Aktivis lingkungan dan penulis lepas. Seorang penikmat karya sastra dan film pendek.
Artikel
Pengikut
Dengan jubah hitam, rambut terurai melebihi mata kaki, dan paruh tajam yang mirip burung elang bergerak naik-turun, makhluk itu menatap dalam-dalam mata Amnusul. Jarak mereka hanya kelang beberapa depa. Amnusul seketika bergidik ngeri saat bola mata jahat makhluk itu bertatapan dengannya. Jadi inikah maut? Mata yang hitam dan kosong itu mungkin sebentar lagi akan menyedot kehidupanku, pikirnya pasrah.
Dari dahulu leluhur kita percaya, kalau setiap manusia yang fisiknya mati di dunia, jiwa mereka akan menetap di hutan-hutan sepanjang Sungai Belidang ini. Mereka menjadi penjaga rimba kita.
Seharusnya dia cukup berterima kasih karena di lebaran haji ini ia masih bisa memasak rendang daging untuk suaminya yang tidak berguna itu. Ia juga bisa membelikan pakaian baru buat para keponakanku yang mungil.
Tapi lama-lama aku dihantui isi pikiranku sendiri. Sekarang aku takut, aku takut mengakui kalau aku sekarang sudah mulai muak pada sikap naifnya. Kebaikan hati yang terlalu luas itu menyiksaku. Aku tidak tahu, apakah aku terlalu kikir, realistis, atau aku ini tipikal suami pengatur. Salahkah jika aku ingin Rani mendengarkanku?
kau api pertama, yang membakar hingga hangus tak bersisa tulang & nyaliku tanpa ampun,
Di mana engkau dua puluh empat jam yang lalu, hingga kau terkapar di dunia asing
Kita tabah meninggalkan sisa-sisa kiamat diri sendiri sebagai puing-puing hening Yang mereka kenang sebagai petaka,
tak bisa kudengar mana suaramu yang utuh dalam lubuk hatimu kau sedang memburuku
Ke mana-mana ia berjalan mengenakan jaket hitam lusuh, dengan postur tubuh yang agak bungkuk, suara kekeh berat dan parau, dan mata merah yang nyalang selalu gentayangan di kegelapan malam. Kau bisa mengendus asap tembakau menguar dari tubuhnya. Asap menari-nari di atas kepalanya. Dia akan berubah menggila setiap melihat sedikit saja cahaya. Sebab itu hingga senja datang, ia mati dan mengunci tubuhnya dalam peti kayu besar. Namun, bila malam lah bertandang, ia bangun dan kelaparan.
Akan tetapi, pada hari pemilu setahun yang lalu, Jumai tanpa sadar telah melakukan kesalahan fatal akibat kepatuhannya pada perintah gambar di kaos merahnya itu. Maka ketika namanya disebut di TPS, ia seperti sapi gila terengah-engah berlari ke bilik pemungutan suara. Lelaki itu mencoblos dengan begitu bersemangat kertas suara hingga nyaris robek. Ia menusuk sebanyak delapan belas kali tepat ke kening pejabat itu, setelah itu ia sekonyong-konyongnya pergi, bahkan tak melipat lagi surat suara sehingga menjengkelkan panitia dan saksi yang hadir.