x

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

sura din

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 April 2020

Selasa, 6 Oktober 2020 19:27 WIB

Pemilihan Kepala Daerah Hanyalah Eforia Sesaat, Selesai Itu Bubar

Sulit disangkal urusan politik akan rentan terjerambab dalam kubangan pragmatisme dan eforia sesaat, kemudian akan meninggalkan dendam kesumat jika kalah. Politik adalah satu ruang persahabatan semu, kalau tidak mau dibilang ilusi. Kue kekuasaan hanya akan dinikmati oleh mereka yang berada di lingkaran tertinggi. Sedangkan yang berjibaku di lapangan hanya mendapatkan tetesan embun yang belum tentu mampu menghilangkan dahaga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

SEMARAK pemilihan kepala daerah sudah menggelegar. Kampanye terbuka di mana-mana memenuhi lapangan maupun areal terbuka di kampung-kampung. Sejenak urusan wabah Covid-19 hanya himbauan, dan tetek bengek pemerintah saja. Semua calon tidak hanya datang dengan gerbongnya, tetapi juga dengan janji-janji politik yang menggiurkan.

Massa terkonsentrasi dalam banyak titik dan setia mendengarkan orasi murahan dari para calon, baik calon urusan kota maupun daerah. Para calon ini mulai menebar senyum, menyapa banyak warga, sibuk melontarkan janji, dan bahkan kaca mobilnya hampir tidak pernah di tutup walau angin puting beliung menerpa, hanya untuk memastikan ada warga yang lewat untuk di sapa. Mereka sedang pandai tebar pesona kepada siapa pun yang ditemuinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemudian para pendukung dan simpatisan dikoordinir dengan membentuk tim sampai ke tingkat dusun. Mereka setia menunggu perintah. Kapan harus bergerak, kapan pula harus menunggu di posko pemenangan. Pilkada menjadi arena pertarungan pengaruh untuk menggaet jumlah massa pemilih.

Mesin politik mulai kencang bergerak. Mereka memetak peluang, menghalau lawan, menyusun strategis dan menganalisis ala pakar yang sering tampil di tivi. Para simpatisan ini, mereka memuji para jagoanya, mulai dari prestasinya sampai urusan keseharian hidup di keluarganya. Mereka menjadi juru bicara yang pandai bersilat lidah untuk meyakinkan massa pemilih.

Bahkan demi memuluskan jagoanya, mereka dengan rela kerja siang malam, walaupun tanggungjawab sebagai keluarga kerap terabaikan. Mereka dengan bangga karena dekat dengan salah satu pasangan calon, yang tanpa disadarinya sedang membutuhkannya. Kalau jagoannya terpilih bisa kemungkinan dirinya dilupakan. Habis manis sepah dibuang.

Dan yang menarik, bahkan dari kalangan anak muda di desa-desa membentuk kelompok pemenangan bagi pasangan calon tertentu. Mereka membangun simpul-simpul persahabatan, baik di dunia nyata terlebih di media sosial. Anak-anak muda ini terintegtasi dalam barisan perjuangan para calon. Mereka ikut menggaungkan visi misi para calon. Dan tidak sedikit yang merasa bangga karena bisa berselfie ria dengan jagoanya pada setiap momen.

Bahkan dari mereka, tidak sedikit dipercayakan untuk melakukan hal-hal teknis. Mulai menyiapkan posko, panggung, mencetak spanduk, mengangkat kardus, bahkan menyiapkan forum untuk jagoan yang diusungnya kemudian datang lalu merapalkan semua programnya di hadapan banyak orang.

Tidak ada yang salah anak muda berkecimpung dalam dunia politik. Bukankah suatu saat merekalah menjadi pengganti yang mumpuni untuk menggantikan generasi hari ini. Semua orang punya pilihan masing-masing disertai dengan alasannya. Tidak ada yang berhak melarang orang menentukan masa depannya sendiri. Termasuk anak muda yang banyak bergabung di gerbong para calon wali kota maupun kepala daerah ini.

Namun, bukankah sebaiknya mereka berdiri di luar pemerintahan dan mulai bergerak untuk melakukan kerja-kerja nyata menjawab kebutuhan masyarakat. Mereka bisa mengembangkan usaha berkelompok, membumikan tempat tertentu untuk destinasi wisata yang membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Melakukan kerja-kerja advokasi bagi masyarakat yang ingin memastikan hukum berdiri tegak tanpa memihak kepada yang berkuasa terlebih yang berduit. Dan sangat banyak yang bisa dilakukan anak muda sebagai wujud kepedulian kepada banyak orang.

Tapi, kembali pada pilihan. Karena memilih untuk tidak memilih, juga merupakan pilihan. Namun, sulit disangkal, urusan politik akan rentang terjerambab dalam kubangan pragmatisme dan eforia sesaat kemudian akan meninggalkan dendam kesumat jika berakhir pada kekalahan. Politik adalah satu ruang persahabatan semu, kalau tidak mau dibilang ilusi. Kue kekuasaan hanya akan banyak dinikmati oleh mereka yang berada pada lingkaran tertinggi. Sedangkan mereka yang berjibaku di lapangan, kadang hanya mendapatkan tetesan embun yang belum tentu mampu menghilangkan dahaga.

Pilkada hanyalah eforia sesaat. Masyarakat secara tidak langsung didorong untuk ikut memeriahkan ritual lima tahunan ini. Tetapi, tidak sedikit karena pilkada, masyarakat menjadi terkotak-kotak dan bahkan sulit move on, walaupun pesta demokrasi telah usai. Bahkan tidak sedikit keluarga yang renggang hanya kepentingan para calon yang sok peduli kepada masyarakat itu. Mereka meninggalkan masalah baru karena kerakusannya untuk berkuasa.

Oleh karena itu, masyarakat harus lebih dewasa serta bijak terhadap urusan pilkada ini. Karena yang paling cepat melihat kita sakit, belum makan, kesulitan hidup adalah keluarga dan tetangga kita. Dan belum tentu para calon pemimpinan di pilkada ini, kalau mereka menang nanti akan benar-benar perduli term nasib rakyatnya. Bukankah banyak fakta yang demikian. Semoga sejarah tidak terulang.

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik sura din lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler