x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cahaya yang Memikat Manusia

Cahaya lembut yang menembus kegelapan langit yang luas membuat kita sejuk, damai, juga tepekur: lihatlah cahaya di langit ketika bumi senyap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

"It is during our darkest moments that we must focus to see the light."
--Aristotle Onassis

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam beragam keadaan, cahaya selalu menebarkan pesona ke sekelilingnya. Manusia terpukau oleh terangnya, terpikat oleh remang-remangnya, dan tercekam oleh ketiadaannya. “Ketiadaan cahaya hanya menyisakan kegelapan,” kata Reyna Pryde. Dalam kegelapan, manusia hanya mampu meraba—mungkin pula dicekam kegelisahan, kehilangan orientasi, dan sebagian barangkali sesak napas.

Sejak masa Yunani kuno, cahaya menarik perhatian para filosof. Meskipun terang benderang, cahaya penuh misteri. Bahkan di zaman modern sekalipun, manusia dihadapkan pada misteri perihal wujudnya: gelombang dan partikel. Dua yang satu, satu yang dua. Manusia modern dibenturkan pada realitas sub-atomik dan terbata-bata dalam ikhtiarnya menemukan jawaban.

Syahdan, di sekitar peralihan abad 10 menuju 11 Masehi, Ibn al-Haytham membuktikan bahwa cahaya berjalan lurus (dalam medium yang sama)—kelak Albert Einstein memberitahu kita bahwa dalam medium yang lebih padat, cahaya bergerak melengkung. Cahaya begitu penuh pesona, sehingga Ibn al-Haytham mempelajari dengan tekun ihwal cahaya, warna, bayangan, pelangi, dan fenomena optis lain yang melibatkan cahaya. Karya tujuh-jilidnya, Kitab al-Manazir, yang disertai bukti-bukti eksperimental, memberi kontribusi penting bagi pemahaman manusia mengenai cahaya.

Ketika Ibn al-Haytham membuktikan bahwa manusia melihat benda-benda bukan karena matanya memancarkan cahaya, seperti yang diyakini sejak masa Plato dan Ptolemius, melainkan menerima cahaya yang dipancarkan ataupun dipantulkan oleh benda, manusia kian menyadari peran cahaya. Terlebih ketika ia memelajari persepsi manusia tentang cahaya dan pengaruhnya terhadap psikologi manusia.

Mengapa remang cahaya yang dipancarkan batang-batang lilin menguarkan suasana sunyi, hening, kidmat? Mengapa cahaya berlebihan yang memancar tiba-tiba menciptakan keterkejutan?

Eksperimen Ibn al-Haytham menyiratkan betapa besar makna cahaya bagi manusia: ketika tak hadir cahaya, manusia tercekam dalam kegelapan. Cahaya memang penuh daya pikat. Ketika cahaya menebarkan terangnya, hilanglah kegelapan dengan sendirinya. Cahaya menembus kegelapan yang paling kecil sekalipun, dan begitu ia menemukan titik kecil itu, cahaya akan menebarkan terang seluas-luasnya—persis seperti yang dieksperimenkan oleh Ibn al-Haytham (beberapa abad kemudian, di Eropa Barat, Thomas Young melakukan eksperimen serupa).

Cahaya membuat kita terkejut ketika ia berkelebat sebagai kilat. Semburat cahaya pagi dari matahari timur membuat kita terpukau. Cahaya lembut yang menembus kegelapan langit yang luas membuat kita sejuk, damai, juga tepekur: lihatlah cahaya di langit ketika bumi senyap.

Di dalam pesonanya itu, cahaya menyimpan dualitas dalam dirinya—dualitas yang paradoksal. Cahaya adalah gelombang tetapi sekaligus juga partikel, dua karakter yang saling melengkapi—bagaikan Yin dan Yang, lelaki dan perempuan, siang dan malam. "Setiap momen terang dan gelap adalah keajaiban," kata Walt Whitman.

Radiasi elektromagnet, kata para fisikawan, cenderung berperilaku lebih menyerupai gelombang pada frekuensi rendah, dan cenderung seperti partikel pada frekuensi tinggi, namun tak pernah sepenuhnya kehilangan salah satu dari dua kualitas itu. Karakter gelombang dan partikel selalu hadir dalam porsinya masing-masing—dan karakter inilah yang kita jumpai tapi tidak terlihat secara kasat mata ketika kita menatap cahaya pagi atau malam.

Cahaya berlari paling cepat dibanding materi lain. Ia mampu melaju dengan kecepatan hampir 300.000 km/detik; dan betapa kita tidak menyadari bahwa di dalamnya tersimpan kekuatan. Ketika kita menyelam ke dunia nano (sepermilyar meter), tekanan cahaya itu sungguh bermakna—ke sanalah manusia tengah berburu, menuju alam subatomik yang tidak mudah dipahami namun diyakini menyimpan harapan besar bagi masa depan manusia.

Cahaya akan selalu menemukan jalan untuk memberi terang pada kegelapan. Cahaya akan menyembuhkan, seperti kata Jalaluddin Rumi: “Luka adalah tempat di mana Cahaya memasuki dirimu.” (Foto: cahaya bintang berputar; sumber: tempo/dailymail.co.uk) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB