x

Iklan

Charis Subarcha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pengaruh Neoliberalisme Terhadap Pendidikan Tinggi

Tulisan Tahun 2014 lalu yang saya upload kembali. Penulis sengaja mengupload kembali file ini agar mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “Sesungguhnya, bahwa membangun suatu negara, membantu ekonomi, membangun teknik, membangun pertahanan, adalah pertama-tama dan pada tahap utamanya membangun jiwa bangsa. Bukankah demikian? Tentu saja keahlian perlu, namun keahlian saja tanpa dilandasi jiwa yang besar, tidak akan mencapai tujuannya. Ini adalah sebab mutlak diperlukannya Nation and character Building.” ~Ir. Soekarno

 

Konsolidasi kekuatan kapital pasca gelombang globalisasi II (perang dunia II) merumuskan adanya organisasi internasional keuangan,perbangkan dan perdagangan internasional (IMF,World Bank,ADB dll) . Perubahan pilihan bangsa indonesia dari mulai sistem ekonomi,politik dan budaya terindikasi terjadi mulai dari tahun 1967 ketika IMF mengintervensi kebijakan ekonomi Indonesia pasca-krisis, didahului dengan dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara resmi dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Perubahan paradigma ekonomi dari people-centered menjadi marketcentered juga berimbas terhadap pengelolaan hak publik, salah satunyapendidikan. Kemudian, muncul wacana pemerintah Indonesia untukmengupayakan privatisasi pendidikan melalui perubahan format pengelolaanuniversitas publik dengan konsep badan hukum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Liberalisasi sektor pendidikan yang terjadi di Indonesia bersumber dari keanggotaan Indonesia dalam WTO, yang kemudian menandatangani perjanjian GATS pada tahun 1994. Salah satu poin dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa sektor pendidikan adalah salah satu sektor yang harus diprivatisasi. Sebuah konferensi antar Negara anggota WTO pernah diadakan oleh UNESCO pada tahun 2012 yang membahas isu pendidikan tinggi dalam salah satu poin kesepakatannya dinyatakan bahwa :

 

Trade in higher education is a million dollar business …

Rapidly growing, however, is the private 'education

industry'... this currently generates around $100 billion in the

US alone ..."

 

Berdasarkan pernyataan tersebut, perjanjian GATS yang telah dikuatkan sebelumnya dalam perundingan WTO Round di Mexico pada tahun 2005 telah mengubah pendidikan sebagai sebuah barang privat komersial dengan potensi bisnis tersendiri. Neoliberalisme telah berhasil mencapai tujuannya. Dengan kepesertaan Indonesia di dalam WTO, maka Indonesia mengubah paradigma pendidikan tingginya dari hak konstitusional menjadi institusi pasar yang harus berkompetisi dengan terbuka. Padahal, menurut Stiglitz, persaingan Negara Dunia Ketiga di dalam kontestasi pasar bebas adalah awal dari kekalahan dan penghancuran masyarakat miskin di sebuah Negara. Negara Dunia Ketiga memerlukan proteksi untuk bersaing dengan industri karena tidak memiliki

penguasaan sumber daya manusia yang memadai, juga teknologi. Tentu saja, Negara-negara kecil tidak memiliki syarat tersebut dan proteksi bagi Negara Dunia Ketiga tidak diakomodir oleh WTO.

Neoliberalisme juga berpengaruh terhadap pengelolahan pendidikan tinggi. Henry Giroux menyatakan bahwa terjadi tren korporatisasi dan komersialisasi universitas publik di Amerika Serikat yang berdampak pada terhalangnya aksesibilitas peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Sebelumnya, konsep privatisasi sektor pendidikan telah dilakukan oleh Amerika Serikat juga dengan mengubah bentuk universitas publik menjadi badan hukum dan memberikan wewenang otonomi pengelolahan. Tren otonomi universitas tersebut sebelumnya diterapkan di Amerika Serikat yang pada saat itu mengalami krisis ekonomi diantara tahun 1970-1980. Gerakan privatisasi di bidang – bidang publik dijalankan secara masif (utuh) di Amerika Serikat dikarenakan berkurangnya kapabilitas pemerintah Amerika Serikat untuk mengalokasikan kuota anggaran negara di sektor publik pada masa itu. Gerakan privatisasi tersebut mengakibatkan lonjakan biaya pendidikan di level pendidikan tinggi sebesar 1120% semenjak universitas di Amerika Serikat dijadikan badan hukum pada tahun 1970 hingga 2012. Gerakan ini mulai di ikuti oleh Indonesia pada tahun 2012 dengan disahkannya Undang – Undang tentang Pendidikan Tinggi . Pemerintah Republik Indonesia yang dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa kuota hibah pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagi Universitas – Universitas yang dinilai mandiri harus dikurangi karena kuota APBN harus disebar ke institusi pendidikan tinggi negeri di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, persaingan terbuka pendidikan tinggi juga diakomodir di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang mengizinkan universitas asing membuka program pendidikan sarjana maupun non-sarjana di Indonesia. Privatisasi pendidikan tinggi di Indonesia lahir dari kondisi yang serupa dengan kondisi di Amerika Serikat 40 tahun yang lalu, yaitu kekurangan anggaran untuk pengelolaan universitas publik yang menjadi awal komersialisasi universitas publik di AS. Padahal, kekurangan anggaran yang dialami oleh pemerintah Indonesia disebabkan oleh kinerjanya yang buruk, misalnya di dalam memaksimalkan potensi pajak dan politik anggaran yang masih berpihak pada inefisiensi birokrasi. Kepentingan ekonomi Negara-negara maju disinyalir berada di balik agenda liberalisasi pendidikan. Paling tidak ada tiga Negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari bisnis pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar. Di Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian juga dengan Australia, yang pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar. Tidak mengherankan tiga negara tersebut yang amat getol menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO.

Undang-undang Perguruan Tinggi tidak muncul secara tiba-tiba pada tahun 2012. Jika memperhatikan permasalahan serupa yang terjadi pada beberapa undang-undang sekitar tahun 2000 keatas, dapat dimengerti bahwa upaya untuk meliberalisasi berbagai sektor di Indonesia dimulai bersamaan dengan dimulainya reformasi, yaitu sekitar tahun 1998. Krisis finasial yang melanda Indonesia memang berhasil menciptakan momen sejarah untuk menggulingkan kekuasaan Soeharto, tetapi sekaligus munculnya masalah baru. Krisis financial memaksa Indonesia untuk berhutang kepada IMF, dimana IMF kemudian meminjamkan uang dengan syarat pemerintah harus menandatangani Letter of Intent (LOI), dimana IMF bersedia meminjamkan uang asalkan pemerintah mau membuat regulasi sesuai dengan saran mereka. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di Negara berkembang lainnya. Skema privatisasi dapat terlihat dalam dokumen IMF yaitu Letter of Intent tanggal 11 September, 19 Oktober, dan 13 November tahun 1998. Salah satu contoh isi dari LoI 13 November adalah sebagai berikut :

 

 “The masterplan for the restructuring and privatization of all state enterprises over the medium term, has been adopted and publicly released. The masterplan also provides for the review of the regulatory framework in the key privatized sectors

 

Stiglitz, sebagai orang yang pernah terlibat dalam penentuan kebijakan keuangan di Amerika sendiri mengakui bahwa Amerika melalui IMF dan World Bank memiliki skema privatisasi pada seluruh Negara berkembang di dunia. Sedangkan yang menjadi kritik, justru di negaranya sendiri skema privatisasi ini tidak diterapkan, dimana dominasi perusahaan-perusahaan asal Amerika tetap dikukuhkan agar tidak tersaingi oleh perusahaan dari Negara lain di negaranya sendiri. Skema privatisasi ini tidak lain merupakan upaya perusahaan multinasional dengan memanfaatkan intervensi Negara asalnya di organisasi internasional untuk merebut pasar sektor tertentu di seluruh dunia. Sebab privatisasi kurang lebih memiliki semangat neoliberalisme, yaitu meminimalkan peran pemerintah dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme persaingan pasar bebas. Padahal di Indonesia, kebutuhan yang menyangkut hajad hidup orang banyak seharusnya dianggap sebagai hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah, bukan justru dianggap sebagai pasar sehingga harus dikomersialisasi.

Nasib ini tidak hanya dialami oleh sektor pendidikan, melainkan juga sektor ketenagalistrikan melalui UU no 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikkan yang telah dicabut oleh MK pada tahun 2004, sektor migas melalui UU no 22 tahun 2001 yang telah berulang kali di judicial review di MK, dan sektor-sektor lain. Sehingga kita harus memandang bahwa pendidikan merupakan salah satu dari berbagai macam sektor yang diinginkan untuk diprivatisasi, sebab secara logis berhubungan dengan berbagai UU yang mengatur sektor lainnya. Upaya untuk melakukan privatisasi sektor pendidikan sudah terjadi bahkan sebelum lahirnya Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) melalui Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). RUU BHP disahkan menjadi UU BHP pada tahun 2009, dan langsung diajukan judicial review dan akhirnya dicabut oleh MK karena dianggap bertentangan dengan konstitusi pada tahun 2010.

Tidak sampai 2 tahun kemudian, muncul RUU PT yang secara konten memiliki roh yang sama dengan UU BHP, walau dengan berbagai macam perbaikan dan penghalusan pada pasal-pasalnya. RUU PT ini kemudian disahkan menjadi UU PT pada tahun 2012 dengan berbagai kritik dan kontroversi yang masih terus mengalir saat statusnya masih RUU. Hal ini semakin menegaskan bahwa pemerintah memang memiliki agenda tertentu untuk melakukan privatisasi sektor pendidikan, dimana dalam hal ini adalah pendidikan tinggi. Pendidikan merupakan kebutuhan bagi semua orang, sekaligus pasar yang menguntungkan bagi orang yang berniat melakukan bisnis sebagai lembaga pendidikan. Pergulatan politik dan kepentingan inilah yang melahirkan kontroversi pada UU PT.

Pengaruh Neoliberalisme dalam pendidikan tinggi tidak hanya menyebabkan privatisasi dan komersialisasi saja,bebrapa perdebatan tentang dampak sosial tentang pengaruh neoliberalisme dalam pendidikan tinggi terus bergulir. Pengaruh neoliberalisme dalam berbagai bidang kehidupan mengubah paradigma pengelolaan institusi pendidikan tinggi yang seharusnya bergerak untuk pelayanan publik menjadi berparadigma korporasi. Henry Giroux juga menilai bahwa pendidikan tinggi sedang mengalami krisis politik dan krisis legitimasi. Intelektual di universitas publik diposisikan sebagai pekerja yang berada dibawah sistem ekonomi dan dipengaruhi secara dominan oleh kebutuhan pasar, bukan lagi sebagai intelektual yang seharusnya menciptakan perubahanperubahan di bidang publik. Ini terjadi karena pendidikan tinggi publik mulai mengadopsi ideologi kapitalisme yang membuat mereka berjalan layaknya sebuah perusahaan ; meninggalkan trah historisnya sebagai pelayan publik dan pengaruhnya terhadap masyarakat yang demokratis.

Sistem ekonomi politik Neoliberalisme mendorong pendidikan yang menghamba pada kapital melalui komersialisasi pendidikan dan komoditas. Neoliberalisme juga mendorong Perguruan Tinggi untuk meletakan pendidikan sebagai suplay tenaga kerja terlatih yang siap di distribusikan untuk kepentingan pasar yang bermuara pada kepentingan pemodal. Logika neolibealisme pun sudah diamini secara sadar maupun tidak sadar oleh kalangan akademisi dan mahasiswa di Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Dunia kampuspun seolah berubah dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perusahaan. Selain itu,pendidikan Tinggi yang bercorak Neoliberalisme pun menimbulkan dampak yang sangat signifikan yaitu membuat mahasiswa agar patuh terhadap ideologi dan aparat ideologi negara yang ada dalam kampus tanpa boleh diperdebatkan,dunia Pendidikan Tinggi hanya berorientasi pada persaingan liberal dengan peningkatan akreditasi untuk dijadihkan salah satu dahli kenaikan biaya dan menjauhkan mahasiswa dari realitas sosialnya .

Melihat beberapa uraian tersebut tentunya kita harus juga menganalisa dampak sosial dari pengaruh neoliberalisme terhadap dunia pendidikan tinggi yang menyebabkan pola berfikir dan pola gerak mahasiswa semenjak pendidikan tinggi berubah wajah dengan pengaruh neoliberalisme. Mahasiswa pada beberapa tahun semenjak sistem pendidikan yang liberal semakin masif mulai kehilangan arah dalam memperjuangkan permasalahan – permasalahan normatifnya. Kegagalan gerakan mahasiswa dalam memperjuangkan permasalahan – permasalahan normatifnya bukan tanpa sebab, hal ini bisa kita lihat dalam kurun waktu 2013 – 2016 sontak hanya bertahan 1 tahun mereka berjuang memperjuangkan permasalahan normatifnya lewat Judicial Review Undang – Undang Pendidikan Tinggi . sejak kekalahan sementara dalam putusan Mahkamah Konsititusi pada tahun 2013 lalu tanpa ada evaluasi secara masif dan pembangunan gerakan secara berkelanjutan,gerakan mahasiswa seolah – olah mengaminin produk neoliberalisme yang secara sadar di buat oleh pemerintahan SBY – budiono yang di teruskan dan diaminin pada pemerintahan Jokowi – JK. Mahasiswa dan Gerakan Mahasiwa secara tidak sadar sudah mengamini logika yang menjadi desain kapitalisme global dimana logika kampus bagus secara wajar pula biaya pendidikannya mahal dan secara sadar maupun tidak sadar bahwa pendidikan hanya dijadikan komoditas kapitalisme dalam sirkulasi produksi . Awal tahun 2016 kita sering disuguhkan kembali nuansa perlawanan yang dilakukan gerakan mahasiswa intra kampus dan ekstra kampus dalam memperjuangan permasalahan – permasalahan normatifnya. Akan tetapi hal ini tidak jauh berbeda dengan perjuangan gerakan mahasiswa di era pasca orde baru tumbang. Esklusifitas mahasiswa dan gerakan mahasiswa yang masih meletakkan logika yang dibagun orde baru lewat Peraturan Menteri yang dikeluarkan Daud Yusuf tentang polarisasi gerakan mahasiswa intra kampus dan ekstra kampus yang diperparah dengan tidak mampunya menyampaikan akar permaslahan yang ada dalam dunia pendidikan itu merupakan akibat sistem kapitalisme yang secara sadar dipilih pemerintahan pasca orde lama tumbang hingga hari ini.

Bukankah kesenjangan kesejahteraan yang tercipta di Indonesia disebabkan oleh pilihan kita akan neoliberalisme sebagai ideologi jika dibandingkan dengan Pancasila?”. lalu mengapa kita kemudian tetap memilih memperkecil jarak kesenjangan – juga – dengan pola pikir ala neoliberalisme?”

“Kita ini dididik untuk memihak yang mana? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan?”

(W.S. Rendra, Sajak Pertemuan Mahasiswa)

Ikuti tulisan menarik Charis Subarcha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler