x

Ilustrasi angsa hitam

Iklan

Eki Saputra

Aktivis lingkungan dan penulis lepas. Seorang penikmat karya sastra dan film pendek.
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Minggu, 7 Mei 2023 09:04 WIB

Angsa Liar dan Jarum Emas

Tapi lama-lama aku dihantui isi pikiranku sendiri. Sekarang aku takut, aku takut mengakui kalau aku sekarang sudah mulai muak pada sikap naifnya. Kebaikan hati yang terlalu luas itu menyiksaku. Aku tidak tahu, apakah aku terlalu kikir, realistis, atau aku ini tipikal suami pengatur. Salahkah jika aku ingin Rani mendengarkanku?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku bukan orang yang perhitungan. Dalam hal apa pun, aku tahu cara berbagi. Beberapa persen dari gaji atau bonus yang kudapatkan, aku sisihkan untuk panti asuhan, tempat biasanya aku berderma. Sisanya, aku serahkan seluruhnya pada Rani, istriku. Dialah yang sepenuhnya mengatur keuangan di rumah kami. Rumah yang sepi sebab kami belum berencana menambah kepala. Rani yang pemurah. Hatinya teramat mulia dan terlalu baik sehingga mustahil aku tidak menyukainya.
 
Tapi lama-lama aku dihantui isi pikiranku sendiri. Sekarang aku takut, aku takut mengakui kalau aku sekarang sudah mulai muak pada sikap naifnya. Kebaikan hati yang terlalu luas itu menyiksaku. Aku tidak tahu, apakah aku terlalu kikir, realistis, atau aku ini tipikal suami pengatur. Salahkah jika aku ingin Rani mendengarkanku? 
 
Kau jangan salah paham. Rani bukanlah istri pembangkang. Dia menghormatiku seperti layaknya perempuan-perempuan berbudi luhur di luar sana. Aku pun tidak menginginkan ketundukan istri yang berlebihan. Ketahuilah, aku tak sekolot itu. Ibuku cukup berpendidikan dan mandiri saat membesarkanku. Lahir tanpa ayah membuatku lebih tahu bagaimana cara memperlakukan wanita. Tapi kali ini, masalah Rani sudah lain, tidak terkait ketundukannya padaku atau kegilaanku akan rasa hormatnya. Masalah kami adalah tentang saudara-saudaranya. Aku tidak tahan untuk tidak mengatakan kalau istriku telah diperas saudara-saudara iparku.
 
"Kebaikan itu ada batasnya, Rif. Kau juga harus memikirkan masa depanmu dan istrimu," saran Rio, sahabat karibku. Dia yang pertama kali membuka mataku tentang makna persaudaraan. Karena aku anak tunggal, kadang aku bodoh memahami relasi antara kakak-adik. Kupikir menjadi seorang adik ipar yang baik ialah menolong kakak-kakak iparnya tanpa pamrih.
 
"Aku kenal sekali tabiat keluarga istrimu itu. Mereka pemalas dan tidak mau berusaha."
 
"Tapi mereka yatim piatu. Abang Mulyo-lah yang sejak dulu mengurus adik-adiknya sampai mereka cukup dewasa."
 
"Abangmu yang egois itu. Dulu kata ayahku pernah ada keluarga terpandang yang mau mengadopsi beberapa orang iparmu. Tapi dia menolaknya."
 
"Benarkah?"
 
Rio mengangguk. "Sebaiknya nasihati istrimu. Aku sering menengoknya bertandang setiap minggu ke rumah abangmu yang paling muda. Aku tak bermaksud menakut-nakutimu, tapi mereka dibesarkan di tempat yang berbeda. Mereka lama tidak dekat. Bukan mustahil seorang pria lajang menyukai adik kandungnya. Zaman sudah berubah, semua bisa saja terjadi!"
 
"Itu berlebihan," pungkasku pada Rio. Aku kenal Rani lebih baik dari siapa pun. Dan itu tak mungkin terjadi. Ia menemui Bang Lukman atas saranku. Kurang dari dua minggu lagi Lukman akan menikah. Siapa lagi yang dapat membantu segala persiapannya kalau bukan istriku?
 
Aku tahu finansial mereka jauh dari kata berkecukupan. Dari sebelas saudara Rani, hanya Lukman yang lulus diploma. Sisanya hanya tamat SMA. Di zaman sekarang, apa artinya ijazah lulusan SMA? Maksudku, aku sadar betul dengan latar belakang mereka yang kekurangan, tidak heran Rani sulit mengabaikan keadaan mereka.
 
Tetapi benar kata Rio, mau sampai kapan mereka bergantung pada istriku? Padahal mereka tahu, Rani mengandalkan konveksinya untuk menambahi pendapatan keluarga kami. Konveksi itu ia dirikan memang sebelum kami menikah, tapi modal membeli mesin jahit itu dan menggaji pegawai baru adalah hasil keringat panas dinginku. Sedangkan mereka, pria-pria yang sehat dan kuat itu tak sehari pun ingin membantu, setidaknya tenaga pada Rani.
 
Seminggu yang lalu usaha biniku mengalami musibah. Rani ditipu oleh perusahaan di kota sebelah yang memesan dua ratus setel seragam kerja. Mereka hanya membayar DP, kemudian suatu hari tanpa alasan masuk akal tiba-tiba datang ke kantor membatalkan pesanan. 
 
"Apa tidak bisa Bu menunggu seminggu lagi?" 
 
"Kami butuh seragam itu sebelum audit dilaksanakan, sedangkan Mbak Rani tak mungkin bisa mengejar sebelum tanggal itu. Soal DP tidak perlu dikembalikan," balas perwakilan perusahaan itu membungkam istriku. Aku tahu kalau Rani sudah mengerjakan lebih dari setengah pesanan. Dan, kalau saja, dua pegawainya tidak mengalami kecelakaan, mungkin orderan itu telah selesai tepat waktu. 
 
Yang paling menyakitkan hati, semua itu tidak mungkin terjadi kalau-kalau saudara-saudara Rani tidak memperkeruh keadaan. Aku mengerti keengganan mereka membantu istriku, tetapi setidaknya jangan menambahi bebannya lagi. Pada hari itu rongseng sekali aku sesudah salah satu karyawan mengatakan semestinya target itu masih bisa dikejar kalau saja pesanan jas tidak mengganggu mereka. 
 
"Bang Mulyo sama Bang Anas yang minta, Pa. Mereka ingin sekali memakai setelan jas itu pada hari pernikahan Bang Lukman," jelas Rani ketika aku menyelidiki soal pesanan yang jadi sebab-musabab kerugian yang menimpanya. 
 
"Bayarnya?" tanya lidahku kelu. Tanpa perlu kutanyakan aku tahu bahwa mereka tak mungkin memiliki cukup uang untuk membayarnya. Lagi pula mereka bisa menyewa saja. Kenapa harus istriku yang repot-repot menjahitnya sendiri?
 
Rani menarik napas seolah ia ingin mengatakan bahwa pertanyaanku itu tidak pantas. Namun aku suaminya, bagiku sangatlah pantas mempertanyakan segala hal yang menjadi sebab kesusahan istriku. Ya, aku tahu menikahi seorang gadis artinya kita harus siap pula menerima keluarganya. Memperlakukan mereka layaknya keluarga kita sendiri. Tetapi seharusnya mereka sadar diri, ke manakah dua puluh lima tahun yang lalu sehingga Rani harus diasuh orang tua angkatnya di kampung? Ke manakah nyawa mereka selama tahun-tahun berjalan sampai-sampai tidak berusaha menemukan adik mereka hidup dalam kesusahan dan melarat? Aku lupa, mereka selama dua puluh lima tahun pun tampaknya jauh pula dari kata makmur. 
 
Akulah yang pertama kali menemukan istriku. Waktu itu, usahanya masih sangat kecil. Aku ingat, jas yang kupakai untuk melamar kerja dibuat dari keuletan tangannya. Tangan yang dihiasi bekas luka-luka bakar. Kata Rani, saat ia berumur lima tahun, ia tak sengaja mencengkam tumpukan alang-alang di kebun. Gadis kecil itu tak sadar di dalam tumpukan ada bara kayu menyala tengah menggeramus rumput kering. Telapak tangannya yang mungil itu tak pernah sempat diobati ke dokter lantaran keluarganya terlalu papa untuk membayar biaya pengobatan. Maka ia hanya dijampi-jampi dan diusap dengan ludah dukun di kampung. Nahasnya, tidak ada keajaiban yang terjadi. Berhari-hari ia menanggung perihnya luka bakar. Luka itu menghitam dan tak kunjung kering.
 
"Kemudian Mak terpaksa mendatangi dukun itu beberapa hari. Dia herankan tanganku yang makin bengkak dan berair. Si dukun memeriksa sekali lagi. "Ini luka bakar bukan sembarang luka bakar biasa. Ini adalah pesan," ujar sang dukun sembari mengelus punggung tanganku. Lalu kata Emak wanita tua itu mengambil telur angsa. Dipecahkannya ke atas luka bakarku. Ia lantas berkata kepada Mak, "Anak ini bukan putrimu." Rani mengulang masa lalunya sambil mengelus tanganku. 
 
Ia diam sejenak. Kembali bicara,"Tentu saja itu sudah rahasia umum. Orang sedusun tahu bahwa Emak memungutku dari bekas majikannya dulu. Kata Emak, ayah kandungku kabur dari utang dengan istri mudanya, dan aku yang baru umur setahun dititipkannya ke Emak."
 
"Jadi dukun itu cuma mengulang fakta?" potongku tidak sabar. Sebenarnya aku kurang suka dengan hal-hal tidak logis. Dari cerita tadi, kita sama-sama tahu kalau si dukun tak membantu sama sekali. Andaikan Rani kecil diantar ke puskes. Mungkin dengan bantuan obat oles dan pil pereda sakit sudah dapat meringankan sakitnya. Dukun konyol itu menggunakan trik murahan hendak menipu keluarga miskin. Walau dia dukun, aku yakin dia memungut bahkan jika cuma seperak dari emaknya Rani.
 
Rani tersenyum. "Aku belum selesai, Mas," ucapnya mencoba menyabarkanku. "Dukun itu bilang lagi, kalau aku punya sebelas saudara kandung laki-laki. Ibuku melahirkan anak selusin. Dan aku satu-satunya anak perempuan. Katanya, kelak dari telapak tangan dengan luka bakar inilah aku akan membantu saudara-saudaraku."
 
Benar! Kau akan dijadikan budak. Kau diperah keringat dan otak oleh sebelas laki-laki yang pura-pura menyayangimu. Kala siang wajah-wajah mereka bersih dan suci layaknya bulu angsa. Tak ada kilasan kejahatan di mata mereka. Tutur kata yang manis, bijak, dan pandai mengajari. Mereka tidak tampak seperti saudaramu, malah bagaikan malaikat yang menjelma jadi manusia suci ke mana-mana. Tapi bila malam tiba, mereka kembali pada wujud aslinya. Mereka adalah angsa hitam liar yang sesungguhnya. Mereka meminjam, mengemis, menagih apa saja yang kau miliki. Bahkan jika daging dan tulangmu dapat mereka pinjam, aku yakin mereka akan mengelupaskannya dan segera mengisap sum-summu hingga kau tidak berdaya karena hatimu yang kelewat bersih. 
 
"Mana mungkin aku bisa menolak permintaan mereka," kata Rani mengulangi kalimat yang membuatku dongkol. 
 
Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin. Para saudara kandung yang busuk hati di belahan dunia lain sanggup menaruh saudaranya ke dalam sumur lantaran iri pada kemuliaannya. Anak itu ditemukan seorang musafir dan diangkat menjadi budak. Ia dijual si pedagang maruk dan dibeli oleh pejabat kerajaan. Berpuluh tahun ia mengalami pasang-surut hidup sampai akhirnya dijadikan aset penting kerajaan tempat ia terbuang.
 
Aku tidak lupa bagian akhir kisah itu. Si adik yang mulia memaafkan saudara-saudaranya yang khianat dan memboyong mereka ke dalam istana. Persis dengan sikap Rani. Tapi demi Tuhan! Kau bukan orang suci, Ran! Tidak ada kewajibanmu merawat mereka, mengabulkan permintaan mereka. Sepatutnya merekalah yang membantumu. 
 
"Kalau begitu, suruh Bang Budiman dan Bang Alam membantumu menjahit. Kebetulan dua mesin kita menganggur. Bukankah kau bilang mereka pernah bekerja di pabrik tekstil? Kurasa tak ada salahnya menolongmu," usulku.
 
Namun Rani seperti bingung menjawabku. Ia mungkin mengetahui isi kepalaku. Sudah terlalu banyak yang kami berikan pada mereka. Baru sebulan yang lalu Bang Iqbal meminjam uang 10 juta untuk memperbaiki gubuknya. Sebelumnya Bang Dimas meminjam modal untuk usaha ternak lelenya 15 juta. Setahun lalu Bang Anas pinjam 7 juta untuk biaya persalinan istrinya. Bang Mulyo, kakak tertua Rani, yang paling besar meminjam, dia berutang 25 juta untuk uang tutup mulut korban anaknya yang nyaris dilaporkan karena kedapatan menganiaya teman sekelasnya.
 
Ini belum menghitung pinjaman abang-abangnya yang lain; belum menghitung utang mereka lima tahun ke belakang. Bahkan sebelum aku dan Rani menikah. Mereka telah memeras istriku hingga usahanya hampir roboh. Kapan mereka melunasi semuanya? 
 
"Mas, kan, tahu sendiri. Bang Budiman dan Bang Alam sungkan kerja denganku."
 
"Nah, mereka saja bisa menolakmu. Kenapa sekali-sekali tidak kau tolak maunya mereka?" Aku tidak tahan ingin mencerca. Lelah rasanya menanggung amarah yang disimpan dalam kepala. Andai dari lama bisa, aku ingin memecahkan kepalaku agar pada para kakak iparku yang tidak tahu diri itu bisa melihat betapa buasnya kejengkelanku.
 
"Kenapa Mas Arif akhir-akhir ini berubah?" tanya Rani lunak. Ia menatap mataku yang berpaling dari wajahnya. "Apakah aku punya salah?"
 
Aku diam. Enggan mulutku menjawab istriku lagi. Tanpa dijawab dia mestinya tahu bahwa kesalahan apa yang dia perbuat selama ini. Kesalahan itu bukan berasal dari dirinya, melainkan datang dari parasit yang mengisap tubuhnya. Lihat kau, Rani, lihat wajahmu di cermin. Kau kurus seperti kerangka dibungkus kain perca. Tulang-tulang pipimu makin mencolok  dan waktu kian ahli merajut kerutan di wajahmu. Mengapa kau belum sadar juga?
 
"Aku tidak berubah! Kau yang berubah. Semula katamu membantu mereka jika mendesak saja. Tapi sekarang kau menuruti segala kehendak mereka. Haruskah kuperjelas, aku berkerja keras untukmu Ran! Aku ingin melihatmu bahagia! Tak bisakah kau memprioritaskan dirimu sendiri! Tidak bisakah kau peduli pada nasibmu!" 
 
"Aku bahagia melihat abang-abangku bahagia. Kau tahu itu sejak lama. Kau kan yang berjuang mempertemukanku dengan mereka. Sekarang kenapa kau seolah benci dengan keluargaku itu? Apa salah mereka?"
 
"Mereka bukan saudara! Mereka lintah! Parasit! Dukun sialan itu mengarang cerita agar emakmu terhibur saat tanganmu cacat karenanya. Tapi kau yang lugu menganggap serius setiap perkataan dukun itu. Aku memang mempertemukanmu dengan saudaramu seperti iringan anak ikan itu, tapi aku tidak pernah berpikir mereka akan memperalatmu."
 
"Hentikan!" jerit Rani sambil terisak, "Aku tidak menyangka Mas Arif berpikir seburuk itu pada mereka."
 
"Aku tidak akan diam. Lima tahun aku menahan diri mengatakan ini padamu. Aku berusaha menyimpan kekesalanku. Walau berkali-kali kujelaskan, kau selalu membela mereka. Kau ini bodoh atau naif? Kau punya suami! Tak maukah kau menghargaiku sekali saja!"
 
"Aku tidak pernah meninggalkan kewajibanku sebagai istrimu, Mas. Aku selalu mengurusmu dengan sebaik-baiknya. Dan soal uang yang saudaraku pinjam, aku tidak pernah menganggap itu sebagai pemberian. Aku akan melunasinya padamu," katanya dengan air mata menggenang di pipi. "Kau terlalu perhitungan pada istrimu sendiri."
 
Mendengar itu aku seperti dicambuk punggung dengan pedang. Darahku naik, menyusup ke kepala. Serasa aku dihina oleh kalimat terakhir itu. Dengan semua pengorbanan yang kulakukan, jerih payah keringat dingin, dan hampir aku tidak pernah memperhatikan penampilan dan kesehatanku lagi. Aku bekerja sepanjang hari. Sepanjang usia. Kadang lembur. Kadang mengambil kerja lepas di jam malam. Semua pendapatan kupercayakan padanya. Lalu mudah nian ia menganggapku kikir? Berapa batas kebaikan kepada orang asing agar kau tak dianggap kedekut? Berapa harga yang harus kubayar agar aku bisa membahagiakan istriku sendiri?
 
"Kau bilang aku perhitungan?" aku bangkit dari sofa tempatku semula duduk. "Baiklah! Kalau sebatas itu nilaiku di matamu. Maka dengarkanlah baik-baik: Carilah suami baru yang mau menerima janda yang merawat sebelas pria dewasa tidak berguna!" 
 
Malam itu batas kesabaranku habis seperti jerami kering yang dilalap api. Aku tidak ingin melemparkan kalimat jahat itu ke telinga istriku. Aku menyayanginya lebih dari apa pun. Tetapi, sebab rasa sayangku itulah yang membuatku tak tega melihat dia diperbudak saudara-saudaranya.  Ia mengabulkan segala keinginan mereka dan istri mereka. Sementara ketika dia membutuhkan uluran tangan, mereka lenyap bak debu dikibas angin. 
 
Rani dengan limpahan air mata meninggalkan rumah kami detik itu juga. Mama meneleponku mencoba mendinginkan suasana, memintaku menjemput Rani di konveksinya. Mama tidak tahu masalah di antara kami. Yang Mama pikir aku marah hanya karena Rani membuatkan sebelas setelan jas untuk saudaranya. 
 
"Itu tak akan membuatmu miskin, Nak. Biarkan saja istrimu menyenangkan keluarganya," kata Mama di sambungan telepon.
 
Aku tidak menyahut. 
 
"Bang, ingat Mama dulu mengajarimu apa?" ucap Mama di telepon. 
 
"Tidak, Ma. Aku tidak bersalah. Aku tidak akan meminta maaf pada Rani lagi."
 
"Kau sayang istrimu, kan?"
 
"Lebih dari segalanya."
 
"Jemput dia kalau begitu. Tadi tukang jahit kalian menghubungi Mama kalau Rani masih menjahit jas untuk abangnya di konveksi."
 
Dasar keras kepala! aku merutuk setengah mati. Mengapa Rani tak mau mengerti maksud baikku? Sebab aku menyayanginya, aku rela mengalah menjemputnya malam itu juga. 
 
Ketika aku tiba di sana. Rani sedang tekun menyelesaikan jahitannya. Ia mengusap air matanya sesekali. Mengelap peluh dan ingus di hidup bangirnya. Ia tak menyadari kedatanganku. Pintu memang telah ternganga, dan aku sengaja melangkah dengan pelan agar ia tak terkejut. 
 
"Selesai," ia mengangkat dan mengibaskan jas legam itu seraya tersenyum getir. Tatkala ia menyadari aku sudah berdiri di depannya, cepat-cepat ia letakkan jas itu ke atas mesin jahit. Ia terduduk lagi seakan malu dengan yang baru saja ia lakukan. 
 
Aku langsung memagut tubuh kurus itu. Mencium keningnya yang lebar sebelum ia lekas membuka mulut. "Maafkan aku, Ran. Aku sayang sebab itu aku takut kau menderita."
 
"Maaf kalau aku tak mengerti maksud baikmu. Aku janji setelah jas ini selesai. Aku tidak akan mengabulkan permintaan mereka lagi."
 
***
 
Waktu berlalu cepat seperti aliran deras air di selokan banjir. Sejak hari itu Rani benar-benar menepati janjinya. Kini ia fokus pada bisnis konveksinya saja. Usahanya makin berkembang pesat. Dahulu ia cuma memiliki sepuluh mesin jahit, sekarang bertunas menjadi dua kali lipatnya. Istriku membuka beberapa butik dan dipercaya sebagai pembicara dalam acara-acara seminar kewirausahaan. Tidak ada orang di kota kami tak mengenal konveksi istriku. Bahkan penghasilanku tiada apa-apanya dibandingkan omset yang diraihnya.
 
Yang tak disangka, setelah umur  pernikahan kami yang kesepuluh, aku tak menyangka Tuhan memberikan kami titipan. Rani mengandung darah dagingku. Sekarang kandungannya sudah berumur sembilan bulan. Perut istriku menggelembung dan konon dokter bilang tiga bayi laki-laki bersemayam di dalamnya.
 
Sementara saudara-saudara iparku berhenti merongrong. Entah kenapa sejak setelan jas itu dibagikan tabiat mereka mendadak berubah. Aku tidak mengerti, mantra apa yang diucapkan Rani melalui pakaian itu atau benang apa yang dipakainya sehingga mengubah mereka jadi lebih peduli pada kami. Mereka tak seperti yang dahulu kukenal. Setiap tahun satu per satu abangnya bergantian melunasi utang-utang mereka. Apabila dibutuhkan, mereka selalu jadi yang pertama datang menolong kami. 
 
"Apa yang pernah kau katakan pada mereka?" tanyaku bingung pada Rani setelah lama menyimpan pertanyaan itu.
 
"Aku hanya menjalankan nasihat yang dukun itu tinggalkan pada Emak dulu. Sebelum meninggal, beliau memberikanku sebuah jarum emas. Kata si dukun, jarum itu bakal menolong siapapun dalam masa-masa sulit. Jarum itu bagaikan jarum emas yang digunakan ayam menjahit sayapnya supaya bisa terbang seperti elang."
 
"Aku tidak mengerti. Itu dongeng."
 
Mata istriku berkaca-kaca. "Setiap jas itu kancingnya dijahit dengan jarum emas itu. Aku menaruh harapan besar bahwa dengan pakaian itu semoga Tuhan menolong mereka. Membebaskan mereka dari kutukan hidup miskin dan dijauhkan pikiran mereka dari niat buruk."
 
Aku kehilangan kata-kata. Aku selalu kesulitan mengikuti jalan pikiran istriku. Dia masih saja percaya pada dunia perklenikan dan omong kosong dukun itu. Tetapi sulit disangkal bahwa omong kosong yang diyakininya memang selalu membuahkan kenyataan.

Ikuti tulisan menarik Eki Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB