Lupa kata sandi Tempo ID anda?
Belum memiliki akun? Daftar di sini
Sudah mendaftar? Masuk di sini
Sulit disangkal urusan politik akan rentan terjerambab dalam kubangan pragmatisme dan eforia sesaat, kemudian akan meninggalkan dendam kesumat jika kalah. Politik adalah satu ruang persahabatan semu, kalau tidak mau dibilang ilusi. Kue kekuasaan hanya akan dinikmati oleh mereka yang berada di lingkaran tertinggi. Sedangkan yang berjibaku di lapangan hanya mendapatkan tetesan embun yang belum tentu mampu menghilangkan dahaga.
Membaca kapasitas dan kualitas para calon kepala daerah yang maju dalam perhelatan demokrasi saat ini, cukup mudah. Melihatnya tidak dari besarnya baliho, besarnya gardu relawan, dan kepandaiannya mengolah kata. Bahkan jangan terlena dengan lambaian tangannya ketika berada di tengah-tengah masyarakat. Lalu bagaimana membaca kualitas para calon? Cukup dengan mencermati empat hal berikut.
Penghargaan terhadap eksistensi perempuan bisa hadir lewat suatu narasi yang menggunggah emosi, bisa pula lewat kata yang menempatkannya pada pucuk piramida kehidupan yang tidak mencari pembanding. Perempuan harus mendapatkan ruang khusus dalam lapisan kehidupan umat manusia. Dan tanpa harus disandingkan dengan kaum adam, dalam semua aspek kehidupan.
Di kampung saya, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, sekolah mengirim beberapa guru untuk menyambangi rumah siswa, memberikan tugas dan diminta untuk mengerjakan di saat itu juga. Kebanyakkan guru 'penjelajah' ini merupakan guru honor. Mereka menjadi garda terdepan untuk membumian ilmu pengetahuan kepada peserta didik di masa pandemi Covid-19.
Sudah sekian pekan murid belajar di rumah. Banyak siswa yang menghubungi gurunya dan bertanya kapan sekolah kembali normal. Walaupun informasi berselewiran di media sosial tentang tambahan libur, namun beberapa siswa tetap menanyakan hal tersebut kepada guru-gurunya. Hal tersebut menggambarkan beberapa siswa merasakan kerinduan untuk kembali belajar seperti biasa.