x

Iklan

ibnu Burdah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Obituari Zaini Dahlan: Mendung di Atas UIN Sunan Kalijaga

Zaini Dahlan meninggal pada 14 Januari 2016

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini, Sabtu, 14/1/2017, salah satu putra terbaik UIN Sunan Kalijaga dan UII berpulang ke hadirat Allah swt. Beliau adalah mahasiswa, dosen, dan rektor dua periode di kedua universitas besar tersebut. UII adalah universitas Islam tertua di Indonesia dan UIN Sunan Kalijaga adalah universitas Islam negeri tertua di Indonesia. Jasa beliau sangat besar bagi kedua universitas tersebut.

***

Zaini Dahlan dilahirkan dan dibesarkan di Temanggung, karisidenan Kedu, Provinsi Jawa Tengah. Ia lahir dari keluarga santri tradisional yang miskin.  Ia diasuh oleh budenya. Sulit membayangkan, anak ini kemudian menjadi seorang pemimpin dua lembaga besar yang sukses, sekaligus menjadi pejabat tinggi yang berkepribadian kuat dan disegani. Ia hidup di lingkungan pedesaan yang tentu sangat minimal fasilitas untuk mengembangkan diri terutama dalam pendidikan formal atau keterampilan. Kegiatan di waktu kecilnya yang utama adalah bekerja di sawah. Oleh karena itu, ia mengatakan suka untuk pergi ke sekolah. Alasannya adalah bukan untuk mencari ilmu atau didorong oleh cita-cita tinggi melainkan sekedar untuk menghindari kerja  di sawah. "Sebab kalau di rumah saja saya pasti disuruh ke sawah", kenang Zaini.  Kehidupan pedesaan itu menurutnya berlangsung datar-datar saja, dan berjalan sangat lambat ibarat berjalannya kepompong. Tak banyak yang melecutnya untuk mengembangkan diri. Tak terbayang olehnya untuk menekuni bidang ilmu tertentu secara serius atau menjadi ini dan itu, apalagi menjadi rektor atau pejabat tinggi di suatu departemen. Lingkungan itu sepertinya juga tak mendorongnya untuk memiliki sebuah cita-cita yang besar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pergi ke sekolah, suatu kegiatan yang disukainya itu, sebenarnya juga bukan kegiatan yang menyenangkan jika kita mengukurnya dengan keadaan sekarang. Ia harus berjalan kaki hingga sekitar enam kilometer hampir setiap hari dari rumah menuju sekolah itu tanpa alas kaki. Kehausan, kepanasan, dan keletihan akibat terik panas matahari di tengah-tengah persawahan nan luas atau kehujanan tanpa ada tempat berteduh kecuali pohon menjadi menu setiap hari. Tentu, ia tak membawa bekal makanan atau minuman ke sekolah. Ia tentu juga tidak mendapati warung-warung di jalan itu untuk sekedar tempat istirahat atau membeli air untuk melepaskan dahaga. Ia betul-betul ditempa oleh kehidupan masa kecilnya yang tak mudah.

Zaini sepuh merekam dengan baik dan mengenang kehidupan itu sebagai bagian dari fase hidupnya yang begitu indah. Konon, ia masih menghafal dengan baik setiap sudut jalan yang dilaluinya yang berada di antara dua pegunungan itu, termasuk pohon-pohon asem yang sering ia gunakan untuk berstirahat dan berteduh saat kepanasan atau kehujanan. Ia juga masih mengingat dengan baik letak sebuah pohon asem tempat ia meminum air gentong saat kehausan. Di bawah pohon itu tersedia gentong berisi air untuk diminum kendati kondisi air itu tidak bersih. Ia mengenang, sebelum meminum air dari gentong itu, ia terlebih dahulu harus membuang jenthik-jenthik di dalamnya dengan siwur yang sudah tersedia. "Akan tetapi, itu semua sangat indah untuk di kenang sekarang ini, bahkan lebih indah daripada masa-masa yang paling indah", tutur Zaini sepuh kepada penulis.

Kesehariannya, Zaini kecil adalah seorang santri yang menjalani hidup berdasarkan prinsip-prinsip kesantrian kampung secara ketat. Menjalani hidup apa adanya, bersabar terhadap ujian, dan taat menjalani ibadah-ibadah mahdhah.  Ia dibesarkan dalam lingkungan santri tradisional yang sangat kuat dalam memegang tradisi keberagamaan. Masa kecilnya juga diwarnai dengan pengalaman belajar kitab-kitab kuning, sebutan untuk kitab-kitab klasik yang diajarkan kepada santri pondok pesantren atau madrasah salaf. Hal itu memang tak banyak membantunya untuk mendorong untuk memiliki kemauan dan cita-cita yang tinggi, sebab semuanya, menurut pikirannya, seolah sudah selesai. Semua persoalan sudah terjawab dalam kitab kuning. Hal itu semakin melengkapi kehidupan di kampungnya yang ia katakan berjalan "sangat lambat".

Tentu, tak seorang pun mengira, si anak ini kelak menjadi rektor empat periode yang sukses, masing-masing dua periode di dua universitas yang termasuk terbesar dan tertua di Tanah Air. Dua universitas itu adalah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (baca IAIN Sunan Kalijaga) yang merupakan universitas Islam negeri tertua yang ada di Tanah Air, dan Universitas Islam Indonesia (UII) yang merupakan universitas swasta pertama di Tanah Air. Bukan itu saja, Pak Zaini juga sempat menjadi pejabat tinggi sebagai salah satu Dirjend di Departemen Agama, Republik Indonesia. Dirjend Bimbaga saat itu membawahi banyak sekali direktorat termasuk haji dan pendidikan Islam yang berarti membawahi beberapa Direktorat Jenderal  yang lain jika dilihat dalam struktur organisasi Kemenag sekarang.

Lebih penting lagi, "anak" itu mencatat prestasi luar biasa dalam tugas-tugasnya. Betapa tidak, ia mulai menjadi rektor ketika dua universitas yang dipimpinnya itu dalam situasi yang bisa dikatakan mendekati kritis. Ketika ia mulai memimpin IAIN, kondisi universitas itu sungguh memprihatinkan akibat keterpecahan yang mendalam antara elemen-elemen di universitas baik dosen maupun mahasiswanya serta upaya keras pemerintahan Orba untuk melakukan penetrasi mendalam terhadap kehidupan kampus. Ia mengisahkan penugasan awalnya sebagai Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 1976 dengan ungkapan seperti "dilemparkan ke dalam bara api". Pada saat-saat awal menjabat, ia sering mengeluhkan di dalam hati atas sikap teman-temannya di Jakarta yang menugaskannya di arena yang sangat berat itu kendati kemudian ia dapat memetik hikmah yang luar biasa dari tugas berat itu di saat usia senja.

Tantangan yang dihadapinya di awal memimpin IAIN memang tidaklah kecil. Baik dosen maupun mahasiswa memiliki resistensi sangat tinggi terhadap kepemimpinannya. Sebab, ia bagaimanapun dicap sebagai orang kiriman Jakarta kendati Pak Zaini adalah alumni pertama sekaligus seorang dosen yang penugasan pertama kalinya juga di IAIN Sunan Kalijaga. Dikisahkan, hampir setiap saat ia dikata-katai dengan macam-macam terutama oleh sebagian mahasiswa aktifis baik di siang hari maupun malam hari. Dari catatan Supardi dan Herien Priyono, rektor Zaini sering dipermainkan anak-anak mahasiswa dengan misalnya mereka mengatakan " tu wa ga tu wa ga" ketika ia berjalan kaki di kampus. Penulis juga mengkonfirmasi kebenaran  pengalaman pahit Pak Zaini itu, dan ia tersenyum tanda mengiyakan. Itu tak terbatas pada siang hari saat ia bertugas. Akan tetapi, itu juga terjadi pada malam hari. Tak ada ruang dan waktu yang membuatnya bisa beristirahat dengan tenang.

Zaini sepuh mengisahkan hal serupa kepada penulis saat melakukan wawancara dengannya. Ia begitu antusias ketika menceritakan masa-masa pahit dalam kehidupannya terutama ketika memimpin IAIN Sunan Kalijaga pada saat-saat awal. "Sering setiap akan tidur, berbagai peritiwa itu muncul dalam ingatan. Dan, kenangan itu begitu indahnya. Saking indahnya, saya sering berpikir, inikah surga yang dijanjikan Allah itu. Sesuatu yang pahit dan memerlukan perjuangan besar untuk dilaluinya, ternyata justru begitu indah untuk di kenang. Itukah surga yang dijanjikan Allah?", tutur Zaini kepada penulis dengan perasaan yang penuh.

Rumah dinas Zaini sebagai rektor di IAIN kebetulan bersebelahan dengan asrama mahasiswa yang sebagian besar ditinggali para aktifis yang sangat aktif. Pak Zaini sering mendengar mahasiswa saling berbisik ketika melihat Pak Zaini melintas tak jauh dari mereka. Dikisahkan saking beratnya ujian itu, ia sering melakukan "ritual" thawaf di kampus setiap habis tengah malam sehabis menunaikan solat tahajut untuk memohon pertolongan Allah atas beratnya ujian yang diberikan. "Saya terinspirasi dengan upaya kakek Nabi untuk melakukan thawaf di Ka'bah memohon pertolongan Allah ketika masalah yang dihadapi terlalu berat untuk ditanggung, yaitu penyerangan Ka'bah oleh tentara Abrahah menggunakan pasukan bergajah. Dengan sungguh-sungguh memohon kepada Allah itulah, permasalahan dapat teratasi." Tutur Zaini kepada penulis dengan mengenang. Akan tetapi, upaya ruhaniyah sang rektor ini pun juga tak luput dari cemoohan dan suara sinis sebagian mahasiswa aktifis. Mereka semakin ganas dalam sikapnya terhadap Zaini. Pak Zaini mengenang seperti ini:

"Saya dengar rektor lama itu sampai tidak berani masuk kampus dengan mobil dinasnya, karena begitu tiba, segera diburu mahasiswa dionyo-onyo begitu. Saya juga kalau datang, mereka segera mengejek saya dengan mengabai-ngabai langkah saya seperti orang mengabai-ngabai orang baris berbaris:  tu.. wa ...ga.. pat..tu.. wa.. ga. Pokoknya, kesannya liar sekali mereka itu. Pahitnya, saya ini baru tiba dari lingkungan birokrasi yang mapan, belum terbiasa dengan lingkungan manusia seperti itu. Kadang, mahasiswa berteriak, hai Zaini...Zaini. Saya hampir sulit percaya bahwa ini adalah kampus IAIN tempat saya belajar dulu, beda sekali".

Supardi dan Herien Priyono mendeskripsikan dengan sangat baik mengenai beratnya ujian Zaini saat awal menjadi rektor di IAIN:

"Pagi hari, disambut dengan demo dan pamflet-pamflet yang keji. Pokoknya, tiada hari tanpa demo. Sore hari, di rumah pun dia mendengar kasak-kusuk mahasiswa yang mengejeknya. "Mereka kebetulan ditempatkan di asrama belakang rumah Rektor" katanya jengkel. Ini semua menyebabkan  telinganya harus menderita batin 24 jam. Suasana ketenangan kampus baru sedikit nyaman ketika lepas pukul 01.00 dini hari. Setiap kali setelah selesai shalat tahajut itulah Zaini tawaf keliling kampus."

Rektor Zaini menyadari benar keadaan dirinya. Ia seolah menjadi simbol musuh bersama dari anak-anak mahasiswa. Ia merasa seperti berada di sarang singa dan satu-satunya mangsa yang ada di tempat itu adalah dirinya. Celakanya, hampir tak ada yang melindunginya di kampus itu. Ia merasa prihatin, perilaku liar, tak punya hormat kepada orang tua, dan menjurus brutal itu justru dilakukan para mahasiswa di perguruan tinggi Islam. Ia sungguh terkejut dengan keadaan di tempat belajarnya dahulu itu. Membaca do'a Zaini saat berjalan keliling/bertawaf di kampus setiap lepas tengah malam sehabis solat tahajut sungguh bisa merasakan keperihan batin yang menderanya saat itu. Doa itu seperti iqtibas dengan doa kakek Nabi saat menjelang peristiwa besar yaitu penyerangan Ka'bah oleh pasukan Gajah:

"Ya Allah, IAIN ini milik-Mu. Islam ini karunia-Mu. Tapi dalam keterjepitan seperti ini, pastilah akan sedikit sekali yang akan bisa hamba kerjakan. Tanpa pertolongan dan petunjuk-Mu ya Allah, entahlah akan seperti apa jadinya kami semua ini. Jadi, hamba serahkan saja ini semua kepada-Mu, karena tak ada tempat yang lebih baik lagi untuk berserah diri kecuali hanya kepada-Mu."

"Kalau sudah pasrah-pasrahan begitu hati saya jadi tenang. Apalagi, ketika itu saya masih sendirian. Anak istri masih di Bandung, belum bisa dipindah. Tanpa bersandar kepada yang di atas, saya bisa mati berdiri tercekam oleh perasaan sendiri dan terasing". Sebab Zaini merasa benar-benar sendirian. Dosen-dosen sudah terpolarisasi sedemikian rupa dan hubungan antarkelompok diwarnai ketegangan yang mendalam."

Yang membuat Zaini benar-benar tidak mengerti dengan para mahasiswa itu adalah sebuah peristiwa yang hampir saja membawa mereka dan para aparat keamanan (gabungan polisi, korem dan danrem) kepada tragedi berdarah. Para mahasiswa melempari ibu-ibu dharma wanita dengan batu. Mereka adalah dharma wanita atau istri-istri aparat kemanan. Perilaku tak patut itu adalah akibat kebencian mereka yang begitu dalam terhadap orde baru khususnya golkar dan tentara.  Bagi mereka, apa pun yang terkait dengan Orde Baru, tentara, apalagi golkar adalah musuh "ideologis" mereka. Karena itu mereka pun bertindak terhadap para ibu-ibu itu sebagaimana bertindak terhadap musuh mereka.

Zaini tak habis pikir, bagaimana mahasiswa tega melakukan itu padahal menurutnya dalam kondisi perang sekalipun ada etika yang harus dijaga dalam ajaran Islam. Salah satunya adalah tidak membunuh atau menyakiti perempuan. Peristiwa itu hampir saja menjadi tragedi berdarah sebab aparat sudah habis kesabaran dan mereka memegang senjata. Jika para tentara orde baru itu membunuh apalagi para demontran aktifis, tentu seperti membunuh musuh dalam perang. Itu bukanlah suatu masalah bagi mereka. Sementara para mahasiswa aktifis juga enggan surut.  Mereka tetap ngotot tak mau mengalah sedikit pun. Situasi itu ia gambarkan:

"Waktu itu, saya baru pulang dari tugas studi banding ke Timur Tengah dan Amerika. Lalu datang telegram yang meminta saya supaya segera pulang ke Yogya. Saya pikir ini sumbernya kasus sumir sebenarnya, tapi bisa menimbulkan kegawatan yang tidak main-main. Ini soal bedil dan emosi. Buat tentara, nembak orang adalah soal biasa. Sementara bagi mahasiswa yang salah mongso heroiknya, itu juga sama konyol. Beruntung waktu itu Sri Sultan HB IX dengan pesona wibawanya yang penuh-bisa meredam emosi kedua belah pihak".

Keprihatinan itu semakin bertambah dengan kenyataan, di tingkat dosen perasaan permusuhan dan kebencian dirasakan sangat kuat. Dosen benar-benar terbelah. Menurut rektor Zaini, sangat sulit untuk membangun kampus dalam suasana seperti itu. Ia sama sekali tak bisa membuat tim apa pun yang tidak menyebabkan suatu kelompok tidak tersakiti. Lebih parah lagi, sebagian dosen diceritakan tak jarang memanfaatkan mahasiswa sebagai alat untuk kepentingan mereka yang sangat sempit. Mereka seperti tak memperdulikan akibat-akibat yang berat yang bisa menimpa anak-anak didik mereka. Egoisme kelompok saat itu begitu besarnya.

Rektor Zaini berupaya memahami kedaaan itu. Tentu, hatinya teriris. Jiwanya perih. Akan tetapi, ia terus berupaya menumbuhkan empati yang dalam kepada orang-orang yang terus memusuhinya itu. Berbekal tempaan derita hidup yang ia lalui di saat kecil dan awal sebagai dosen, serta pemahamannya yang mendalam terhadap ilmu-ilmu keadaban dan keislaman, ia merespon para mahasiswa itu dengan jiwanya yang teduh dan sikapnya yang tenang. Kenang Zaini:

"Tapi kelak setelah saya selidiki, saya jadi kasihan pada anak-anak ini. Mereka ini ternyata hanya menjadi alat partai, mereka hanya pion, dan tersulut kebenciannya karena dibakar orang lain. Akhirnya, setiap kali saya menghadapi kekasaran mereka, cara penyikapan saya sudah lebih netral. Hati mereka itu sebenarnya belum tentu jelek, mereka itu korban situasi."

Zaini mengakui, perasaannya sangat perih dan pedih saat menghadapi kenyataan sepahit itu. Bagaimanapun ia adalah manusia biasa. Apalagi, ia baru saja menjabat di birokrasi yang sangat mapan. Ibaratnya ia tinggal memberi komanda, komando apa saja, maka semuanya akan berjalan persis seperti apa yang ia inginkan. Itu sangat berbeda dengan keadaannya saat memimpin di IAIN. Ia mengenang "Memang pada saat getirnya cobaan itu sudah lewat, kita bisa bermanis-manis mengenangnya. Tapi, pada saat kita sedang menghadapinya, sakit bukan main. Apalagi kalau kita salah dalam cara menyikapinya".

Beratnya ujian yang diterimanya terutama dari para mahasiswa aktifis ternyata tak membuatnya patah arang.  Bagi seorang yang dibesarkan dalam tradisi kesantrian yang kuat, tak ada tempat bergantung yang benar-benar bisa diharapkan dan membuat jiwa kita tenteram kecuali kepada Allah SWT. Sangat jarang terdengar memang, tetapi ini benar-benar terjadi. Rektor Zaini menjalani thawaf keliling kampus setiap tengah malam untuk memohon kepada Allah SWT agar mampu dan dapat mengatasi cobaan yang dihadapinya. Teringat olehnya ketika sepulang dari thawaf pada suatu hari. Ia melihat para aktifis yang tinggal di mes bersebelahan dengan rumah dinasnya masih pada belum tertidur. Mereka melihat Zaini yang baru pulang dari thawaf keliling kampus. Mereka bergumam sambil mengejek dengan mengatakan, manyun. Ketika penulis menceritakan ulang peristiwa itu, Pak Zaini justru tampak mengenang dengan penuh kebahagiaan, dengan senyuman. Deretan peristiwa itu, katanya kepada penulis, justru memberikan arti yang begitu dalam di usia senjanya sekarang ini.

Hati Zaini tentu sedih mengalami hal semacam itu dari orang-orang yang dianggapnya sebagai anak-anak sendiri. Akan tetapi, jiwanya sangat kuat menghadapi setiap ujian: "Ya Allah. Semoga engkau maafkan mereka, dan engkau anugerahi hamba kesabaran. Sebenarnyalah mereka adalah anak-anak yang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya", doa rektor Zaini saat berkeliling kampus dan saat memperoleh perlakuan kurang beradab dari para mahasiswa.  Pada saat itu pun, ia tidak merasakan dendam, bahkan jiwanya telah mampu melewati rasa sakit itu untuk kemudian mendo'akan anak-anak yang bersikap kasar kepadanya itu.

 "Bahkan, anak-anak yang bersikap seperti itu justru paling aktif meminta fasilitas kepada saya ketika saya menjabat dirjend. Ada juga yang meminta maaf. Ada juga yang menjadi seorang guru besar di salah satu universitas di Sumatera Utara, ketika saya datang pasti ia menemui saya dan mengatakan, apa yang Bapak perlukan selama di sini?", tutur Pak Zaini kepada penulis yang tenggelam mendengar kisah "heroik"nya.

Itulah sosok Zaini Dahlan. Ia tak hanya memiliki kesabaran berlapis, tetapi ia juga melakukan hal-hal besar yang sangat bermanfaat bagi penyelamatan dan pembangunan institusi. Pak Zaini bekerja keras untuk membangun saling kepercayaan antar elemen di kampus, mendengar dan menyerap aspirasi para mahasiswa, dan membangun komunikasi dengan sangat elegan dengan berbagai pihak.  Tak kalah penting, ia juga melakukan kerja keras spiritual (mujahadah) yang tak main-main untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Adakah rektor semacam ini di universitas-universitas Islam kita baik negeri maupun swasta sekarang ini?  Inilah barangkali yang membuat Zaini memiliki kekuatan hati dan pikiran untuk menjalankan tugas-tugasnya yang terlalu berat saat itu dengan keyakinan dan hati yang mantab.

Tentu, hal itu adalah pelajaran sangat-sangat berharga bagi para pemimpin di lingkungan UIN Sunan Kalijaga dan universitas yang lain. Tugas kepemimpinan adalah tugas teramat besar. Oleh karena itu, mereka tak hanya memerlukan upaya pikiran dan keilmuan untuk mengelola, memimpin, dan membangun lembaga besar ini, tetapi juga memerlukan upaya ruhaniyah yang sungguh-sungguh. Sungguh, itu bekal yang tak bisa diremehkan apalagi pada saat-saat mereka harus menghadapi tekanan lahir batin yang begitu menghimpit.

Tak berlebihan jika orang-orang yang pernah bersama Pak Zaini baik sebagai kolega, bawahan, mahasiswa, maupun sopir, sangat mengagumi Pak Zaini. Kesabaran dan ketenangan Pak Zaini menjadi inspirasi. Kata-katanya- sekalipun tak banyak bicara-menciptakan keteduhan, membuat orang lain merasa disapa, dihargai, dan didorong untuk melakukan hal-hal yang terbaik di dalam hidupnya. Tak sedikit mantan mahasiswa yang sangat memusuhinya pun sebab ia dipandang sebagai orang orde baru, justru kemudian meminta maaf dan membangun hubungan silaturahmi yang penuh kekeluargaan dengan Pak Zaini dan keluarga.

Bahkan, seorang mahasiswa aktifis dikisahkan pernah akan melakukan protes kepadanya sebagai rektor. Rektor Zaini menerima anak itu di ruangannya dengan hati dan tangan terbuka. Anak itu disapa dengan kata-kata lembut khas Zaini "ada apa?" yang  datang dari kedalaman hatinya, ditepuk bahunya dengan rasa kasih sayang seperti seorang bapak kepada anaknya yang sedang gundah. Setelah diperlakukan seperti itu oleh sang rektor, mahasiswa itu ternyata tidak jadi menyampaikan tuntutannya. Ia terkesan dengan sikap rektor yang sama sekali berlawanan dengan gambarannya selama ini.  Anak itu pun keluar teratur dari ruangan rektor dengan lidah yang kelu yang membuat teman-temannya menyorakinya sedemikian rupa. Berikut adalah kesaksian orang dekat Pak Zaini yang mengaku menjadi wirausahawan sukses berkat nasihat dan bantuan Pak Zaini:

"Juga pernah ada mahasiswa berdemonstrasi dan pentolannya yang nampak galak itu asal Batak diijinkan masuk menemui rektor. Sampai di dalam, sang pentolan itu mendadak menjadi "demam" dan duduk manis setelah bahunya ditepuk dengan halus layaknya seorang Bapak menepuk bahu anaknya.  Emosi anak Batak itu urung meledak. "Duduklah, apa yang ingin kamu sampaikan" kata Pak Zaini dengan tenang. Akhirnya, sang pentolan demo itu justru keluar dan menjadi sasaran olok-olok pasukannya dan disoraki sebagai penakut".

 

Berikut beberapa komentar dan catatan tentang Pak Zaini dari beberapa orang yang sudah mengenal baik Pak Zaini. Testimoni ini disampikan kepada penulis dalam wawancara pada bulan November 2013.  Beberapa komentar dari sumber tertulis juga ditambahkan dalam bagian ini:

1.Prof. Dr. Taufiq Ahmad Dardiri, SU (Mantan Dekan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Guru Besar Sastra Arab, Ketua Umum IMLA, pernah menjadi asisten dan kolega Zaini Dahlan)

"Pak Zaini itu sangat-sangat kebapakan. Selalu fresh lahir dan batin. Sangat tenang menghadapi masalah dan apresiatif kepada siapapun. "Monggo dek", kata Pak Zaini yang selalu menyapa saya terlebih dahulu ketika bertemu. Full senyum, pokoknya surgawi banget hidup Pak Zaini itu. Yang tak kalah penting, Pak Zaini itu masih sangat produktif berkarya secara akademik meskipun Pak Zaini sudah masuk usia yang sangat senja. Lihat itu terjemahan Al-Qur'an 30 Juz, tafsir surat-surat pendek terus mengalir dari tangannya yang sudah sepuh. Budaya tulis Pak Zaini itu juga sangat kuat. Pak Zaini menyampaikan khutbah nikah untuk anak saya saja ya ditulis begitu indah dan sastrawi. Dan tulisan itu kemudian ditinggal untuk kami. Pak Zaini juga termasuk orang awal dalam menabur benih-benih bahasa dan sastra Arab di UIN Sunan Kalijaga. Waktu memberikan sambutan-sambutan, Pak Zaini sering menggunakan bahasa Arab yang indah. Pak Zaini termasuk orang yang sangat komit terhadap upaya memasyarakatkan bahasa Arab di Tanah Air".

 

2.KH. Syakir Aly (Mantan dekan Fakultas Adab, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Diponegoro)

"Aspek kepemimpinan Pak Zaini itu sangat menonjol, memiliki kepribadian dan sikap yang kuat, serta tutur katanya begitu bijak. Yang luar biasa dari Pak Zaini itu, Pak Zaini itu hafal nama semua dosen, semua karyawan di Fakultas, sampai kepada tukang nyapu. Dan ketika bertemu dengan mereka, Pak Zaini pasti menyapa terlebih dahulu dan menyebut nama. Itu kan sesuatu yang luar biasa, gak sembarang orang mampu melakukannya. Bahkan, sikapnya sama kepada siapa pun, tidak membeda-bedakan orang. Dengan kepribadian seperti itu, tak heran ketika ada seorang tokoh (dosen vokal) ingin menemui Pak Zaini untuk menyampaikan protes keras tentang suatu masalah. Ya tetapi, sampai di dalam ia tiba-tiba menjadi "loyo" sendiri karena sikap Pak Zaini. Pak Zaini hanya bertanya "ada apa?" dengan lembut dan kebapakan. Pak Zaini itu juga memiliki kemampuan yang hebat untuk melancarkan birokrasi-birokrasi yang mandek, menata manajemen yang semrawut, dan meredam saling kebencian dan permusuhan.  "Lawan" maupun "kawan" dalam politik- saat IAIN sedang panas-panasnya-, pun tetap sangat hormat kepada Pak Zaini. Yaa Pak Zaini itu kan anak angkat dari Kiai Mandzur, salah seorang adik kiai tersohor di Parakan Bamburuncing. Alkisah ada seorang "pendekar" yang juga tokoh mahasiswa akan melakukan demonstrasi kepada Pak Zaini, lalu ia matur kepada seorang kiai atas rencananya itu. Yaa jawaban kiai itu, ojoo, Zaini ki anakku".

 

3. Dr. Sukamta Said, MA (Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga)

"Kalau Pak Zaini itu orangnya kalem dan sangat disiplin dengan dirinya termasuk dalam hal menjaga kesehatan. Yang sering saya lihat ketika kami berjumpa dengan Pak Zaini di acara-acara di Fakultas dan Universitas, Pak Zaini sangat berhati-hati dalam menyantap makanan. Mungkin itu juga salah satu faktor yang membuat Pak Zaini masih sehat di usia yang sudah demikian sepuh. Pak Zaini adalah orang yang dapat menjalankan amanah yang diberikan kepadanya dengan baik sehingga hampir seluruh hidupnya itu seolah selalu memegang amanah jabatan".

 

4."Dr. Hj. Tatik Tasnimah (dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, pernah menjadi asisten Ust. Zaini Dahlan)"

"Suatu saat saya pernah dihubungi Pak Zaini untuk mencarikan anak yatim piatu di pesantren kami untuk diasuh dan disekolahkan. Akan tetapi, kebetulan waktu itu tidak ada. Akhirnya, kami sampaikan ada anak dari orangtua tak mampu, dan ia ingin sekali kuliah. Akhirnya, anak itu diasuh oleh Ust. Zaini dan disekolahkan sampai selesai. Sepertinya, itu sudah menjadi tradisinya mengangkat anak asuh dan menyekolahkannya sampai selesai. Memang Ustaz Zaini itu dermawan sekali. Saya juga selama menjadi asisten memperoleh pengalaman semacam itu. Saya sering mendapat titipan HR mengajar untuk Pak Zaini. Pak Zaini mengajar bersama saya (saya sebagai asisten). Titipan itu datang daridari Pak Sri, bendahara. Setelah saya sampaikan ke Pak Zaini, Pak Zaini pasti mengasihkan semua honor itu kepada saya. "Ya anda yang mengajar, mengoreksi, dan membimbing. Itu hak anda," kata Pak Zaini. Wah banyak ya kesan terhadap Pak Zaini itu. Misalnya, Pak Zaini banyak menghafal puisi-puisi Arab, sangat tertib diri dalam menjaga kesehatan padahal Pak Zaini sudah terkena diabet sejak muda tetapi Pak Zaini masih sehat di usia hampir 90 tahun. Itu luar biasa.  Olahraganya juga sangat bagus. Juga Pak Zaini pernah thawaf di kampus pada malam-malam hari untuk mengetahui kegiatan para mahasiswa. Suatu kali, saya pernah juga melihat Pak Zaini di pinggir jalan. Pikir saya ngapain Ustaz Zaini di sini? "Lagi ngantar Ibu membeli bunga sedap malam," kata Pak Zaini. Pak Zaini memang dikenal sangat sayang dengan keluarga, Bu Zaini itu kan senang sekali dengan bunga sedap malam."

 

5.Dr. Hisyam Zaini, MA (mantan mahasiswa bimbingan, trainer terkenal di bidang teknik pengajaran)

"Yang pasti sangat kebapakan dalam membimbing mahasiswa. Ditunjukkan, ini lho bukunya, ini sumber-sumber refensinya. Bacaan Pak Zaini dalam sastra Arab sangat luas. Begitu saya tunjukkan judul skripsi saya, Pak Zaini langsung memberi pengarahan ini itu. Pak Zaini ringan sekali memberikan pinjaman buku kepada para mahasiswanya, tetapi Pak Zaini sangat hafal dan tetap mengingat bukunya dipinjam oleh siapa. Kalau pinjam sudah lama dan tidak dikembalikan, beliau pasti masih ingat dan akan menanyakan buku itu. Yang luput dari banyak orang, Pak Zaini itu seniman juga. Pernah saya melihat Pak Zaini tampil membaca puisi, dan menulis syair Arab.

 

6.Hanif Anwari (Mantan mahasiswa, lektor kepala bidang Sejarah Sastra Arab)

"Pak Zaini mengajar saya mata kuliah Adab Muqaran (sastra perbandingan). Literatur Pak Zaini di bidang sastra sungguh luar biasa. Dan hebatnya lagi, buku-buku itu diwakafkan kepada fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, mungkin seluruhnya. Sebab jumlah buku itu di perpustakaan banyak sekali.  Buku itu tak hanya meliputi buku-buku babon dalam kajian bahasa dan sastra Arab, tetapi juga buku-buku keislaman dan filsafat, termasuk buku terjemahan bahasa Arab dari karya Plato. Banyak manfaat dari buku-buku yang telah Pak Zaini wariskan bagi sivitas fakultas Adab baik dosen maupun mahasiswa. Saya mengerti aliran-aliran sastra Arab seperti Romantisme itu ya dari Pak Zaini. Setahu saya, Pak Zaini juga menghafal banyak puisi Arab di luar kepala.".

 

7. (Moh. Mahfud MD, mantan Pembantu Rektor I pada masa Pak Zaini, Mantan Menhan RI dan Ketua Mahkamah Konstitusi RI).

"Dari penglihatan pertama itu, saya mempunyai dua kesan tentang Pak Zaini. Pertama, gaya bicara dan nasihat-nasihatnya terasa sangat sejuk, tidak menggebu-gebu, dan kalimatnya sangat puitis untuk dinikmati. Kedua, pembawaannya sangat kalem, tidak sombong tetapi juga tidak minder menghadapi orang lain. Senyumnya selalu mengembang dan tak mau menyakiti perasaan orang lain. Wajahnya yang innocence sungguh teduh. Hatinya yang lembut senantiasa ingin membela orang lain dari pukulan yang datang menimpanya. Gambaran singkat kesan saya atas Pak zaini itu bisa menggambarkan bagaimana pola kepemimpinan yang sejuk dan toleratif mewarnai UII yang sejak puluhan tahun sebelumnya dikenal sebagai kampus yang agak garang. Ya, kampus UII dikenal sebagai kampus yang agak garang sebab dinamika kemahasiswaannya yang menghimpun berbagai sub kultur seluruh Indonesia. Sementara di kalangan dosen mudanya juga terjadi dinamika yang mengalir dari perjalanan dunia kemahasiswaan yang pernah mereka lalui di sana. Setiap mau akan ada pergantian kepemimpinan baik rektorat ataupun dekanat selalu terjadi ketegangan...Pak Zaini hadir sebagai pimpinan alternatif yang teduh ketika suasana panas tahun 1993 menyebabkan gagalnya pemilihan rektor UII periode 1994-1998."

8.(Sambudi, pensiunan Rektoriat IAIN).

"Pertama, saya merasa Pak Zaini sebagai bapak kandung sendiri. Saya yang dulunya dengan lingkup pergaulan yang begitu-begitu saja diarahkan bapak menuju masa depan yang lebih jelas. Pak Zaini terus memberikan bimbingan-bimbingan hingga saat ini, saya ya alhamdulillah jadi pegawai negeri dan sekaligus mampu berwirausaha. Bapak selalu mengajarkan saya untuk jadi entrepenur agar bermanfaat untuk orang banyak. Menurut Pak Zaini, kalau saya berwirausaha akan bisa bermanfaat untuk orang banyak. Tidak sekedar untuk diri sendiri. Kalau hanya sebagai pegawai negeri hanya makan gaji cukup untuk diri sendiri, sedang kalau mau berwirausaha akan berkembang luas sehingga menarik masyarakat sekitar dan memberikan nafkah banyak orang. Misalnya salah satu bidang usaha saya menyerap sekitar 15 jiwa. Semula tak berpikir begitu. Apa yang dikatakan Bapak agar mengisi waktu luang sebaik-baiknya sebagai PNS syukur tercapai dan memberi manfaat kepada orang lain.

Bapak hatinya sabar sekali dan jarang marah. Pernah saya dimarahi karena dulu saya memang tergolong bandel dan kalau saya mengingat-ingat saya hanya bisa menangis karena sikap saya yang keterlaluan itu sehingga bapak marah. Sebagai atasan, Pak Zaini sangat kebapakan. Bahkan kawan-kawan yang paling bawahan sekalipun merasa punya bapak di kantor. Yang sudah pensiun pun masih pada sowan bapak. Sifat paling menonjol dari Pak Zaini adalah kebapakan, kebijaksanaan, dan kewibawaannya.

Selamat jalan guru yang kami banggakan, semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulai dan agung sesuai besarnya karya dan keihlasanmu. (diambil dari tulisan Ibnu Burdah tentang Zaini Dahlan, dalam buku Profil Direktur Paska Sarjana UIN Sunan Kalijaga)  

***

Dr. Ibnu Burdah, MA, adalah dosen UIN Sunan Kalijaga, guru ngaji, dan penulis buku 1. Melejitkan Kemampuan Bahasa Arab Aktif Strategi Debat 2.Pendidikan Karakter Islami untuk anak SD/ SMP/ SMA, 2. Kristal-Kristal Cinta  Para Filsuf, Sufi, dan Nabi. 3. Metode Baca al-Qur'an ramah Anak Iqra' Tartila. 4. Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah. 5. Islam  Kontemporer: Revolusi dan Demokratisasi. 6. Bahasa Arab (untuk Hubungan) Internasional. 7. Segitiga Tragedi Tanah Palestina. 8. Wajah Baru Yahudi Orthodox vs Zionisme Zionisme. 9. Puisi-Puisi Nakal dari Pesantren: Setengah Humor Setengah Cendekia.

Ikuti tulisan menarik ibnu Burdah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler