Tiap sore aku datangi satu per satu tunggul,
bertanya adakah yang tersisa dari
kesusahpayahan kita berdiri,
sebelum mati ditebang kapak murka
milik sang buta,
Lalu kita pernah dibakar, digulung-gulung api dingin,
Kebingungan, keheranan, mengapa menjadi kesalahan hadir di dunia yang tak sehari kita bayangkan?
Di antara tubuh yang masih terpancang
dengan luka bakar menganga, dan daging yang hangus terputus,
Kita tabah meninggalkan sisa-sisa kiamat diri sendiri sebagai puing-puing hening
Yang mereka kenang sebagai petaka,
meski potongan tubuh ini menjadi jendela bagi mereka melihat kesejatian.
2022
Ikuti tulisan menarik Eki Saputra lainnya di sini.