkan. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, suku atau agama tertentu, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua label atau identitas tersebut, kalau ia mau. Semua ini penting untuk dipahami. Ini bukan berarti kita tidak membutuhkan label atau identitas dalam hidup. Tapi kita menjaga jarak dari identitas itu sendiri agar kita tidak terjebak dalam lingkaran kebencian, saling hujat, memuja fanatisme buta, atau jatuh pada diskriminasi yang justru kita langgengkan sendiri. Sudah saatnya kita sadar dan belajar bahwa banyak konflik di Indonesia ini terjadi bukan karna perbedaan identitas, tapi karna banyak orang salah memahami perbedaan identitas. Hanya dengan menyadari hal ini, kita bisa dan mampu melihat setiap perbedaan dan pilihan identitas setiap orang bukan sebagai neraka, tapi sebagai kekayaan yang lahir warna-warni surga kehidupan itu sendiri. Salam

img-content0

Matematika Lokal ala Suku Atoin Meto di NTT

Selasa, 31 Maret 2020 10:48 WIB

Penulis: Honing Alvianto Bana Mari menuju selatan nusantara sejenak dan singgah di salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur. Pulau yang terdiri dari dua negara, yaitu negara merdeka Timor Leste dan kawasan Timor Barat, yang merupakan bagian dari Indonesia. Timor Barat adalah wilayah yang mencakup bagian barat Pulau Timor. Secara administratif, Timor Barat merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Salah satu suku yang berdiam di wilayah Timor Barat adalah suku Atoni Meto. Suku ini tersebar hampir di seluruh daratan Pulau Timor yang terletak di bagian selatan provinsi NTT. Atoni Meto terdiri dari dua kata yakni Atoni berarti orang atau manusia, dan Meto yang secara harafiah berarti tanah kering. Pada umumnya orang biasa menyebutkan Atoni Pah Meto yang berarti “orang-orang dari tanah kering” (H.G Schurtle Nordolt,1966, hal.18). Sebetulnya, suku bangsa dan kelompok etnis yang mendiami Timor Barat ini sampai dengan sekarang masih terdapat interpretasi yang berbeda-beda. Orang Belu, menyebutnya dengan orang Dawan. Sementara para pedagang asing dari luar Timor menyebutnya Atoni. Ormeling mempergunakan sebutan The Timorese Proper (orang-orang Timor khusus). Sementara Middelkoop mempergunakan ungkapan: people of the Dry Land (Atoni Pah Meto) yang artinya: penduduk, manusia atau orang dari tanah kering.(Ormeling, 1967). Pada prinsipnya ungkapan yang dipergunakan Middelkoop lebih tepat, aktual dan relevan. Atoni Pah Meto (People of the Dry Land) artinya: penduduk, manusia, atau orang dari tanah kering (Peter Middelkoop,1982,hal.143). Matematika Matematika adalah gerbang ilmu pengetahuan. Mengabaikan matematika akan melukai semua pengetahuan. Seperti itulah kata Roger Bacon, filsuf asal ingris yang lahir pada 1214. Matematika adalah cara berpikir mahluk hidup sejak mula. Seekor ayam akan tahu jumlah telur yang ia tetaskan. Manusia memakai konsep “sedikit” dan “banyak” dalam berebut sumber daya alam untuk memenuhi nafsu atau sekadar bertahan hidup. Matematika adalah dasar pikir mahluk hidup yang memiliki otak. Matematika juga adalah tanda kehidupan sosial. Semakin kompleks konsep matematika, kian kompleks pula hidup kita. Ketika orang Babilonia belum memikirkan dan menemukan angka 0, pikiran manusia hanya soal bertahan hidup. Ketika angka 0 ditemukan di India, arsitektur berkembang sangat pesat. Kini kita mengenal komputer yang super-canggih berkat algoritma. Dalam sebuah buku berjudul A Brief History of Mathematical Thought , Luke Heaton—matematikawan dari Universitas Oxford, Inggris—melacak konsep matematika ke zaman purba, ke sejarah Yunani, Mesir Kuno, hingga Mesopotamia. Dari Heaton kita tahu bahwa konsep bilangan jauh lebih tua ketimbang konsep percakapan. Matematika sama tuanya dengan bahasa manusia. Orang zaman dulu merumuskan konsep perhitungan, jumlah, jarak, atau ukuran ke dalam lambang-lambang. Kita mengenalnya kini sebagai angka. Tapi matematika bukan semata bilangan. Matematika adalah bahasa. Karena itu bukan angka dan hasil yang paling penting. Seperti bahasa, dalam rumus dan konsep matematika yang paling penting adalah argumen. Juga seperti bahasa, matematika adalah pola yang disusun dan ditemukan lalu dikonsepsikan menjadi rumus, menjadi torema. Orang Mesopotamia sudah memakai perhitungan Phitagoras dalam menghitung bidang persegi, ratusan tahun sebelum Phitagoras lahir. Mereka bahkan sudah merumuskan konsep dasar perhitungan sudut dan lingkaran yang kini kita kenal sebagai ilmu trigonometri. Etnomatematika Tiap-tiap kebudayaan punya konsep matematikanya sendiri. Orang Sumeria kuno, misalnya, tak memakai bilangan persepuluh dalam konsep perhitungan, tapi kelipatan 60. Karena itulah kita mengenal sudut 3600 atau satu jam sama dengan 60 menit, dan satu menit adalah 60 detik. Penggunaaan nilai-nilai matematika dalam suatu kebudayaan atau adat istiadat yang ada pada suatu komunitas masyarakat disebut etno-matematika. Istilah 'Ethnomathematics' yang selanjutnya dikenal dengan Etnomatematika adalah “The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the socialcultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior, myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to mean to explain, to know, to understand, and to do activities such as ciphering. Measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived from techné, and has the same root as technique.(D'Ambrosio : 2006) Mengacu pada konteks sosial budaya, etnomatematika termasuk bahasa, jargon, kode perilaku,mitos, dan symbol. Sederhananya, ethnomathematika merupakan bidang penyelidikan yang mempelajari ide-ide matematika dalam konteks kebudayaan-sejarah. Etnomatematika sudah digunakan oleh suku Atoin Meto dalam menjalani kehidupan bermasyarakat sejak zaman dahulu. Hal itu bisa kita telusuri dari para peniliti tentang Timor sejak awal abad ke-15. Misalnya, tulisan Fei Hsin(1436) dan Wang Ch’i-tsung (1618) yang memuat gambaran mengenai ciri khas fisik dan pola kehidupan masyarakat Pulau Timor. Dalam tulisan tersebut digambarkan bahwa mereka (Atoni Pah Meto) menghitung dengan mempergunakan batu-batu ceper dan simpul tali. Informasi seperti ini seharusnya diteliti untuk mendalami alasan-alasan paling fundamental mengapa masyarakat Atoim Meto menggunakan sistem dan cara hitung seperti itu. Selain itu, sangat penting dilakukan catatan lepas untuk mengkaji tradisi-tradisi lisan orang Timor yang masih tercecer di mana-mana. Matematika Atoin Meto Orang zaman dulu merumuskan konsep perhitungan, jumlah, jarak, atau ukuran ke dalam lambang-lambang. Kita mengenalnya kini sebagai angka. Masyarakat Atoin meto pun demikian. Masyarakat Atoin Meto memiliki cara tersendiri untuk menghitung hasil panen, mengukur luas lahan, jumlah orang dan lain-lain. Untuk keperluan itu, akan saya jelaskan satu-persatu. *Menghitung hasil panen Sebagian besar Atoin Meto hidup dari hasil bertani dan berladang. Mereka menanam jagung dari awal bulan november dan memanennya pada sekitar bulan maret dan april. Ketika musim panen tiba, Atoin Meto akan mengumpulkannya hasil panen tersebut disuatu ruangan tersendiri. Setelah itu, jagung dibersihkan, dipilih dan pilah untuk disimpan ditempat tersendiri atau disiapkan sebagai bibit. Sebelum jagung disimpan di ume kbubu (rumah tradisional orang Timor). Masyarakat Atoin Meto terlebih dahulu akan menghitung hasil panen agar kemudian bisa dibandingkan dengan hasil panen pada tahun-tahun sebelumnya. Nah, untuk kebutuhan itu saya perlu kembali ke dasar-dasar pemahaman matematika untuk memudahkan dalam memahami cara Atoin Meto berhitung. Sampai saat ini, saya meyakini bahwa matematika adalah sebuah upaya mengabstraksi kenyataan. Maksud saya begini, jika 1 + 1 = 2, maka itu sebenarnya hanyalah sebuah abstraksi dari, misal, "satu Sapi ditambah dengan satu Sapi" dan "hasilnya adalah dua Sapi". Bilangan 1 adalah abstraksi dari 'satu Sapi' dan bilangan 2 adalah abstraksi dari 'dua Sapi'. Atau, misal yang lain, adalah abstraksi dari "satu ayam ditambah satu ayam" adalah "dua ayam". Dalam cara berhitungnya orang Atoin Meto, mereka menghitungnya dengan membuat pengelompokan yang diberi nama tersendiri. Nama (lambang) tersebut menggambarkan jumlah (biasanya jagung) yang sudah mereka sepakati. Masyarakat Atoin Meto menggunakan nama: satu ikat, satu tali, satu suku, satu liar, dan satu kuda untuk menggambarkan jumlah hasil panen. Penjelasannya, sebagai berikut: *Satu ikat= 8 buler jagung. *Satu tali= 2 Ikat. *Satu suku= 12 tali. *Satu liar= 4 Suku *Satu kuda= 20 ikat atau 10 tali. Pertama, 1 ikat = 8 buler jagung. Artinya, dalam satu ikat terdiri dari delapan buler jagung Kedua, 1 tali = 2 ikat. Artinya, dalam satu tali terdapat dua ikat. Dalam 2 ikat jagung terdapat 16 buler jagung, atau satu ikat (8) + satu ikat (8)= 16 buler jagung. Ketiga, 1 suku = 12 tali. Artinya, dalam satu suku terdapat 12 tali. Dalam 1 suku terdapat 192 buler jagung, atau 16×12= 192. Keempat, 1 liar = 4 suku. Artinya, dalam satu liar terdapat 4 suku. Dalam 1 liar terdapat 768 buler jagung, atau 192×4= 768. Kelima, 1 kuda = 20 ikat atau 10 tali. Dalam 1 kuda terdapat 160 buler jagung. Atau 10×16, atau bisa juga 20×8 =160. * Mengukur jarak dan jumlah jiwa Mengukur umumnya berkaitan dengan pertanyaan "berapa (panjang, lebar, tinggi, lama, dan banyak)". Pada masyarakat Atoin Meto, alat ukur yang digunakan sangat bervariasi baik jenis maupun penggunaannya. Misalnya, untuk mengukur panjang dan lebar suatu lahan, masyaratkat Atoin Meto pada zaman dahulu sering menggunakan 5 jingkal (dari ujung ibu jari sampai ke ujung jari telunjuk) orang dewasa untuk ukuran 1 meter. Awalnya, mereka mengukurnya pada sebatang kayu atau seutas tali. Kemudian, barulah sebatang kayu atau seutas tali itu mereka gunakan untuk mengukur panjang dan lebar sebuah lahan. Berbeda lagi, jika ingin menghitung jumlah orang. Untuk menghitung jumlah orang, mereka menghitung dengan menggunakan batu kerikil atau setumpuk biji jagung. Setiap jiwa (orang) dihitung mewakili satu jiwa. Hal ini masih bisa kita temui pada saat pemilihan kepala desa, maupun saat mengikuti kebaktian (ibadah mingguan) pada beberapa desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Matematika dan bahasa lokal Menggali kembali matematika lokal perlu untuk terus digalakan. Ini penting karna matematika bukan semata bilangan. Ia adalah bahasa. Karena itu bukan angka dan hasil yang paling penting, tapi argumen. Kebudayaan yang berisi nilai-nilai dan pengetahuan lokal dicipta dan dikostruksi dengan perantara seperangkat bahasa. Dengan demikian, bahasa lokal Atoin Meto dan matematika lokal beserta pengetahuan-pengetahuan lokal lainnya haruslah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Terakhir, catatan ini merupakan sebagian kecil "rekaman" tentang cara masyarakat Atoin Meto dalam berhitung. Tentu, masih terlalu jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, diharapkan usaha dari generasi muda Atoin Meto dalam mengumpulkan kisah,cerita-cerita, dan berbagai gambaran mengenai kehidupan Masyarakat Atoin Meto pada masa silam. Sumber * Damasius sasi. Perubahan Budaya Kerja Pertanian Lahan Kering Atoni Pah Meto Di Kabupaten Timor Tengah Utara. Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Pascasarjana UNDANA, Vol. 6 No. 2 (2016). * Ikhwanudin. Pembelajaran Matematika Berbasis Kearifan Lokal Untuk Membangun Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan Matematika Vol 6 No 1, Maret .2018. * Agusthanto A. Makna Dan Simbol Dalam Kebudayaan. Fakultas Ilmu Dan Budaya ULK, Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 8. 1. (2011) * Silab, Konahebi, Bessie. Rumah Tradisional Suku Bangsa Atoni. Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1996/1997. * Gregor Neonbasu. Kebudayaan Sebuah Agenda (Dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya). Gramedia Pusustaka Utama. 2012.

img-content0

Masyarakat "Pemerkosa"

Jumat, 20 Maret 2020 16:34 WIB

Persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah persoalan mendesak yang menuntut jalan keluar yang tepat. Sayangnya, dibanyak daerah, persoalan seperti ini dianggap bukan persoalan serius. Kekerasan terhadap perempuan menjadi unik, karena seringkali melibatkan pemerkosaan. Tubuh perempuan dilecehkan sebagai tanda penguasaan dan penghinaan dari pelaku pemerkosa. Setelah terpuaskan, si pelaku pemerkosa seakan merasa tak berdosa. Dalam banyak kasus, diketahui para pemerkosa seringkali adalah orang-orang terdekat. Kita tentu geram serta merasa ngeri ketika membaca berita-berita pemerkosaan. Misalnya, pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan yang masih dibawah umur di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bunga (bukan nama sebenarnya) diperkosa oleh kakeknya sendiri, saat rumah dalam keadaan kosong. (Suara.id 19/11/2019) Pada bulan yang sama, seorang gadis berumur 17 tahun juga diperkosa oleh seorang sopir angkot sesudah mabuk karna dipaksa mengkomsumsi minuman keras. (Lintas ntt, 19/11/2019) Sebulan sebelumnya, seorang siswi kelas X di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan Negeri dikabupaten Timor Tengah Selatan juga diperkosa di atas mobil Izusu berwarna biru. (Realitarakyat.com 13 oktober/2019) Tiga kejadian itu hanyalah contoh saja. Sesungguhnya, kejadian serupa sangatlah banyak dalam masyarakat kita. Dengan membaca sejumlah berita tentang kasus pemerkosaan, kita seringkali marah, dan menuntut keadilan bagi semua pihak. Namun, persoalan ini tetap saja muncul, bahkan dengan tingkat brutalitas yang semakin mengerikan. Kita lantas bertanya-tanya, apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan hal ini? Pendekatan legalistik Pendekatan legalistik adalah pendekatan kuno yang sering kita gunakan saat mendekati permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan. Pendekatan kuno yang saya maksud adalah pendekatan dengan memberikan ancaman hukuman yang berat bagi pelaku. Meski begitu, pendekatan ini tidaklah mencukupi. Permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosa seakan tak pernah berhenti. Hal ini karena pendekatan hukum selalu bersifat setelah kejadian, sehingga korban sudah menderita, baru pelaku bisa dihukum. Pendekatan ini jelas sudah terlambat. Pendekatan legalistik semacam ini juga cenderung memaksa. Sedangkan, pada dasarnya, pemaksaan selalu mengundang pemberontakan. Semakin besar pemaksaan, semakin besar pula pemberontakan yang akan terjadi. Pendekatan legalistik, walaupun diperlukan, jelaslah tidak mencukupi. Pendekatan Moralistik Di sisi yang lain, kita juga cenderung mendekati permasalahan pemerkosaan dengan pendekatan moralistik. Artinya, kita memaksa perempuan untuk menutupi tubuhnya dengan alasan-alasan moral. Juga dengan berpijak pada moral, kita menghambat gerak perempuan, sehingga mereka, misalnya, tidak boleh pulang malam, atau berjalan kaki di daerah-daerah tertentu. Pada saat yang sama, kita tidak mendidik para pelaku, yang biasanya adalah pria, untuk mengenali dan mengelola dorongan-dorongan hasrat mereka. Kita hanya sibuk dengan memberi himbauan-himbauan dan larangan-larangan moral yang biasanya bersifat agamis kepada mereka. Tema seksualitas dan hasrat kenikmatan dijadikan tema tabu yang tak pernah dibahas. Ini jelas sebuah kesalahan besar. Cara berpikir pemerkosa Saat kita diperhadapkan dengan berbagai berita pemerkosaan. Ada satu pertanyaan yang sering kita ajukan. Pertanyaannya adalah apa yang ada di pikiran para pemerkosa itu? Jika kita tenang, dan diam sejenak untuk merenungi cara berpikir pemerkosa, kita tentu bisa menemukan jawabannya. Kesalahan mereka tentu ada pada kesalahan berpikir. Mereka (pemerkosa) melihat perempuan sebagai benda yang bisa digunakan untuk kepuasan mereka. Perempuan dilihat bukan sebagai manusia, tetapi hanya sebagai obyek yang tak punya arti, kecuali arti pemberian kepuasan sesaat. Cara berpikir ini semakin diperkuat oleh kecenderungan berpikir orang jaman sekarang, yakni menyayangi barang, dan menggunakan manusia, dalam hal ini perempuan. Seorang filsuf asal Jerman, Immanuel Kant, dalam sebuah bukunya, ia pernah merumuskan imperatif kategoris sebagai panduan rasional untuk kehidupan moral manusia. Butir kedua imperatif kategoris adalah melihat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri,dan bukan semata sebagai alat untuk tujuan-tujuan lainnya. Para pemerkosa jelas tidak mengenal ajaran tersebut. Mereka tidak pernah melihat manusia lain sebagai tujuan pada dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai alat untuk pemuas hasrat gelap mereka. Para pelaku ini tidak hidup dengan bimbingan akal sehat, melainkan dengan dorongan hasrat yang tidak pernah dikenali dan dikelola. Akhirnya, banyak orang tak bersalah menjadi korban dari kesalahan cara berpikir ini. Di dalam teori Marxis, pola pikir ini biasa disebut juga sebagai reifikasi. Reifikasi artinya adalah pembendaan. Kita melihat dan memperlakukan manusia lain hanya sebagai bagian dari alat-alat produksi untuk peraihan keuntungan ekonomis. Logika pelacuran dan pemerkosaan tentu tidak lepas dari pola pikir reifikasi semacam ini. Sesungguhnya, semua itu bukanlah sesuatu yang alami. Manusia tidak pernah terlahir sebagai pemerkosa, pelacur, pencuri, pembunuh dan lain-lain. Ini semua dibentuk dari budaya yang akhirnya berbuah menjadi kebiasaan. Pertanyaan selanjutnya, masyarakat macam apa yang menghasilkan manusia-manusia pemerkosa semacam itu? Masyarakat pemerkosa adalah masyarakat yang mengedepankan pendidikan hafalan dan kepatuhan buta, daripada pengertian dan berpikir kritis. Masyarakat yang suka memaksa orang berperilaku tertentu atas dasar moralitas tradisional agamis, tanpa ruang untuk berpikir dengan akal sehat. Masyarakat yang lebih mementingkan hasil dan nilai, tanpa mau peduli pada proses. Masyarakat yang melihat perempuan sebagai makhluk kelas dua yang mesti di penjara, supaya tidak mengundang nafsu laki-laki. Masyarakat seperti ini, biasa kita kenal dengan masyarakat patriarki. Itulah masyarakat pemerkosa yang saya maksudkan. Tak heran, di dalam masyarakat semacam ini, pemerkosaan terus berulang. Semua ini dibarengi dengan semakin maraknya himbauan-himbauan moral agamis di berbagai mimbar dan media. Ini jelas sebuah kemunafikan yang menjadi akar dari beragam masalah. Perubahan cara berpikir Perubahan cara berpikir di dalam pendidikan jelas amat diperlukan di sini. Perubahan cara berpikir di dalam hidup bersama juga mutlak diperlukan, misalnya di dalam penguatan sistem hukum dan perubahan paradigma di dalam hidup beragama. Hasrat dan seksualitas bukanlah tema tabu yang semata harus dilarang, melainkan harus disadari, dikenali dan kemudian dikelola. Hanya dengan begitu, pemerkosaan bisa sungguh menjadi bagian sejarah masa lalu di dalam masyarakat kita. Sejarah yang panjang dan kelam, namun mengandung pelajaran berharga.

img-content0

Tentang Penulis

Bergabung sejak:


Kontak Penulis


Bagikan Profil Ini