x

Iklan

Amirudin Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sertifikasi Khatib, Perlukah?

Bagaimana jika khatib Jumat disertifikasi? Apa perlu? Jangan katakan ini upaya campur tangan negara soal agama. Karena hal itu tak boleh dilakukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak pihak yang keberatan atas rencana Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama guna melakukan sertifikasi pada setiap khatib Jumat. Mereka beralasan, apa yang akan dilakukan sangat berlebihan. Bahkan ada yang menyebut keterlaluan, zaman orde baru saja tak ada sertifikasi khatib seperti itu. Sebagian anggota DPR RI pun telah menolak gagasan yang diwacanakan Menteri Agama Lukman Saifuddin Zuhri tersebut.

Sebelum lebih jauh, sebaiknya diketahui terlebih dahulu sebenarnya apa tujuan sertifikasi khatib? Apa yang melatarbelakangi pemerintah menggagas hal itu? Sertifikasi khatib dilatarbelakangi oleh keluhan masyarakat bahwa tidak sedikit khatib yang meleceng dari relnya. Kutbah Jumat tak diisi dengan nasehat yang menyejukkan. Kutbah Jumat dijadikan ajang saling ejek, saling menyalahkan. Bahkan saling menyesatkan dan mengkafirkan antara kelompok atau golongan Islam. Menag menekankan, sertifikasi bukan dibuat karena hendak membatasi seseorang untuk berceramah kala shalat Jumat. Ini merupakan respons dari keluhan dan keresahan masyarakat saat menghadapi khotbah Jumat yang dirasa memecah belah persatuan umat Islam juga NKRI.

Menteri Agama menjelaskan bahwa sertifikasi khatib Jumat bertujuan untuk mengarahkan khotbah Jumat pada ajaran Islam rahmatan lil alaminyang moderat. Sebab, semua agama yang berkembang di Indonesia berpaham moderat, bukan ekstrem. Tidak ada agama yang ekstrem di Indonesia. Sejarah mencatat, selama ratusan tahun, Indonesia berperan dalam moderasi agama. Dengan demikian, fungsi agama ikut menjalin kemajemukan di Indonesia. Karenanya, moderasi agama ini yang diusung Kementerian Agama. Itu juga yang dikembangkan Muhammadiyah dengan dogma Islam berkemajuan. Dikembangkan NU dengan Islam Nusantara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memahami latar belakang dan tujuan di atas, saya memahami maksud dan itikad baik Menteri Agama. Hanya, niat baik saja tak cukup. Gagasan, ide, program atau apa yang akan dikerjakan wajib terukur. Dikaji, dipelajari baik-buruknya, mudharat-maslahatnya. Mempertimbangkan waktu, kondisi dan keadaan yang ada.

Menurut hemat saya, sertifikasi khatib Jumat jika dipaksakan akan memunculkan banyak permasalahan. Pertama, memanaskan situasi nasional. Seperti dipahami bersama panasnya Pilkada DKI Jakarta membuat gerah tak hanya oleh warganya tapi semua rakyat Indonesia. Suhu politiik Pilkada 2017 secara umum atau terlebih khusus Jakarta sungguh memanaskan suasana politik nasional. Kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur Jakarta non aktif Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan sederet persoalan di sekelilingnya telah mengoyak persatuan dan kesatuan. Terlebih ketika kasus hukum Ahok tersebut diseret ke ranah politik.

Kasus penistaan agama Ahok telah menggerakkan (memancing emosi) umat Islam. Hal itu dapat dilihat pada aksi damai 411 atau aksi super damai 212. Kalau saja Polri tak mengelola konflik dan perbedaan yang ada terkait kasus Ahok secara cerdas dan bijak maka Indonesia barangkali sudah terpecah belah. Aksi damai umat Islam itu akhirnya diketahui oleh pihak keamanan tak murni lagi. Ada aktor politik yang memanfaatkan stiuasi di air keruh. Mereka diduga melakukan makar dengan menunggangi aksi damai umat Islam. Sejumlah tokoh nasional seperti Sukmawati Soekarno Putri, Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dani harus berhadapan dengan hukum atas tuduhan makar.

Belum lagi soal Habib Rieziq Shihab. Sang tokoh utama dibalik aksi damai menuntut proses hukum Ahok sekarang dilaporkan berbagai pihak terkait pelanggaran hukum yang diduga dilakukannya. Aksi saling lapor meramaikan sekaligus memanaskan suasana. Politik nasional menjadi liar. Sekarang, apa Menag akan menambah persoalan baru dengan menggulirkan sertifikasi khatib? Saya yakin sertifikasi khatib akan memunculkan konflik berkepanjangan di tengah anak bangsa, umat Islam khususnya. Mengutip pendapat Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mujahid, sertifikasi yang diusulkan Kemenag terkesan provokatif dan malah berpotensi menuai keributan dalam masyarakat.

Kedua, Indonesia bukan negara agama. Tak sepantasnya negara mengatur prihal agama lebih jauh. Biarkan urusan agama dijalankan oleh pemeluknya tanpa intervensi negara secara berlebihan. Apalagi sertifikasi khatib terkait dengan pemahaman keagamaan yang beragam. Multi tafsir, beragam pendapat pasti bermunculan. Perbedaan dan konflik di akar rumput menjadi ancaman nyata bagi umat Islam. Terlebih lagi, selama ini umat Islam belum memahami dan menyikapi perbedaan sebagai rahmat secara baik. Terbukti, mereka tak mampu bersikap dewasa dalam mengelola perbedaan yang ada. Perbedaan seringkali berujung pada konflik antara sesama.

Ketiga, soal pihak yang berwenang memberi sertifikasi. Terkait hal ini, Menteri Agama mengisayaratkan memberikan kewenangan tersebut kepada ormas-ormas Islam. Mereka diminta membentuk wadah guna menjembatani perbedaan dalam menentukan sertifikasi khatib Jumat. Pemerintah hanya sebagai fasilitator. Ini pun tak sepi dari masalah. Perselisihan antara sesama ormas Islam dalam melaksanakan kewenangannya menyeleksi khatib bakal tak terelakkan. Keberagaman latar belakang khatib dan perbedaan cara pandang dan pemahaman keagamaan ormas-ormas akan mudah menyulut pertikaian di anatara mereka. Berawal dari sertifikasi khatib, perpecahan umat menjadi nayat di depan mata.

Mengenai keresahan masyarakat prihal sejumlah khatib Jumat yang kerap menebar fitnah, menunjukkan sikap intoleran, saling menyalahkan. Menyesatkan bahkan mengkafirkan. Menurut saya, biarkan hal itu dikembalikan kepada keadaran hukum masyarakat. Artinya, bagi mereka yang dirugikan dengan materi khatib dipersilahkan menempuh jalur hukum. Mereka bisa mengadukan sang khatib ke yang berwajib. Sebaliknya, para khatib pun diminta berhati-hati dalam menyampaikan pesan keagamaan dalam kutbah Jumat. Hindari materi agama terkat hal-hal yang bersifat perbedaan atau masalah furu’iyah. Jangan mudah menyalahkan, menyesatkan pihak lain. Hormati segala perbedaan baik dengan sesama Islam atau dengan lainnya.

Khatib Jumat sepatutnya menyampaikan agama dengan hikmah, mauidhoh hasanah (nasehat yang baik), dan mengedepankan dialog. Berdakwa dengan hikmah itu artinya mengajak, memperngaruhi orang lain dengan perkataan yang santun, lembut. Hikmah merupakan ungkapan soal bagaimana menyelesaikan masalah dengan ilmu bukan dengan emosi apalagi dengan otot. Kemudian nasehat yang baik, tak menyinggung perasaan orang lain. Jika dipandang perlu khatib juga bisa berceramah dengan pendekatan dialog. Mengedepankan logika dan kesantunan dalam tutur kata.

Akhir kata, Menag sebaiknya mengkaji ulang gagasan dan wacana soal sertifikasi khatib Jumat. Persoalannya bukan baik tidaknya kebijakan yang akan diambil tersebut. Tapi ketepatan waktu atau momentum serta metode yang tak terpenuhi. Apalagi, masyarakat kita masih alergi pada setiap hal yang beraroma represif ala orde baru.Wa Allahu ‘Alam

Ikuti tulisan menarik Amirudin Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB