x

Iklan

honing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Maret 2020

Rabu, 25 Maret 2020 06:31 WIB

Membongkar Cara Berpikir Koruptor dari Rumah Biru Surabaya

Kesadaran akan cara berpikir koruptor beserta dengan budaya bergerombol yang menyebarkannya perlu untuk terus dikembangkan. Sebab segala produk hukum dalam bentuk undang-undang canggih untuk melawan korupsi akan sia-sia, jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang tepat tentang cara berpikir koruptor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Penulis: Honing Alvianto Bana

Setiap cabang organisasi mahasiswa ekstra selalu memiliki sekretariat. Seperti sekretariat pada umumnya, ia selalu memiliki banyak fungsi. Selain sebagai tempat untuk mengadakan rapat dan berbagai kegiatan lainnya, sekretariat juga berfungsi sebagai tempat melepas lelah dan candaan.

"Rumah biru" adalah julukan bagi sekretariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Julukan ini bukan tanpa sebab. Warna Biru adalah warna yang mendominasi hampir sebagian besar simbol-simbol GMKI. Tak heran, sekretariat GMKI cabang Surabaya pun didominasi dengan warna biru.

"Rumah biru" Surabaya, seakan menjadi tempat tinggal kedua bagi sebagain mahasiswa kristen di Surabaya. Selain memiliki beberapa kamar untuk tidur, terdapat beberapa ruangan sebagai tempat untuk berdiskusi dan membaca. Tak heran, disalah satu ruangannya terdapat sebuah lemari penuh buku.

Dalam beberapa hari ini, saya bersama beberapa teman sering berdiskusi tentang issue yang lagi hangat, yaitu penyebaran virus corona. Disamping itu, kami juga berdiskusi tentang korupsi yang mengakar di Indonesia.

Sebagai mana kita ketahui bersama, korupsi adalah tema yang tak pernah habis untuk dibahas. Dalam setiap pembicaraan tentang kasus korupsi, kita selalu diperhadapkan pada pertanyaan paling mendasar, yaitu kenapa orang melakukan korupsi?

Pertanyaan itu, seringkali menarik perhatian banyak kalangan untuk dibahas. Hal itu karna permasalahan korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lainnya. Masalahnya bukan adanya korupsi, tetapi tingkat korupsi yang mengkhawatirkan, sehingga menghambat seluruh proses pembangunan lainnya. Proses perluasan pendidikan, fasilitas kesehatan dan pengentasan kemiskinan menjadi terhambat, akibat tingkat korupsi yang amat besar.

Cara berpikir koruptor

Sebagai pejabat publik, peluang korupsi amatlah besar. Mereka bisa menggunakan posisinya untuk memperkaya diri, keluarga ataupun kerabatnya dengan menggunakan uang rakyat. Pendek kata, mereka meraup keuntungan di atas penderitaan orang lain.

Walaupun mereka tahu akan hal ini, mereka tetap melakukan tindak korupsi. Pertanyaan kecil yang menggantung, mengapa?

Diperlukan sebuah kajian tentang cara berpikir pelaku korupsi. Pertanyaan awalnya kiranya berbunyi begini, apa yang bercokol di pikiran orang pada detik, ketika ia melakukan tindak korupsi?

Menurut saya, ada tiga hal yang kiranya muncul, yakni kelekatan, penolakan dan kesalahpahaman. Ketiga hal ini langsung terkait dengan mentalitas bergerombol yang begitu akut menjangkiti masyarakat kita.

Kelekatan

Pelaku korupsi berpikir, bahwa kekayaan material adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup. Mereka melekat pada kekayaan material yang dianggap sebagai salah satu sumber kebahagiaan terbesar.

Kelekatan ini membuahkan pertimbangan yang kabur, yang akhirnya mendorong tindakan yang tidak tepat, yakni yang merugikan orang lain.

Secara padat dapat dijelaskan, bahwa kelekatan selalu merupakan sumber petaka, baik bagi pribadi maupun bagi kehidupan bersama.

Penolakan

Para pelaku korupsi juga hidup dengan penolakan. Yang jelas, mereka menolak untuk hidup sederhana dan bersahaja. Penolakan ini begitu kuat dan kejam, sampai mereka bersedia melakukan hal-hal mengerikan, guna menghindarinya.

Namun, segala bentuk penolakan selalu memperkuat apa yang ditolaknya. Para penolak keras tidak akan pernah bisa lepas dari apa yang ditolaknya. Koruptor tidak akan pernah lepas dari kemiskinan. Ia akan tetap merasa miskin, walaupun sejatinya sudah banyak uang dan harta. Ia akan tetap merasa kurang, bahkan ketika ia sudah memiliki seluruh dunia.

Kesalahpahaman

Para pelaku korupsi juga hidup dalam kesalahpahaman. Mereka mengira, hidup dan segala yang ada di dalamnya itu nyata dan kekal. Padahal, jika dilihat secara seksama, tak ada yang abadi di muka bumi ini. Kekaisaran paling perkasa di sejarah peradaban manusia pun akhirnya runtuh, tinggal cerita.

Pemahaman, bahwa tak ada yang kekal, akan membuat orang lebih bijak di dalam berpikir dan bertindak. Ia tidak akan melekat pada apapun, ataupun menolak apapun. Ia tidak akan pernah menyakiti orang lain, semata demi memuaskan keinginannya.

Bergerombol

Tiga cara berpikir koruptor, yakni kelekatan, penolakan dan kesalahpahaman, kini tidak hanya terjadi pada orang pribadi, tetapi sudah berkembang menjadi budaya. Kita bisa sebut itu sebagai budaya bergerombol.

Korupsi tidak lagi menjadi tindak perorangan, tetapi menjadi budaya kelompok yang dilakukan secara bergerombol. Di dalam budaya semacam ini, sikap kritis yang sehat untuk mempertanyakan keadaan secara rasional dan sistematik mengalami mati suri. Titik kritisnya adalah dengan membangun kesadaran.

Ketika kita menyadari kelekatan,penolakan, kesalahpahaman serta pengaruh budaya bergerombol di dalam diri kita, maka otomatis, kita akan berusaha menguranginya.

Kesadaran akan cara berpikir koruptor beserta dengan budaya bergerombol yang menyebarkannya perlu untuk terus dikembangkan. Sebab segala produk hukum dalam bentuk undang-undang canggih untuk melawan korupsi akan sia-sia, jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang tepat tentang cara berpikir koruptor.

Kalau kata para petani di pedalaman pulau Timor (NTT), ini seperti kita menebas rumput liar, tanpa pernah sungguh mencabur akarnya.

Ikuti tulisan menarik honing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler