x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

'Konglomerasi Kebenaran'

Kebenaran yang sesungguhnya adalah proses pencariannya, bukan kebenaran itu sendiri. Makanya muncul ungkapan kebenaran itu tak pernah final.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kitab suci, bagi penganut agama apapun, adalah semacam harga mati. Tapi fakta sejarah keagamaan juga memberitahu bahwa harga mati itu pun tetap bisa ditawar melalui upaya tafsir terhadap teks suci.

Ada periode zaman ketika gereja Katholik di Eropa memposisikan diri sebagai penentu final kebenaran, berdasarkan tafsir oleh pemuka agama terhadap teks-teks suci. Dari sini kemudian gerakan protes kalangan cerdik pandai, yang kemudian kita kenal dengan sebutan sekularisasi. Konglomerasi kebenaran oleh gereja digergaji melalui pernyataan: agama untuk gereja, kehidupan biarlah diatur oleh ahlinya.

Tapi dinamika kehidupan tidak lantas selesai di situ. Gereja tetap memiliki otoritas dalam berbagai aspek kehidupan, meskipun tidak lagi menjadi penentu tunggal. Muncul institusi kenegaraan (nation-state), dengan tiga pilar utama: eksekutif, judikatif dan legislatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan setiap institusi, di manapun dan kapanpun serta betapapun kecilnya, akan selalu tergoda memposisikan diri sebagai penentu kebenaran umum. Sebab konon, melalui monopoli kebenaranlah, kekuasaan bisa dirawat dan dipertahankan.

Berabad-abad lamanya, kebenaran itu ditentukan oleh negara melalui instrumen yang terkontrol: media massa milik negara.

Untuk mengimbangi publikasi kebenaran umum oleh media-media yang dikontrol negara, muncullah media-media publik milik swasta, yang diwakili oleh pemilik modal dan partai politik. Kombinasi atau persaingan antara media milik negara dan media milik publik inilah yang memunculkan istilah “media sebagai pilar keempat demokrasi”, menambah tiga pilar sebelumnya: eksekutif, judikatif dan legislatif.

Berabad-abad lamanya “pilar keempat” itu bersaing memonopoli publikasi kebenaran umum. Lalu melalui seleksi alam, sebelum muncul internet, publikasi kebenaran pada tingkat global dimonopoli oleh hanya beberapa media mainstream.

Di masing-masing negara, pun melalui seleksi alam, media mainstream juga bermunculan, menggeser media yang kurang modal dan tidak profesional.

Tapi periode kedigdayaan media-media mainstream di tingkat global dan di setiap negara, hanya berlangsung kurang lebih satu abad, sampai akhirnya masyarakat dunia memasuki era internet, dan tak lama setelah itu, kita semua akrab dengan media sosial, yang mulai menjadi trend global pada awal abad ke-21. Karena itu, bolehlah disebut media sosial itu sebagai “pilar kelima demokrasi”.

Fenomena media sosial adalah pembuktian baru terhadap ungkapan l'histoire se répète (sejarah mengulang dirinya sendiri): Gereja pernah kehilangan otoritas untuk mengatur semua lini kehidupan, lalu negara pernah kehilangan kontrol untuk monopoli publikasi kebenaran paska munculnya media-media publik; kemudian gabungan media milik negara dan swasta digergaji otoritasnya oleh media-media mainstream.

Sekarang ini, ororitas media-media mainstream yang telah lama menikmati memonopoli publikasi kebenaran umum, sedang digergaji oleh fenomena media sosial.

Karena bersifat sangat massif dan mengglobal, media sosial cenderung akan menjelma menjadi konglomerasi kebenaran yang baru, dengan modal yang amat murah: pulsa paket internet.

Hanya orang bermimpi di siang bolong, yang mungkin berasumsi akan mampu mengontrol media sosial.

Syarifuddin Abdullah | 29 Januari 2017 / 02 Jumadil-ula 1438H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler