x

penulis bersama keponakan

Iklan

honing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Maret 2020

Rabu, 25 Maret 2020 12:11 WIB

Kenapa Orang Berbuat Baik?

Kebaikan adalah harapan universal manusia. Setiap orang, jauh di dalam hatinya, ingin menjadi orang baik. Siapa pun ingin melakukan kebaikan, sedapat mungkin setiap saat dalam hidupnya. Dorongan untuk menjadi selalu berbuat baik sudah selalu tertanam di dalam diri manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengapa orang berbuat baik? Pertanyaan ini sangat menganggu saya dalam beberapa hari ini.  Saya melihat tiga orang mahasiswi Kristen bersedia menceburkan diri mereka di medan pelayanan dalam organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Surabaya. Saya melihat seorang anak muda membantu seorang ibu tua menyebrangi jalan saat sedang ramai. Saya juga melihat sepasang kekasih yang begitu mesra bergandengan tangan, siap untuk saling membahagiakan.

Kebaikan adalah harapan universal manusia. Setiap orang, jauh di dalam hatinya, ingin menjadi orang baik. Siapa pun ingin melakukan kebaikan, sedapat mungkin setiap saat dalam hidupnya. Dorongan untuk menjadi selalu berbuat baik sudah selalu tertanam di dalam diri manusia.

Tradisi, diri dan hati nurani

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejak kecil, kita diajarkan juga untuk berbuat baik. Tentu saja, pemahaman tentang apa yang baik terkait dengan moralitas berbeda-beda. Agama dan budaya memainkan peranan besar dalam hal ini. Namun, ini semua tidak menjawab, mengapa orang menemukan dorongan untuk merbuat baik di dalam hatinya.

Berbagai penelitian ilmiah menunjukkan, bahwa berbuat baik adalah bagian dari proses pelestarian diri manusia. Orang yang baik hati dan tindakannya cenderung lebih sukses dan bahagia dalam hidupnya. Mereka disukai keluarga dan teman-temannya. Ketika krisis melanda, mereka bisa mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak.

Di samping pertimbangan untung rugi seperti itu, ada orang yang berbuat baik, karena dorongan hatinya. Ia merasa, jika berbuat baik, ia mengikuti panggilan hidup terdalamnya. Hati nuraninya memanggilnya untuk terus berbuat baik saat demi saat di dalam hidupnya. Pertimbangannya tidak lagi untung rugi, melainkan dorongan hati nurani sebagai keutamaan.

Immanuel Kant, filsuf Pencerahan asal Jerman, pernah menegaskan, bahwa moralitas, yakni pemahaman tentang baik dan buruk, sudah selalu tertanam di dalam akal budi kita sebagai manusia. Menjadi baik itu rasional, karena sesuai dengan kodrat alamiah akal budi kita. Hukum moral sudah selalu tertanam di dalam sanubari manusia, dan mewujud secara konkret di dalam kewajiban hidup sehari-hari yang dijalankan dengan setia.

Gagal

Lepas dari hal itu, banyak orang tetap tidak mampu mencapai kebaikan, walaupun mereka menginginkannya. Harapan mereka tidak sejalan dengan tindakan nyata mereka. Niat baik tidak dibarengi dengan kerja nyata untuk mencapai kebaikan. Sebaliknya yang terjadi, yakni orang yang dikira baik ternyata menjadi koruptor,atau menjadi pelaku kejahatan biadab lainnya. 

Mengapa ini terjadi? Mengapa niat baik kerap kali menjadi buah mimpi belaka, tanpa pijakan kenyataan? Saya berpendapat, bahwa ini terjadi, karena alasan di atas, yakni tradisi, pelestarian diri, akal budi dan hati nurani, tidak mencukupi untuk menjadi dasar bagi kebaikan. 

Jika hal-hal itu tidak cukup, lalu apa dasar yang kokoh bagi kebaikan? Saya berpendapat, dasar paling kokoh dari kebaikan adalah kesadaran sepenuhnya akan jati diri sejati kita. Artinya, kita paham, siapa kita sebenarnya, sebelum segala identitas sosial ditempelkan pada kita.

Jati diri sejati

Kesadaran tidak dapat berhenti pada tingkat intelektual saja. Konsep, pengetahuan serta kepercayaan, sebagaimana ditawarkan oleh agama, filsafat dan ilmu pengetahuan modern, sama sekali tidak mencukupi. Kesadaran mendalam atas jati diri sejati adalah puncak kebijaksanaan, sebagaimana menjadi cita-cita dari berbagai orang besar sepanjang sejarah manusia.

Ini hanya dapat dicapai, jika orang bisa hidup di sini dan saat ini. Masa lalu ditunda sebagai ingatan semata. Masa depan dilihat sebagai harapan belaka. Ketika tubuh dan pikiran bisa sepenuhnya di sini dan saat ini, semua identitas akan tertunda, dan orang akan bisa menyadari jati diri sejatinya. 

Keadaan pikiran semacam ini lalu dipertahankan. Orang bekerja dan hidup dengan keadaan pikiran ini. Kebaikan lalu menemukan dasar yang kokoh. Ia tidak lagi dipengaruhi oleh tekanan tradisi, motif keuntungan diri ataupun kerapuhan hati nurani.

Bagaimana jika emosi kuat, seperti marah atau sedih, datang melanda? Caranya sederhana: kita kembali ke kesadaran akan tubuh kita. Segala emosi disadari, diberi nama dan dibawa ke dalam kesadaran akan tubuh yang kita punya.

Dengan cara ini, perlahan namun pasti, emosi akan melebur dengan kesadaran yang merupakan jati diri sejati kita.

Kebaikan akan muncul secara alami. Saat demi saat, kita menemukan kedamaian dalam diri kita. Emosi dan pikiran boleh datang. Namun, kita selalu bisa membawanya ke dalam kesadaran tubuh kita. Di sini, kebaikan menemukan dasarnya yang paling kokoh. Percayalah!

Ikuti tulisan menarik honing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu