x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dreaming of Yesterday: Indonesia Kini Versi Pak Beye

Pidato Politik SBY di Dies natalis 15 Partai Demokrat yang melihat suasana politik saat ini dengan cara pandangnya yang khas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Dreaming of Yesterday: Indonesia kini versi Pak Beye*
 
Kembali pak Beye hadir dalam panggung media ketika dengan lantang menyuarakan pidatonya di Dies Natalis ke 15 Partai Mersinya. Pidato yang bagus dengan tema yang sangat bagus pula, "Indonesia Untuk Semua. Indonesia For All", menjadikan ada harapan baru. Ya, harapan untuk mengembalikan popularitasnya yang terjun bebas di medsos akibat cuitan cuitan bernada curhat belakangan ini. 
 
Tiga hal utama yang diangkat adalah keadilan, kebhinekaan dan kebebasan. Semua itu bukan sesuatu yang hadir dalam ruang vacuum menurutnya, tetapi menjadi bagian dari perjuangan awal para pendiri bangsa. Tiga hal itu juga baginya menjadi semangat konstitusi bangsa yang mendasari semua perilaku negara dan rakyat dalam menjalankan roda kebersamaan dalam ruang publik berbangsa bersama. Sungguh sebuah penggalian yang apik untuk kondisi terkini Indonesia.
 
Namun ada sebuah disclaimer ketika pak Beye mengatakan hal yang sangat esensi dari keseluruhan pidatonya sebagai ekspresi kegelisahannya. Ia mengatakan, "Saudara-saudara, Kita tahu, keadilan, kebhinnekaan dan kebebasan mudah diucapkan, tetapi tidak mudah untuk diwujudkan". Wow, sebuah pengakuan tulus atas kelemahannya menjadi presiden selama 10 tahun atau lebih kepada mengevaluasi kondisi pemerintahan saat ini? Ia memang menyatakan bahwa kali ini ia akan menyampaikan wake up call, yang artinya paling tidak untuk penguasa saat ini bermawas diri.
 
Lanjutan pendahuluan pidatonya adalah berusaha menjadikan dirinya representasi atau penyambung lidah rakyat yang sedang dalam keresahan. Ia mengatakan, "Sehingga, dalam pidato ini saya mengangkat keresahan banyak kalangan tentang wajah keadilan dan kebebasan, dan dalam batas-batas tertentu juga kebhinnekaan kita". Memang bukan untuk menyalahkan negara dan pemerintah imbuhnya, tapi kalau begitu untuk siapakah? Walau bersayap, pasti pembaca cerdas minimal sudah tahu kira kira apa maksudnya.
 
Baiklah, perihal keadilan di tengah bangsa ini, baginya ada dalam suasana yang memprihatinkan. Menurut pak Beye keadilan sosial ekonomi diakibatkan tunduknya penguasa kepada hukum pasar. Perilaku ekonomi yang menguntungkan kelompok atas dan meninggalkan si miskin menjadikan terpicunya konflik di mana mana. Ada benarnya, tapi apakah ini sebuah realitas tanpa kausalitas? Apakah dalam masa Yesterday fundamental dan kebijakan ekonomi Indonesia sudah ideal sehingga memberikan pijakan tanpa harus melakukan utang luar negeri baru? Atau apakah koefisien GINI sudah mengecil untuk ketimpangan si kaya dan si miskin selama 10 tahun kekuasaannya?
 
Lalu keadilan hukum, sebuah utopia baru diekpspresikan sang Mantan Presiden dengan beranggapan semua perangkat hukum yang ada di negeri ini sudah ia perbaiki menjadi hamba wet yang berkeadilan dalam masa kekuasaannya. Baginya hukum harus berkeadilan dan bebas nilai dari pengaruh politisasi. Waduh, rasanya 10 tahun belum terlalu lama untuk sinyalemen beliau yang mengatakan ada strategi tebang pilih kasus hukum yang saat ini terjadi. Saya jadi bingung, apakah Yesterday demikian idealnya sampai kegelisahan ini baru terjadi saat sekarang. Bukannya Indonesia harus bergulat dengan kasus hukum Bank Century yang dipolitisasi dan atau kasus kasus lainnya? Apakah Yesterday sudah terjadi seperti mimpi pak Beye ini?
 
Kemudian perihal kebhinekaan buat beliau masih fine fine saja. Katanya, "Kalau memang tidak ada ancaman, janganlah dihembus-hembuskan dan dimanipulasi secara politik". Masyaallah pak Beye, apakah bapak terlalu sibuk dengan cuitan sehingga tidak melihat perang medsos yang brutal untuk perpecahan bangsa? Pertama kali saling mengKAFIRkan terjadi di tengah anak anak bangsa yang dulunya tabu dibahas oleh para pendiri bangsa. Oh ya usulan toleransi sebagai peredam konflik kebhinekaan menurut bapak bagus sekali, tapi belum banyak yang lupa bahwa YESTERDAY, ya Yesterday ada kasus intoleransi yang terus menaik tajam di pemerintahan bapak tanpa negara hadir. Kalau Ahmadiyah dan Syiah secara akidah keliru, kenapa negara tidak hadir dalam upaya muamalah kebangsaan karena mereka juga WNI yang punya hak yang sama. Juga masih segar dalam ingatan teriakan kebencian dan pengusiran terhadap warga minoritas lain dan atau yang berbeda. Itu semua terjadi Yesterday juga.
 
Untuk isu kebebasan, sebuah tudingan hadir dalam pidato yang mempertanyakan, "Apakah kita merasa bahwa akhir-akhir ini negara menggunakan kekuasaannya secara berlebihan?" Luar biasa pak mantan Presiden ketika kemudian juga mengimbuhi dengan contoh ke era Demokrasi Terpimpin tahun 60an. Maaf, waktu Orde Baru ketika pak Beye sedang naik daun kenapa tidak disinggung ya, untuk kemudian tiba tiba loncat 50 tahun ke masa kini. Ini Yesterday juga ketika dalam 10 tahun ada banyak peristiwa ketidakbebasan terjadi. Contoh perihal ketegasan rasanya beda dengan kediktatoran. Masih ada ruang kebebasan yang sangat besar sehingga ada oknum oknum jahat yang bisa menghina kepala negara seenaknya dengan kata kata tak layak di ruang publik. Perihal makar, ya memang sebaiknya dihentikan ketimbang terjadi chaos dong. Rasanya pak Beye secara militer lebih tahu, karena baik dalam peristiwa 27 Juli dan Mei 98 beliau masih ada dalam lingkar militer yang tidak sama sekali mengingatkan pemerintah saat itu kendati sangat represif. Itu Yesterday masih sangat dekat. Juga ketika Amnesty International mencatat kebebasan berekspresi sesuai keyakinan dan agama di 2 periode pemerintahan SBY memburuk (2004-2014), dibanding dengan pemerintahan sebelumnya. Kebebasan pernah juga dipertanyakan pada masa masa Yesterday itu.
 
Nah, rasanya pidato itu kemudian menjadi evaluasi kekinian dengan pembanding Yesterday. Atau mungkin juga bertepatan dengan sehari sesudah pak Beye merasa begitu terancam digeruduk mahasiswa sehingga lahir teks pidato yang penuh ekspresi ketidaknyamanan. "Yang paling baru, kemarin. Yesterday. Rumah saya di Kuningan digeruduk massa yang konon sudah diprovokasi dan diagitasi di kawasan Pramuka Cibubur", katanya. Oh, inilah rasanya curcol yang menyalahkan pihak lain yang tidak jelas. Benar benar YESTERDAY jadi acuan utama pidato ini.  
 
Ingat manta yang penyanyi jadi ingat dendang lirik Beatles, "Yesterday all my troubles seemed so far away. Now it looks as though they're here to stay. Oh, I believe in yesterday." Ada betulnya lagu ini, ketika di masa kekuasaannya ada dejavu bahwa tidak ada  masalah. Dan anehnya masalah itu baru ada sekarang. Akibatnya jelas, selalu percaya yang Yesterday dan gagal fokus untuk Indonesia masa sekarang. Cobalah bangun dari mimpi masa lalu dan hidupilah hari ini dengan santun dan bermartabat...serta tegas. Ya tegas, sebuah kata yang agak hilang selama 10 tahun lalu. Padahal kata Tegas harus hadir ketika bicara Keadilan, Kebhinekaan dan Kebebasan.
 
Untuk Indonesia Jaya dalam mimpi untuk Tommorow dan bukan Yesterday
 
Victor Rembeth

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu