x

Iklan

Amirudin Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

UN Memang Harus Dihapus

UN banyak mendatangkan masalah. Apa perlu menghapusnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy berencana memoratorium ujian nasional (UN) mulai tahun 2017 mendatang. Menurut Muhadjir, pihaknya sudah lama mengkaji perihal pelaksanaan ujian nasional hingga mendapat kesimpulan bahwa Kementerian Pendidikan menghentikan ujian nasional. Ia menuturkan kajian tersebut sesuai dengan amanat Nawacita pemerintah Presiden Joko Widodo bahwa ujian nasional harus dievaluasi. 

Moratorium UN dilakukan untuk semua jenjang pendidikan, mulai sekolah dasar hingga menengah atas. Tapi, sebagai pengganti UN, masing-masing daerah dimungkinkan mengadakan ujian untuk masing-masing jenjang sekolah. Namun demikian, Kementerian Pendidikan tetap akan mengawasi pelaksanaan ujian di masing-masing daerah. Muhadjir mengaku belum mengetahui sampai kapan moratorium ujian nasional dilakukan. Bisa juga UN kembali dilakukan.

UN sejak lama diperdebatkan. UN telah menimbulkan banyak persoalan. Mulai soal peserta didik yang frustasi sampai urusan kecurangan yang sistemik. Sehingga Mahkamah Agung (MA) pernah mengeluarkan keputusan pada 14 September 2009 terkait hal itu. Keputusan MA meminta UN ditinjau ulang, dihentikan.  UN bisa dlakukan kembali  setelah  pendidikan di Indonesia dinilai sudah merata.

Saya termasuk orang yang sejak lama mengusulkan penghapusan UN. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat tersebut. Pertama, UN melegitimasi kecurangan. Bukan rahasia lagi,  UN telah membutakan mata semua pihak terkait. Siswa, guru, kepala sekolah sampai pemerintah daerah. Semua menghalalkan segala cara menghadapi UN.  Tim sukses dibentuk dari level paling atas sampai terbawa di sekolah. Kecurangan sistemik benar-benar nyata adanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekadar berbagi pengalaman, saya pernah menyaksikan guru memberikan kunci jawaban soal ke peserta didik dengan kasat mata. Masuk ke ruang ujian, menuliskan jawaban di papan tulis. Dalam beberapa saat ditunggunya, kemudian menghapusnya. Sebagai pengawas ruangan saya tak bisa berbuat apa-apa. Menggunakan berbagai modus, tim sukses sekolah melakukan kecurangan guna menyelamatkan anak didik mereka dari kejamnya UN.

Kedua, pendidikan belum merata.  Kualitas pendidikan Indonesia sampai saat ini belum merata. Banyak sekolah di tanah air yang masih terkendala dengan fasilitas-fasilitas utama dan sumber daya pengajaran. Tidak meratanya pendidikan di negeri ini karena dipengaruhi infrastruktur sekolah dan rendahnya kepedulian masyarakat yang menyebabkan sekolah di Indonesia tidak memiliki standar yang sama.

Akses pendidikan juga belum merata. Tak semua anak yang berusia sekolah bisa mengenyam pendidikan yang layak. Sekretaris Jenderal Gerakan Indonesia Pintar (GIP), Alpha Amirrachman PhD pernah mengungkapkan fakta, di tahun 2015 kurang lebih 2,5 juta anak yang terdiri 600.000 anak usia sekolah dasar dan 1,9 juta anak usia sekolah menengah pertama tidak bisa melanjutkan sekolah.

Sementara itu, masih terdapat 54 persen guru yang masih belum memenuhi standar kualifikasi dan 13,19 persen bangunan sekolah dalam kondisi tidak layak. (http://www.republika.co.id)

Ketiga, melahirkan kasta pelajaran. Di Indonesia, kastanisasi ilmu berawal dari dikotomi ilmu menjadi ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu umum mendapat tempat lebih tinggi, lebih bergengsi daripada ilmu agama. Dikotomi ilmu umum dan agama merupakan warisan penjajah Belanda yang masih mengkristal dalam kehidupan masyarakat. Terbukti sampai hari ini,  pegelolaan pendidikan Indonesia ditangani oleh dua kementerian berbeda. Kementerian pendidikan menyelenggarakan pendidikan umum (TK-SD-SLTP-SLTA-PT). Sementara Kementerian Agama menyelenggarakan pendidikan agama yakni RA, MI, MTs, MA, dan PTAIS (Perguruan Tinggi agama Islam seperti UIN atau IAIN).

UN membuat kasta baru, membedakan pelajaran  utama dan pelajaran biasa. Yang utama adalah mata pelajaran yang di-UN-kan. Yakni Matematika, IPA-IPS, dan Bahasa Indonesia. Sedangkan yang lainnya dianggap pelajaran biasa yang tak penting. Kastanisasi mata pelajaran sedemikian kuat. Pelajaran UN menjadi Elit. Demikian gurunya semakin bergengsi. Kedua kelompok mata pelajaran tersebut sangat mencolok perbedaanya. Sekolah pun memperlakukannya secara berbeda. Sekolah lebih mengutamakan pelajaran seperti Matematika baik terkait guru, buku ajar, media pembelajaran maupun lainnya.

Keempat, pendidikan berorientasi pada nilai. Sejak UN diberlakukan, secara umum motivasi siswa berorentasi beralih pada nilai (value oriented). Nilai  menjadi target bahkan tujuan akhir dalam belajar. Motivasi itu menguat dalam diri siswa karena dorongan lingkungan mereka mulai lembaga sekolah sampai keluarga. Kenapa? Karena ternyata guru atau sekolah mereka  dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran juga berotrientasi pada nilai. Demikian pula orang tua. Hal pertama yang ditanyakan pada anak untuk melihat perkembangan belajarnya  adalah nilai. Nilai menjadi target terpenting. Ranking menjadi hal yang sangat ditunggu saat melihat rapot anak. Saat dalam buku rapot tidak tersedia kolom ranking, mereka memaksa guru untuk membuatnya.

Menurut Munif Chatib, motivasi belajar itu seharusnya berorientasi pada:1.Untuk tahu cara memenuhi kebutuhan hidup mereka, 2. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi 3. Mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.  Saya menambahkan satu lagi bahwa pembelajaran harus memotivasi peserta didik dalam penanaman karakter atau akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini penting, agar siswa tidak hanya dibekali ilmu (knowledg), skil atau ketrampilan, tapi ditanamkan juga karakter yang kuat.

Kelima, mengabaikan proses. UN hanya mengevaluasi hasil pembelajaran. Proses tak dilihat sama sekali. Padahal hasil itu bergantung pada proses. Tidak adil jika proses berbeda hasil dievaluasi secara sama.

Akhir kata, mengutip Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku, Buku Kerja Multiple intelgences karya Thomas R Hoer menyindir, “anak-anak yang kita anggap istimewa  adalah anak-anak dengan kecerdasan yang tidak diapresiasi budaya kita. Rasyid dan Dani punya kecerdasan visual yang menakjubkan, tetapi sekolah-sekolah kita mengabaikannya”. Ini mengaskan bahwa mengevaluasi peserta didik tak boleh melulu soal kemampuan akademik (ranah knowledge). Evaluasi pendikan wajib integratif.  Semua kecerdasan yang dimiliki siswa kudu dilihat, dinilai. Dan UN tak menggambarkan hal itu. UN hanya memotret pengetahuan peserta didik. Karenanya, hasil UN tak menggambarkan hasil pendidikan. Sekali lagi, tak mungkin.Wa Allahu Alam

 

Ikuti tulisan menarik Amirudin Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler