x

ilurtrasi sungai oenasi

Iklan

honing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Maret 2020

Jumat, 17 April 2020 07:18 WIB

Kuntilanak dan Mata Air Oenasi (Cerpen)

Meski tak sejernih dan tak sebesar dulunya, sungai itu tak hendak mengutuk siapa pun. Ia membiarkan segala kenangan indah disepanjang  sungai itu muncul dan hilang bersama alirannya yang kian mengecil, entah sampai kapan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Honing Alvianto Bana

Pada suatu sore di tahun 1982, ditemukan sesosok mayat perempuan, tergeletak di sebuah mata air yang mengairi sungai Oenasi.

Perempuan itu adalah Neta, yang sejak pagi tadi mencuci setumpuk pakian disekitar sekitar anak tangga terakhir dekat mata air.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alkisah, beberapa saat setelah kejadian tersebut, warga mulai berkumpul…

“Ini sudah mayat ke 11 yang mati disungai ini.”

“Mengerikan.”

“Bahkan Neta yang tidak tahu apa-apa, yang setiap hari menjual bawang dipasar pun ikut jadi korban!”

Tak seperti penemuan mayat-mayat sebelumnya di mana warga segera mengangkat mayat itu dari sungai, kini mereka hanya berdiri diatas jembatan, sambil melihat kearah mata air dengan raut wajah yang ketakutan.

“Jelas ini bukan kematian biasa.”

“Jadi benar apa yang dikatakan kakek Amle’ut? Neta mati ditangkap kuntilanak disekitar jembatan, sama seperti kematian orang-orang sebelumnya?” Begitulah kabar yang beredar disebuah kampung kecil bernama Oenasi.

Seorang kepala kampung bernama kakek Amle’ut memberi penjelasan perihal kematian misterius yang terjadi selama beberapa hari terakhir.

“Kalau kalian mencuci di sungai ini saat sore hari, kalian memang akan melihat seorang perempuan berambut panjang yang adalah penunggu tempat ini. Ia adalah korban pertama yang mati saat terjatuh dari tangga yang mengarah ke mata air itu. Ia bernama Mery. Perempuan yang mati saat hamil 8 bulan. Ia kemudian berubah wujud menjadi kuntilanak. Sejak saat itu, tempat ini menjadi angker.”

“Kuntilanak itu kini tinggal di pohon besar diujung tangga itu. Ia memang sering turun ke mata air saat sore hari. Dan ketika kalian melihat dia menuruni tangga-tangga itu, kalian akan dibawa ke langit, dan hanya badan saja yang akan kembali ke bumi, sementara jiwa kalian akan menjadi tawanannya. Percayalah dan ikuti nasihat saya.”

Awalnya warga tak begitu percaya dengan ucapan kakek Amle’ut, tapi kematian demi kematian yang berurutan membuat penjelasan kakek amle’ut terdengar masuk akal.

***

Mata air disungai itu berada dibawah jembatan,  ditutupi pepohonan yang rimbun, memang sangat cocok jadi tempat tinggal para setan. Berdasarkan cerita yang dituturkan secara turun-temurun oleh sesepuh kampung disini, nama Oenasi berasal dari kata Oe yang berati air, dan nasi yang berarti hutan.

Menurut cerita, dahulu Oenasi ditemukan oleh seorang perempuan yang sedang mencari kayu bakar di sekitar hutan. Ia  lalu terkejut ketika melihat  seekor ular berkepala manusia yang keluar dari celah-celah batu besar disekitar tebing.

Kata orang, ular itu bisa berbicara. Ia sering bernyanyi menjelang matahari terbenam. Suaranya mirip suara ayam yang sedang berkokok. Tak heran, warga disini menyebutnya ular kokmanu (ular dengan suara menyerupai ayam). Ular tersebutlah yang menunjukan mata air kepada perempuan itu.

Kita tentu tak perlu bertanya apakah benar ular itu berkepala manusia dan lain-lain. Sebab di zaman  ketika dongeng menyerupai kenyataan, banyak binatang berkepala manusia dipercaya begitu saja.

***

Kabar tentang kematian Neta dengan cepat menyebar ke seantero kampung, “Kakek Amle’ut juga bilang, biasanya kuntilanak itu muncul pada sore hari, jadi jangan ada yang berani mencuci di mata air ini saat sore hari. Apalagi menjelang mata hari terbenam. Jadi, jika ada keperluan, lebih baik ditunda dulu sampai esok saja. Sebab bisa jadi kita akan bertemu dengan kuntilanak itu.”

Sejak saat itulah, mata air yang sedianya menghidupi seluruh orang dikampung ini, dengan menyajikan pemandangan indah, barisan pohon mahoni, suara ricik air, dan suara anak-anak kecil bermain seluncuran menggunakan pelepah kelapa, kini berbalik sangat mencekam.

Ketika sore hari, tak terlihat lagi  aktivitas warga. Jembatan di diseberang mata air yang menghubungkan Oenasi dengan kampung tetangga pun menjadi lenggang. Namun mereka tahu bahwa ini tidak menuntaskan seluruh masalah. Seluruh warga Oenasi lalu mengadakan pertemuan di depan sebuah gereja tua untuk mencari  jalan keluar. Polisi, pendeta, camat, dan semua tokoh masyarakat ikut berkumpul. Mereka berunding cukup alot.

“Ini tidak masuk akal, pembunuhan oleh kuntilanak itu jelas sebuah omong kosong. Mana ada perempuan yang sudah meninggal, bisa membunuh manusia? Ini tidak sesuai dengan kepercayaan agama,” kata pak pendeta.

“Apa kau yakin kuntilanak itu pembunuhnya?,” tanya pak camat.

“Kan kakek Amle’ut pernah bilang begitu,” sambung seorang pemuda kampung bernama Noger.

“Kakek Amle’ut hanya bilang orang-orang yang mati itu karena jiwa-nya diangkat kelangit, tapi tidak bisa  memastikan kalau kuntilanak itu yang membantai orang-orang itu,” Seorang Polisi menimpali.

Mendengar kata “dibantai”, beberapa peserta rapat tampak terkejut dan berbisik satu sama lain.

“Jadi, mari kita langsung cari solusi saja. Pokoknya kita tidak bisa diam, kita harus melawan. Masing-masing silakan menawarkan ide.”

Perundingan semakin alot, satu per satu usul bermunculan, ibu-ibu sibuk menyiapkan kopi dan pisang goreng bagi peserta rapat sambil sesekali mendengar.

***

Malam sudah tiba, bintang-bintang adalah lampion waktu, cahaya purnama seperti memercik pada daun-daun pepohonan yang gemetar, seperti seremonial alam yang paling murni dan sabar.

Rapat telah selesai setengah jam lalu, warga sudah bubar dan kembali ke rumah masing-masing, ada yang melanjutkan perbincangan didepan rumah – ada juga yang melanjutkan perbincang dibeberapa gang kecil.

Hasil perundingan itu menghasilkan keputusan yang kelak akan menjadi titik balik sejarah mata air Oenasi.

Warga memutuskan akan menebang beberapa pohon besar diujung tangga itu, setidaknya untuk merusak tempat tinggal kuntilanak penunggu mata air.

“Kita harus menebang pohon-pohon disekitar tangga dan mata air itu,” kata sang pemimpin rapat.

Keputusan yang sebenarnya kontroversial itu langsung dijalankan keesokan harinya. Warga yang awalnya sangat mencintai dan menjaga mata air itu, tiba-tiba berubah menjadi warga paling jahat terhadap alam.

Pohon-pohon ditebang. Bungkusan sabun dibuang begitu saja disekitar mata air. Tak ada lagi rasa cinta terhadap alam.

Waktu demi waktu berlalu, kualitas dan kuantitas air sungai mulai berubah, hijaunya tempat itu perlahan memudar. Dan mereka ternyata berhasil. Ketika pohon-pohon ditebang, dan air sungai semakin surut dan keruh, tak ada lagi kematian disekitar situ.  Menurut kabar beberapa orang, kuntilanak itu kini sudah berpindah ke batu besar di ujung tanjakan .

***

Kakek Amle’ut mengonfirmasi bahwa mata air di Oenasi sudah kembali aman. Hari itu juga menjelang matahari terbenam, warga berkumpul di depan gereja untuk merayakan keberhasilan mengusir kuntilanak. Tak ada lagi rasa takut, anak-anak kecil bergembira, para orang tua  bersyukur.

Namun satu bulan kemudian, masalah lain muncul. Sebuah masalah baru yang memaksa warga kembali melakukan rapat.

“Kuntilanak itu sudah pergi. Jadi, ada yang tahu bagaimana caranya membuat mata air kembali bersih dan tak mengecil seperti itu?” Tanya salah seorang warga.

Mereka saling berbisik, seperti memikirkan sesuatu yang jauh lebih berat dari sebelumnya.

“Sejak bulan lalu kita sudah berhenti menebang pohon dan tidak membuang bekas bungkusan sabun lagi, tapi airnya belum berubah juga. Apakah ini semacam kutukan dari kuntilanak?”

“Sudah, jangan bicara kutukan lagi!” Balas warga lainnya.

“Mana kakek Amle’ut, dalam keadaan begini dia justru tidak muncul!”

“Ayo, siapa yang waktu itu mengusulkan untuk menebang pohon dan membuang bekas bungkusan sabun disungai kita? Sekarang harus bertanggung jawab!”

Suasana rapat berangsur ramai. Bahkan ada beberapa orang yang berdiri dari kursinya. Sebagian orang saling menunjuk. Pemimpin rapat coba melerai mereka.

“Tenang. Tenang. Itu adalah keputusan bersama. Mata air  akan tetap menjadi mata air apapun kondisinya. Sekarang kita hanya perlu merawat pohon-pohon yang masih tersisa, dan membersihkan bungkusan sabun disekitar mata air, itu tanggung jawab kita. Dan satu hal, sebaiknya jangan ceritakan pada keturunan kita, bahwa dulunya mata air dan sungai itu pernah jernih. Setuju?”

Warga berpandangan, tak tahu harus setuju atau tidak. Namun begitulah akhir dari rapat kedua yang tampak tak begitu memuaskan. Orang-orang pulang dengan perasaan beragam. Sementara itu, sungai yang bersumber dari mata air yang kian menyusut itu tetap mengalir. Meski tak sejernih dan tak sebesar dulunya, sungai itu tak hendak mengutuk siapa pun.

Ia membiarkan segala kenangan indah disepanjang  sungai itu muncul dan hilang bersama alirannya yang kian mengecil, entah sampai kapan.

Ikuti tulisan menarik honing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler