Suara Niskala

Sabtu, 15 Juli 2023 18:51 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dari dahulu leluhur kita percaya, kalau setiap manusia yang fisiknya mati di dunia, jiwa mereka akan menetap di hutan-hutan sepanjang Sungai Belidang ini. Mereka menjadi penjaga rimba kita.

"Kau ingat Bal? Di sini dulu kau panjat batang gandaria lalu lari luntang pukang dikejar kawanan lebah. Bengkak semua mukamu sampai bapakmu tak kenal waktu kau pulang," kata Sudi sembari tertawa terkikik-kikik. Menampilkan barisan giginya yang kuning dan tak rapi. Rahangnya yang menonjol, pipi yang amat tirus, dan dahi yang lebar dengan garis rambut mundur beberapa senti membuat ia seperti tengkorak yang dikaruniai mukjizat bersuara. Kami berpapasan di jalan membelah pekuburan pada rembang petang. Mendengar cerita Sudi aku ikut-ikutan tergelak, namun aku berusaha tetap waspada.

Mataku sesekali meninjau ke arah kijing dan nisan di sekitar tempat kami bercakap-cakap, memastikan tidak ada nama Sudiman Sulastani Bin Ali Hakim di sana. Sepuluh tahun waktu yang panjang. Sepuluh tahun banyak hal bisa berubah. Aku tidak akan tahu kalau lelaki yang kuajak bicara adalah arwah penasaran yang gentayangan karena gemar bernostalgia. Tetapi melihat ember berisi pukat tergantung di tangannya dan kakinya yang menapak tanah segera aku yakin kalau yang berdiri di depanku benarlah Sudiman Panu. Dia kawan degilku. Tidak banyak teman meliar yang setia kawan juga dapat diandalkan di masa kecilku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, Sudiman Panu memenuhi seluruh kriteria itu. Ia kerap menolongiku di tiap kesempatanku nyaris celaka. Dari orang inilah aku banyak belajar menjadi orang desa sejati. Sebab naluri dan bakat orang desa dimilikinya sejak dini. Dia sudah mahir mandi celup ke sungai saat baru tiga tahun. Lihai berenang dari umur empat tahun. Mampu memanjat kelapa setinggi atap rumah panggung di usia lima tahun. Di bangku kelas satu SD ia sudah sering menyelami pancing tersangkut di tengah sungai. Bahkan di usia itu juga, ia sudah ahli dalam menjahit pukat dan memasang batu-batu pemberat. Sudiman Panu pernah menjadi guruku.

"Berapa anakmu sekarang?" tanya Sudiman Panu setelah ia berhenti tertawa karena tersedak ludahnya sendiri.

"Dua. Perempuan semua, Man."

Ia tertawa lagi. "Sayang, tak ada yang bisa melanjutkan perguruanmu. Bakatmu harus dipendam dalam-dalam kalau begitu."

Aku tertawa. "Bagaimana denganmu, Man?"

"Satu laki-laki," balasnya pendek. Kemudian ia mengalihkan pembicaraan kami. "Sudah lama nian kau tidak pulang. Setan apa kiranya yang membawamu kembali ke dusun ini?"

"Ada urusan kecil, Man. Aku mau memeriksa tanahku di dekat Sungai Belidang. Besok mau dicek oleh calon pembeli," ceritaku dengan jujur pada Sudiman. Kukira dia akan bertanya lebih lanjut pasal siapa pembeli lahan itu. Tetapi rupanya ia hanya mengangguk lambat, lalu diam agak lama. Dadanya yang telanjang dan kurus itu mengembang seolah tarikan napasnya berat.

"Ah, aku sebaiknya pulang," ucapnya buru-buru.  Sudiman yang semula riang dan antusias sontak gelagatnya berubah menjadi lain. Sikapnya jadi dingin. Aku seolah melihat kemuraman melintas di wajahnya sesudah aku membahas tanah itu.

"Lanjutkanlah urusanmu, aku baru ingat ada janji dengan tukang servis kipas angin," Sudiman mengakhiri pembicaraannya dan pergi berlalu saja tanpa berjabat tangan seperti kebiasaan lamanya. Sekian detik aku beku dalam kebingungan di pijakanku. Cepat sekali dia mengubah sikapnya. Padahal, aku masih ingin mengobrol banyak hal dengannya. Bahkan aku juga ingin mengajaknya ikut berkeliling ke tanahku yang tak jauh dari pekuburan ini. Tapi aku tak mau berprasangka. Boleh jadi ia bersikap demikian karena dikejar waktunya yang benar mepet. Mungkin pula ikan-ikan hasil memukatnya tadi mau dimasak. Ah, tapi sepenglihatanku ia tak membawa ikan. Ada apa dengannya?

Orang bilang segala sesuatu setiap detik berubah.  Mungkin itulah yang terjadi pada Sudiman Panu. Aku bisa paham. Aku mengerti bahwa tak semua orang tertarik dengan urusan yang tidak ada kaitan sama sekali dengannya. Sebab itu dia pergi.

Cuaca hari ini kacau sekali.

Sebenarnya aku sudah sampai ke rumah bapak dari pukul sebelas tiga puluh. Dan sesuai rencanaku. Aku hendak berangkat ke sungai itu di tengah hari. Aku mau memeriksa batas tanah barangkali posisinya sudah digeser. Tetapi terik matahari di siang bolong hari ini seakan mau melubangi dagingku. Panas nian! Makanya kuputuskan niatku menunda kunjungan hingga sore.

Aku menelusuri jalan setapak yang sudah dicor. Menyaksikan pemandangan yang sudah berganti dan lain di kanan-kiri dari yang terakhir kali aku tinggalkan. Hutan yang dahulu misterius menjadi area tempat aku dan adik perempuanku paling takuti, kini menjadi area terbuka yang terbebar luas dan diselimuti bibit sawit yang baru tumbuh. Gambaran samar-samar belantara di masa lalu telah sirna. Aku terkenang betapa kayu-kayu putat yang bunganya memesona dan beraroma magis itu pernah menjadi naungan kami bila hendak berangkat ke sungai. Di sini pula tragedi mendebarkan terjadi saat Lintani, adik perempuanku itu secara sengaja memasukkan buah putat ke hidungnya sewaktu kami sedang menunggui Emak mengambil kayu untuk menanak. Lintani baru berumur tiga tahun kala itu, sehingga sedikit saja kurang pengawasanku ia langsung berulah.

Tak sadar tibalah aku di lahan yang mau dituju. Tanahku sendiri. Tanah warisan dari Emak. Turun-temurun dari buyut. Lahan ini belum pernah dibuka karena letaknya kurang strategis. Berada hanya beberapa depa dari tebing sungai. Bila musim penghujan datang, air melimpas dari sungai, menggenang di sana bagaikan rawa. Konon, kata almarhum Bapak dulu, buaya sungai kerap ikut bermigrasi sehingga jarang ada pemukat yang berani memasang jaring mereka di sana.

Di tanah ini pepohonan tua dan rimbun masih kokoh dan tegak berdiri. Mereka bagaikan payung yang melindungi segenap kehidupan beraneka ragam di bawahnya. Semak belukar tumbuh rapat seolah mereka anyaman bubu yang mau memagari dunia mereka dari tangan jahat manusia. Aku tersentuh dengan keasrian pemandangan ini. Hutan ini satu-satunya yang masih terjaga setelah semua barisan jalan yang kulalui telah berubah menjadi kebun sawit dan kebun karet. Bahkan di seberang sungai pun kulihat hanya menyisakan serumpun rotan serta beberapa batang rengas besar yang tak lagi berdaun, sisanya telah terbuka dan tergarap oleh alat berat sehingga yang tampak tanah merah dengan becek di mana-mana. Dari Wak Dahril kudengar di sana akan dibangun jembatan untuk jalan tol yang menghubungkan antarkota. Namun, pembangunannya tertunda selama setahun lantaran pekerja kesulitan membabat hutan di area itu.

"Dari dahulu leluhur kita percaya, kalau setiap manusia yang fisiknya mati di dunia, jiwa mereka akan menetap di hutan-hutan sepanjang Sungai Belidang ini. Mereka menjadi penjaga rimba kita, yang memberikan kita perlindungan dan menjaga kita dari marabahaya," cerita Wak Wak Dahril sambil mengudut di balai-balai depan warungnya. Tadi siang aku sempat mampir ke rumahnya sebentar. Ia bercerita banyak mengenai pasal pembukaan lahan di seberang sungai itu setelah aku menyebut rencanaku akan menjual tanah di dekat Sungai Belidang.

"Semasa perang dengan Belanda, para pejuang dusun kita berenang menyeberangi Sungai Belidang, bersembunyi di gua-gua batu di dekat lubuk sana. Berkat keajaiban hutan-hutan kita, mereka tak ketahuan persembunyiannya. Mereka selamat."

"Juga aku ingat tahun 90-an pernah terjadi musim kemarau yang panjang. Sumur-sumur di dusun ini kering kerontang hingga kelihatan dasarnya. Tetapi Sungai Belidang tetap mengalir setinggi dada orang dewasa. Menyelamatkan warga dusun kita dari bencana kekeringan selama bertahun-tahun kemudian."

"Sekarang tidak ada yang peduli lagi dengan jasa hutan dan sungai itu. Mereka menebanginya sekehendak hati. Mereka berlaku kasar dengan merusak dan mengusir para penghuni di dalamnya. Sekarang jangankan ruh penjaga hutan itu, aku sendiri tak mengenali rumahku lagi. Rasanya aku hidup di tempat asing. Padahal aku masih di tanah yang sama. Aku merasa tidak kenal dengan tempat kelahiranku sendiri."

"Kemajuan memang tak dapat terelakkan, Wak. Zaman sudah berubah. Kita tidak sepenuhnya bergantung lagi pada hutan. Perang sudah berlalu. Air PDAM tersedia setiap musim. Dan walau bagaimanapun, pembangunan jalan tol di desa kita tak mungkin dicegah. Itu proyek negara," timpalku mencoba memberikan pengertian pada Wak Dahril. Sejujurnya aku tersindir dengan ceritanya. Ia seakan memperingatkanku kalau perbuatanku menjual tanah di dekat sungai bakal memperparah keadaan. Walau kupikir-pikir perasaan demikian wajar dialami oleh orang-orang seusianya. Mereka sejak kecil tinggal di desa ini. Menua juga di sini. Sementara aku sejak umur tujuh belas tahun sudah minggat meninggalkan kampungku. Aku tidak kerasan berlama-lama hidup di desa semenjak Emak dan adik perempuanku wafat. Emak memang meninggal dunia karena sakit asmanya. Tetapi Lintani, ia tewas di sungai sekitar dua tahun sesudah wafatnya Emak. Saat itu ia pamit mandi ke sungai bersama kawan-kawan sekelasnya. Lalu tak disangka, sorenya kawan sekelasnya mengabarkanku kalau Lintani hanyut di sungai. Jasadnya baru ditemukan tiga hari kemudian.

Kejadian itu membuatku merasa bersalah hingga hari ini. Membuatku juga diam-diam masih mendendam pada sungai jahanam itu. Sebab itulah, apa yang dirasakan Wak Dahril tak sama dengan yang kurasakan. Aku tak merasa bersalah melepaskan hak kepemilikanku akan tanah ini kepada orang lain. Biarkan seseorang membasmi penghuni di dalamnya jika benar ada. Karena merekalah yang bertanggung jawab atas kematian adikku. Mereka yang menyeretnya masuk ke dalam sungai dan menarik kakinya ke dasar hingga ia mati dan mengapung berhari-hari kemudian. Pembalasan akan segera terjadi. Mereka pantas menerimanya.

"Bagiku merusak hutan dan sungai itu sama saja merusak kehidupan kita sendiri," ujar Wak Dahril masih menggertakku. "Setahun yang lalu pekerja dusun kita mati setelah ikut menggarap tanah itu. Aku sudah peringatkan mereka kalau kita jangan ada campur tangan proyek itu. Biarkanlah pemiliknya dan orang-orang dari kota saja yang menanggung akibatnya. Tapi mereka nekat juga mengambil pekerjaan membuka lahan itu. Kalau sudah makan korban barulah mereka percaya."

***

Beberapa hari kemudian aku memutuskan terbang kembali ke Bekasi. Dua hari lagi aku mulai masuk kerja. Lagi pula, urusanku sudah selesai. Aku sudah putuskan mengurungkan niatku menjual tanah itu sesudah istriku mengabari kalau dia sudah mendapatkan pinjaman untuk pembayaran angsuran terakhir rumah kami. Toh sebenarnya harga yang ditawarkan si calon pembeli terlampau murah dan tak sebanding dengan pengorbananku pulang ke sini. Aku pikir rugi juga kalau dijual dengan harga serendah itu.

Alasan lain sebenarnya sejak obrolan hari itu dengan Wak Dahril malamnya aku bermimpi bertemu Lintani. Gadis itu muncul dengan wujudnya yang sama dengan yang terakhir kali aku temui. Ia mengenakan gaun serba putih. Di kepalanya bunga putat dilingkarkan laksana mahkota seorang ratu. Ia tersenyum di depanku, lalu berlari memelukku. Lintani memegangi tanganku, memohon-mohon agar aku tak merusak rumahnya. Mulanya aku tak mengerti rumah mana yang dimaksud. Ia kemudian menunjuk sebuah beringin besar yang rimbun dan berakar besar di hadapan kami. Pohon beringin yang ada di tepi lahanku. Mimpi itu sontak membuatku terbangun dengan perasaan gelisah. Aku tahu mimpi hanyalah bunga tidur. Tapi seandainya dalam mimpi Lintani meminta sesuatu padaku, maka tetap saja akan kuturuti. Sebab semasa hidup aku banyak tak bisa mengabulkan permintaannya. Dan kupikir-pikir mungkin melalui mimpi inilah aku dapat memberikannya sesuatu.

Sebelum pulang aku singgah ke rumah Wak Dahril, menitipkan kunci rumah orang tuaku. Meminta Wak Dahril menjaganya selama aku belum kembali. Lelaki tua itu senang bukan main begitu mendengar keputusanku membatalkan menjual tanah dan ia sempat memberikanku jimat yang menurutnya kelak akan menjagaku di masa-masa sulit.

"Mereka akan berterima kasih sekali padamu, Bal. Kau penyelamat mereka," kata Wak Dahril seolah-olah dia kenal sekali dengan 'mereka' yang dia bicarakan.

"Aku melakukannya bukan untuk siapa pun, Wak. Semua itu buat Lintani."

Wak Dahril mengangguk kecil, lalu berkata sembari tersenyum, "Apa pun alasanmu kau berjasa."

"Tolong katakan juga pada Sudiman, Wak, kalau butuh kayu bakar atau untuk tiang rumah ambil saja di lahan itu. Siapa tahu dia perlu."

"Sudiman? Kemarin aku belum memberitahumu rupanya ya?" ujar Wak Dahril sambil menggaruk kepalanya.

"Memberitahu? Tentang apa Wak?" tanyaku tidak mengerti.

"Aku lupa kalau kau seumuran dengan Sudiman. Kawanmu itu sudah wafat, Bal. Kau ingat orang yang kuceritakan mati setelah ikut menggarap bakal jalan tol. Orang itu Sudiman. Dia meninggal mendadak sepulang dari bekerja. Kejadiannya awal tahun lalu."

Bagikan Artikel Ini
img-content
Eki Saputra

Aktivis lingkungan dan penulis lepas. Seorang penikmat karya sastra dan film pendek.

0 Pengikut

img-content

Perjanjian dengan Peri

Jumat, 1 Desember 2023 12:33 WIB
img-content

Suara Niskala

Sabtu, 15 Juli 2023 18:51 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua