x

Puluhan pengunjung berusaha bersalaman dengan Presiden Joko Widodo saat menghadiri kegiatan Perayaan Natal Nasional 2016 di Gedung Wale Ne Tou, Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara, 27 Desember 2016. Foto: Biro Pers Setpres

Iklan

Yoseph Samuel

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dakwah Kebudayaan Sebagai Senjata Melawan Radikalisme

Pidato Jokowi Menyejukan, Tetapi Masyarakat Butuh Lebih dari Sekedar Angin Sejuk!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kegiatan perayaan natal nasional tahun 2016 yang diselenggarakan di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara dan disiarkan di stasiun televisi, diselingi dengan agenda pidato Presiden Jokowi. Pidato yang disampaikan berisi ajakan untuk menghargai dan mengaplikasikan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila dalam interaksi antar masyarakat melalui sikap saling menghargai, menghormati, melindungi, mengayomi dan membantu karena kita adalah saudara sebangsa dan se-tanah air. Presiden juga dalam orasinya mengingatkan masyarakat untuk menghentikan ujaran kebencian, hasutan, fitnah dan caci maki baik di kehidupan nyata maupun di media sosial. Pidato tersebut tentu menyejukan telinga para pendengarnya, terlihat bahwa Presiden tanggap dengan situasi sosial dan lebih jauh lagi bisa bersimpati dan berempati khususnya kepada kaum-kaum minoritas.

Bercermin dari situasi sekarang pidato tersebut bisa jadi hanya kenang-kenangan bagi masyarakat Indonesia dan Sulawesi Utara khususnya apabila peristiwa-peristiwa radikal dan pola pikir konservatif fundamentalis yang seringkali kontra dengan toleransi, demokrasi dan kemanusiaan masih merajalela di Negara ini. 

Dalam menyambut penghujung tahun 2016 ini saja tentu masih terlintas di benak kita aksi meredaksi video yang dilakukan Buni Yani yang memicu terjadinya demonstrasi 4 November 2016 yang berakhir bentrok, demonstrasi 212, Ahmad Dhani yang dilaporkan atas dugaan menghina Presiden, penangkapan beberapa tokoh yang diduga akan melakukan makar (termasuk lagi-lagi Ahamad Dhani), penetapan status tersangka Ahok, peledakan bom di vihara di Singkawang dan gereja di Samarinda yang memakan korban Jiwa anak kecil, penangkapan pengantin bom panci di Bekasi, penangkapan teroris di Tangerang Selatan, penangkapan teroris di Jatiluhur (diduga berafiliasi dengan ISIS dan akan menjalankan aksinya pada saat tahun baru), pembubaran ibadah oleh sekelompok ormas di Sabuga Bandung, keluarnya Fatwa intoleran dari MUI yang berakibat sekelompok ormas melakukan aksi menyapu atribut-atribut natal di tempat-tempat umum dan yang baru-baru ini habib Rizieq dilaporkan ke kepolisian karena menyebut "..kalau tuhan beranak bidannya siapa...".

Rangkaian peristiwa-peristiwa radikal yang didasari pola pikir konservatif fundamentalis tersebut terjadi hanya dalam tempo bulanan, belum lagi kalau kita mau mengingat peristiwa bom bali ditahun 2002, 2005 dan bom di JW Marriott Jakarta ditahun 2009. Berdasarkan serangkaian peristiwa tersebut terlihat bahwa masalah radikalisme, konservatif dan fundamentalisme adalah masalah serius untuk Negara ini, yang mana masalah tersebut tidak hanya bisa diselesaikan melalui orasi saja. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya sangat mengapresiasi tindakan para aparatur penegak hukum menangkap dan bertindak tegas kepada para teroris dan pelaku-pelaku radikal lainnya sehingga bisa meminimalisir timbulnya korban jiwa dan luka, tapi jangan sampai kita tersanjung dan seolah-olah mendewakan tindakan represif yang berhasil diajalankan oleh aparatur penegak hukum.

Ada pepatah berkata "tak ada api, masakan ada asap?" artinya selalu ada sebab dari sebuah kejadian. Begitu pula dengan tindakan-tindakan radikal, konservatif, fundamentalis yang kontra demokrasi, toleransi dan kemanusiaan yang berulang-ulang terjadi di Negara ini pasti ada penyebabnya. Penyebab tersebut bisa berasal dari dalam (beberapa contoh: kurangnya pengetahuan yang benar atas ajaran agamanya sendiri dan kebudayaan di Negara ini, terbentuknya sikap anti simpati dan empati) maupun dari luar (beberapa contoh: dakwah/penyebaran ajaran agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama yang hakiki, berada di lingkungan yang terkurung dengan pola pikir  konservatif). Dari sekian banyak faktor-faktor tersebut saya melihat faktor yang paling krisis adalah faktor penyebaran ajaran agama yang dengan mudah disalahgunakan demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Melalui ajaran agama yang disalahgunakan tersebut masyarakat dengan mudah pula menerimanya karena dianggap diutarakan oleh orang yang dipandang sebagai pemimpin umat sehingga adanya perasaan harus menerima bulat-bulat. 

Hal-hal seperti itulah yang membuat seringkali masyarakat kita terpecah dan intoleran dengan perbedaan yang ada (agama, suku, budaya dan ras) dan orang-orang yang sudah terikat dengan pola pikir konservatif, radikal fundamentalis karena menjadi korban dari penyebaran ajaran agama yang menyimpang dari ajaran yang hakiki tersebut akan lebih mudah lagi untuk dijadikan "alat" entah untuk kegiatan terorisme, kegiatan kudeta atau makar. Hal itulah yang harus dengan sungguh-sungguh diantisipasi dan mulai dikaji oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif Negara ini sampai ke akar-akarnya agar kejadian-kejadian serupa bisa semakin diminimalisir tidak hanya untuk tempo sekarang tapi sampai ke masa yang akan datang juga. 

Karena berdakwah adalah kegiatan yang paling krisis dan dengan mudah dapat disalahgunakan untuk mencuci pikiran masyarakat maka selain tindakan-tindakan represif (penangkapan teroris dan para pelaku kejahatan lainnya yang didasarkan konsep radikal, konservatif dan fundamentalis) yang sudah dilakukan sangat baik oleh aparatur penegak hukum  pemerintah juga harus bekerja sama menjalankan kegiatan "dakwah kebudayaan" (solusi dari Bilver Singh dan Abdul Munir seorang intelektual peneliti radikalisme di Indonesia). kegiatan tersebut tentu akan memakan proses lama karena hasil yang didapatkan pun untuk meredam radikalisme dalam jangka panjang artinya jika kita berhasil melakukan dakwah kebudayaan tersebut maka dampak meminimalisir tindakan-tindakan radikal intoleran dan fundamentalis  tersebut tidak hanya terjadi dalam hitungan tahunan tapi harapannnya puluhan tahun bahkan seterusnya.

Lalu, bagaimana cara pemerintah saling bekerja sama dalam melaksanakan dakwah kebudayaan tersebut? Berikut 4 hal yang dapat dilakukan:

  1. Pemerintah harus satu suara terlebih dahulu dan kemudian berkomitmen bahwa dakwah kebudayaan akan dijadikan kegiatan yang berkelanjutan;
  2. Pemerintah khususya kementrian agama dan kementrian pendidikan dapat bekerjasama menyusun suatu kurikulum yang mana dakwah kebudayaan menjadi substansi didalamnya (misalnya: penafsiran dan pengimplikasian pancasila dan bhineka tunggal ika secara benar, termasuk mengontrol ajaran-ajaran keagamaan agar penerapannya sesuai dengan tafsiran-tafsiran yang hakiki, toleran dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan);
  3. Dalam menyusun kurikulum tersebut, legislatif dapat dilibatkan juga dalam hal adanya kebutuhan mengeluarkan produk-produk hukum yang bisa menjadi landasan konsideran menimbang atau mengingat bagi kegiatan dakwah kebudayaan ataupun sebagai landasan sebagai diberlakukannya kegiatan dakwah kebudayaan tersebut secara nasional;
  4. Dalam memberlakukan dakwah budaya tersebut harus ada kontrol berkala dari pemerintah untuk dilakukan evaluasi dan tindakan tegas atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atas tidak terlaksanannya dakwah kebudayaan tersebut dengan baik.

Secara rasionalitas segala tindakan yang dilakukan manusia berasal dari struktur pemikiran atau pemahaman dalam pola pikirnya sendiri. Oleh karena itu jika kita mampu menyelesaikan masalah tidak hanya dari batangnya saja (tindakan represif yang sudah berjalan dengan baik) melainkan hingga ke akarnya (dakwah kebudayaan yang belum konkrit terlaksana) niscaya para penegak hukum tidak akan banyak melakukan tindakan represif (penangkapan-penangkapan) bukan karena kecolongan melainkan dalam benak  masyarakat Indonesia sudah tertanam nilai-nilai keagamaan yang menjunjung toleransi dan kemanusiaan sembari mengedepankan nilai-nilai pancasila, bhineka tunggal ika dan demokrasi yang sekaligus juga tercermin dalam tindakannya sehari-hari. Bila hal tersebut bisa terjadi maka pidato natal nasional 2016 Presiden Jokowi akan menjadi kenangan yang indah karena nyata implikasinya.

Ikuti tulisan menarik Yoseph Samuel lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler