Jumat Agung: Konspirasi Tokoh Agama dan Penguasa Negara

Jumat, 18 April 2025 09:42 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilusrasi Salib
Iklan

Peristiwa Salib 2000 tahun lalu menyadarkan kita bahwa hal yang sama sudah dan akan terulang terus ketika manusia masih dikuasai oleh kerakusan.

***

Jumat Agung adalah sebuah hari peringatan yang sangat penting bagi umat Kristen sejagat. Tanpa hari yang diperingati sebagai magna charta komitmen Ilahi untuk menderita bagi penyelamatan manusia ini maka umat Kristen kehilangan semua basis iman kepercayaanNya. Atau dengan kata lain tanpa Jumat Agung keKristenan bukan menjadi apa apa dan tidak layak dipercayai karena kekosongan isu penyelamatan yang menjadi pusat keyakinan yang utama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tiga Salib diatas bukit Tengkorak (Golgota) yang kerap ditunjukkan dalam berbagai gambar visual atau diperagakan ulang dalam  peringatan pengorbanan Kristus bisa saja menjadi kehilangan makna ketika Jumat Agung hanya dirayakan berulang sebagai ritual tahunan. Sejatinya Salib adalah kisah kejahatan Kriminal yang dilakukan oleh Negara dan Agama yang kemudian berulang dalam sejarah peradaban umat manusia.

Kelindan negara dan agama  yang ditunjukkan oleh peristiwa Salib adalah versi kebiadaban akut ketika negara maupun agama secara bersama terusik dalam menjalankan kekuasaan buruknya. Dalam sistem Pengadilan Romawi Damnatio ad Mortem, Salib adalah hukuman sadis untuk menjaga stabilitas Pax Romana atau kedamaian negara Roma dengan melakukan pembunuhan kejam kepada musuh negara. Hal itu sama dengan kisah versi Hukum Musa yang dipraktikkan oleh para pemimpin agama Yahudi, Sanhedrin, untuk membunuh mereka yang membahayakan "kesucian" agama Yahudi.

Kisah Jumat Agung diceritakan keempat kitab Injil dengan gamblang perihal persekongkolan Negara dan Agama.  Walaupun bukan yang pertama, tetapi permufakatan jahat ini menjadi cetak biru model mempertahankan kekuasaan dengan cara kebengisan. Yesus yang didakwa membahayakan kekuasaan agama Yahudi akhirnya memutuskan menerima Hukuman Mati oleh negara Romawi melalui proses peradilan yang melecehkan semboyan Pro Justitia. Segala Cara dilakukan, pokoknya, agar Ia dibunuh dan dipermalukan.

Pengorbanan Yesus sang Rex Iudaoi, atau gelar olok olok yang diberikan sebagai “Raja Orang Yahudi”itu menandakan kerakusan manusia yang haus kekuasaan untuk menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan kelompok atau pribadinya. Negara dan Agama adalah alat yang kerap dipergunakan untuk legitimasi Mens Rea  yang haus tahta, harta dan kuasa. Gaungnya terus berulang mengorbankan mereka yang tulus dan komit terhadap Solusi non kekerasan, seperti Yesus.

Bagaikan gelombang suara, amplitudo perngorbanan Salib semakin membesar pasca tragedi Jumat Agung. Gaung kekerasan bak peristiwa Salib menunjukkan bahwa dunia semakin diisi oleh aparat Negara dan Agama yang korup dan rela melakukan multiplikasi “Piramida Pengorbanan Manusia” untuk kepentingan penguasa. Meminjam buku Peter Berger dengan judul yang sama maka ia menjelaskan bawah ada “biaya manusia dalam pengambilan kebijaksanaan politik adalah suatu perhitungan kesengsaraan.”

Kesengsaraan, penindasan, penganiyaan dan pengorbanan sudah menjadi modus operandi para anasir kekuasaan politik negara dan agama dalam memberlakukan aksi kejahatan kemanusiaan mereka. Kisah besar dalam Sejarah dunia berupa Perang agama, penguasaan lahan dan aneksasi terus tejadi dalam drama Perang Salib, Inkuisi, penguasaan lahan di benua Amerika oleh pencari kebebasan dari Inggris, genosida Yahudi oleh Nazi dan sampai pada saat ini Zionis jahat yang melakukan hal yang sama terhadap rakyat Palestina.

Kisah-kisah kejahatan manusia yang diprakarsai negara menjadi model yang terus menerus diulang di diperkuat. Kisah Salib juga terjadi di Nusantara terccinta. Penjajahan yang ratusan tahun oleh Belanda diselingi Inggris sama kejamnya dengan pendudukan Jepang yang seumur jagung. Air mata, darah dan teror berlangsung yang membuat anak anak bangsa harus menjadi korban dalam berbagai pergerakan pra dan pasca Kemerdekaan. Kisah pengorbanan itu diharapkan akan selesai ketika kemerdekaan diproklamasikan , namun sejatinya masih banyak kisah pengulangan Mens Rea Salib bahkan sampai saat ini.

Negara bukan membawa kesejahteraan kepada warganya seperti cita cita proklamsi, namun pengulangan teror seram di bukit Golgota hampir terjadi dalam semua rezim penguasa yang menguasai tanah dan air untuk kepentingan segelintir manusia saja. Salib bahkan akhir akhir ini masih ditemukan dalam Masyarakat Adat yang hutannya digerus oleh Negara dan pemilik Perkebunan dan Tambang. Nelayan masih teraniaya ketika melautpun harus melawan Penguasa yang dilegitimasi negara. Kita masih menyaksikan ribuan piramida pengorbanan manusia saat ini.

Kembali ke Palestina, dimana drama penyaliban Yesus terjadi, pelaku yang sama masih melakukan penyaliban kepada mereka yang lemah dan teraniaya. Karena alasan perbedaan ras dan juga agama, Zionis Yahudi memberlakukan kejahatan negara yang masih mengajak agama sebagai legitimasi. Penganiayaan masih dilakukan, aneksasi dianggap lumrah dan genosida sedang dilakukan dalam eskalasi yang semakin membesar. Derita sesama manusia Arab dan Palestina yang dikorbankan seakan bukan hanya tiga salib di bukit tengkorak ,tapi kini ribuan dan jutaan didirikan.

Peristiwa Salib 2000 tahun lalu menyadarkan kita bahwa hal yang sama sudah dan akan terulang terus ketika manusia masih dikuasai oleh kerakusan. Hati Nurani menjadi gelap ketika mata hati para penguasa negara dan tokoh agama berselaput cuan dan posisi. Akan masih banyak anak manusia yang hidup dalam  suasana prihatin dan bahkan hampir putus asa seperti apa yang Yesus katakan di kayu Salib, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Kalaupun Salib menjadi bukti alat kekuasaan negara dan agama yang korup masih terus terjadi sampai saat ini, namun Injil juga menceritakan kisah pasca Penyaliban yang tidak membuat kita hancur dan putus asa. Ada para Perempuan hebat, Maria Magdalena dan kawan kawan, yang memiliki passion  merawat tubuh Yesus dan kuburnya. Bahkan ada 2 pemuka Agama Yahudi baik yang menjadi teladan Nurani belum mati, yaitu Nikodemus dan Yusuf Arimeta. Optimisme itupun masih ditambah dengan kisah legenda Longinus perwira Romawi yang akhirnya bertobat setelah menyalibkan Yesus.

Walaupun sudah mendekati titik terendah optimisme melihat carut marut pengulangan kejahatan Salib oleh pelaku Negara dan Agama, sekelompok kecil orang yang berani menggunakan Nurani tersebut mampu memantik harapan akan hadirnya titik terang dari inspirasi kisah Salib. Jumat Agung adalah peringatan pengorbanan ketulusan Kristus, namun juga mengingatkan kebusukan hati manusia dalam penguasa negara dan pemimpin agama. Kita masih terus bergumul dalam dua titik ekstrim ini, ketulusan dan kebusukan hati.

Satu keyakinan tersisa, Yesus mati disalib juga untuk para penguasa busuk dan koruptor serta para oligarki lintah masyarakat. Ia berkorban bukan hanya untuk para rohaniwan berjubah atau penghadir setia ibadah. Ia disalib dalam ketulusan agar kebusukan hati masih mendapat tempat pertobatan.

Lamat lamat terdengar Nyanyian Pujian no 189, Bila Kuingat SalibNya (When I survey the wondrous Cross): Bila kuingat salibNya, Dimana Yesus dipaku, Harta yang dulu kusembah Tidak mengikat hidupku. …Kubuang nafsu hatiku Karna korbanNya yang suci.

Pdt Victor Rembeth

             

Bagikan Artikel Ini
img-content
Victor Rembeth

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler