Menulis Kumpulan Puisi Tanah Basah (2025), Kumpulan Cerita Anak Kejutan Manis Serabi Mbok Tonah di Pasar Pagi (2025) Antologi cerpen Klinik (2024), Puisi dan Film (2024), serta Kumpulan Puisi Biji Karet dan Bunga Sakura Musim Semi (2024).
Orang Muda dan Kesehatan Mental, Cukup dengan Konseling?
6 jam lalu
Orang muda perlu didengar, dipercaya, ditemani ketika mereka menghadapi masa-masa sulit.
***
Orang bilang konseling itu sudah cukup untuk menolong orang muda yang gelisah. Mendengar keluh kesahnya, memberi saran jika diminta, menepuk punggung, atau bahkan mengajarkan teknik relaksasi. Semua itu terdengar menenangkan, seolah cukup. Tapi saya ragu. Benarkah itu cukup untuk jiwa yang sesak oleh tekanan yang tidak terlihat oleh mata?
Anisa, tujuh belas tahun, siswi kelas sebelas di Sleman, Yogyakarta, mengungkapkan beban yang selama ini ia pikul sendiri. Ia bilang, nilai turun sedikit saja, pikirannya langsung kacau. Overthinking menghantamnya tanpa ampun. Ia merasa gagal total, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi ekspektasi yang disematkan banyak orang di sekitarnya. Selama ini ia memilih menyimpan rasa cemas itu sendiri karena takut dianggap lemah, takut dicap tidak tangguh. Ia berusaha tersenyum di depan guru, di depan teman, di depan orang tua. Ia bertahan seorang diri dalam kesepian yang sunyi dan berat.
Hingga suatu hari sekolahnya membuka ruang baru, sebuah program bernama Ruang Cerita. Di sana, anak-anak diberi ruang untuk mengekspresikan perasaan melalui cerita, diskusi, atau seni. Ada guru yang siap mendengar, ada teman yang siap menemani. Anisa bercerita, ia sadar banyak temannya mengalami keresahan yang sama. Ia tidak lagi merasa sendirian. Ia merasa lega. Rasanya sederhana, namun pengalaman itu menimbulkan dampak yang besar. Satu hal yang paling penting bukanlah solusi instan, bukan jawaban cepat dari seorang konselor. Hal yang paling membantu adalah kehadiran orang yang mau mendengar dengan tulus dan berkata, kamu tidak sendirian.
Pengalaman Anisa hanyalah sepotong kecil dari gambaran besar kesehatan mental orang muda di Indonesia. Menurut UNICEF, tiga dari empat gangguan mental muncul sebelum usia dua puluh empat tahun. Masa remaja dan awal dewasa adalah periode paling rawan. Tekanan datang dari keluarga, sekolah, media sosial, lingkungan sekitar, dan tuntutan diri sendiri. Dan ironisnya, meskipun beban begitu nyata, banyak orang muda belum memperoleh pertolongan yang memadai. Layanan konseling masih terbatas, khususnya di sekolah negeri atau di wilayah pedesaan. Stigma masih menempel kuat. Masih ada anggapan bahwa gangguan mental adalah kelemahan pribadi yang seharusnya disembunyikan.
WHO mencatat pada dua ribu dua puluh dua bahwa delapan puluh dua persen beban gangguan mental berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Namun hingga sembilan puluh persen kebutuhan layanan tidak terpenuhi. Infrastruktur yang terbatas, jumlah tenaga profesional yang minim, dan pendekatan yang lebih menekankan solusi medis membuat banyak orang muda terabaikan. Mental bukanlah masalah pribadi semata. Depresi, kecemasan, dan trauma bukan sekadar akibat ketidakmampuan atau terlalu sensitif. Faktor sosial seperti kemiskinan, kekerasan berbasis gender, tekanan akademik, dan perundungan memperburuk kondisi orang muda.
Lebih dari separuh dana penelitian kesehatan mental dunia digunakan untuk riset laboratorium, sementara hanya tujuh persen dialokasikan untuk pendekatan praktis yang menyentuh kebutuhan nyata di lapangan. Program berbasis komunitas seperti Ruang Cerita menunjukkan bahwa ketika anak didengar, diberi ruang aman, dan didukung oleh guru serta orang tua, efeknya nyata. Anak-anak tidak hanya mendapat konseling, mereka dibangun kesadaran bahwa perasaan mereka valid dan ada tempat bagi mereka untuk mengekspresikan keresahan mereka.
Hingga saat ini, penanganan kesehatan mental masih bersifat reaktif. Baru bergerak ketika krisis muncul. Ini jelas tidak cukup. Orang muda perlu pendekatan proaktif dan menyeluruh. Kesadaran sejak dini, pencegahan, ruang aman di sekolah, di rumah, di komunitas. Konseling hanyalah salah satu bagian. Orang muda perlu didengar, dipercaya, ditemani ketika mereka menghadapi masa-masa sulit. Mereka perlu tahu bahwa tidak apa-apa merasa tidak baik-baik saja. Bahwa ada sistem yang siap membantu tanpa menghakimi.
Anisa tidak membutuhkan jawaban instan. Ia membutuhkan keberadaan orang-orang yang mau mendengar, yang mau menemani, yang mau hadir dalam kesendirian dan kecemasan yang ia rasakan. Ada kepastian bahwa perasaan gelisah itu tidak mengubah nilainya sebagai manusia. Ada kepastian bahwa ia tidak sendirian. Kesadaran dan dukungan semacam itu telah memberikan dampak yang sangat berarti, jauh lebih kuat daripada sekadar arahan konselor atau saran cepat yang seringkali terdengar abstrak bagi orang muda yang gelisah.
Kita sering menutup mata terhadap kenyataan ini. Kita berfokus pada mekanisme formal, program yang terdengar “WAH”, statistik yang menakjubkan. Kita lupa bahwa yang dibutuhkan orang muda adalah empati yang nyata. Kehadiran yang terasa. Sebuah suara yang berkata, saya ada di sini. Kamu tidak sendiri. Dan terkadang itu saja cukup untuk menenangkan dunia yang terasa begitu berat bagi seorang remaja yang sangat berarti.
Wahyu Tanoto. Bapak rumah tangga, tinggal di Bantul.

penyuka kopi hitam dan jadah goreng
5 Pengikut

Surat Sakti Dandim untuk Bea Cukai agar Oleh-oleh Tak Diusik Imigrasi
Kamis, 29 Mei 2025 15:58 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler