x

Iklan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Resume Sejarah Literasi di Litaq Mandar

Penulis Adalah Pemerhati Gerakan Literasi di Mandar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Muhammad Munir

Sesunnguhnya, gerakan literasi di Mandar, khususnya Tinambung Mandar Sulawesi Barat mempunyai akar sejarah yang begitu panjang dan sangat menentukan perubahan-perubahan mendasar yang menyebabkan orang Tinambung (Baca: Balanipa) selangkah lebih maju dari segi literasi. Menurut Nurdin Hamma,Budayawan dan salah satu tokoh deklarator Teater Flamboyant, pada sekitar tahun 1939 di Tinambung sudah ada sebuah toko buku "Sudara" yang didirikan oleh alm. H. Abdul Rahim. Dapat dibayangkan, mendirikan sebuah toko buku pada kondisi dan situasi dimana negara kita dijajah adalah sebuah langkah yang tak semua orang mau melakukannya. Namun, itulah Tinambung.

H. Abdul Rahim pasti tahu bahwa ini bukan semata usaha untuk memperoleh untung dari penjualan buku, dimana masyarakat saat itu, jangankan beli buku, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah setengah mati. Terlebih saat pendudukan Jepang yang seakan melupakan jatidirinya sebagai manusia saat itu. Dan ternyata, Toko Buku Sudara ini bisa bertahan bertahun-tahun. Metode yang dilakukannya juga agak unik. Selain dijual, buku juga tersedia untuk dibaca oleh siapa saja yang datang ke Toko. Nurdin Hamma, adalah pelanggan setia yang lebih banyak menyerap ilmu dari membaca buku dari pada membeli buku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disini, penulis yakin bukan hanya Nurdin Hamma yang rajin baca buku di toko itu, tapi puluhan bahkan ratusan orang. Itu bisa dilihat dari banyaknya sosok yang pemikiran-pemikirannya senantiasa mencerahkan sampai hari ini. Sosok Nurdin Hamma adalah salah satu dari sekian orang yang melewati masa-masa sulitnya dijaman penjajahan, tapi tidak mengabaikan belajar dari membaca buku, meski itu dilakukan hanya saat di Toko Buku Sudara itu. Ternyata, gerakan literasi di toko inilah yang menjadi embrio lahirnya orang-orang hebat, cerdas dan mencerahkan.

Toko Buku yang menyusul didirikan di Tinambung adalah toko buku milik Hamil, meski buku-buku yang dijual khusus pelajaran di Sekolah Dasar. Hamil mengambil peluang membuka toko buku karena saat itu di Tinambung sudah ada sekolah, yaitu SD 01 Tinambung yang didirikan pada Tahun 1926. Termasuk SD laki-laki 3 tahun di Biring Uwai (Pinggir Sungai). Letak sekolahnya saat itu pas di lokasi Festival Sungai Mandar digelar. Ada juga SD Perempuan Tinambung yang turut memberi konstribusi positif terhadap perkembangan pemikiran dan kecerdasan masyarakat.

Sekedar di ketahui bahwa sekolah pada waktu itu jumlahnya masih sangat sedikit, hanya terdapat di Pambusuang, Karama, Renggeang, Pakkammisang. Sekolah SD 3 tahun atau Sekolah Desa kemudian menyusul yang digagas oleh Lembaga Studi Pembangunan, dimana dalam lembaga ini ada Ali Sadikin sebagai penasehat, dan ketuanya Adi Sasono. Dari lembaga inilah nama tokoh budayawan Mandar, Darwis Hamzah (Meninggal di Kendari) dikenal sebagai sosok yang perannya mencerdaskan anak-anak Mandar tidak bisa diabaikan.

Pada 1954 kemudian berdiri Taman Bacaan (Tinambung) yang dikoordinir oleh Kantor Pendidikan Masyarakat (Penmas) Afdelling Mandar. Taman Bacaan ini dikelola Nurdin Yuda. Penmas ini fokus dalam Pemberantasan Buta Huruf, kursus kader masyarakat (A/B). Penmas saat itu dipimpin oleh Abdul Watif Masri orang Bulukumba yang kemudian menikah dengan Zainab (orang Kandemeng).

Resume sejarah literasi orang Mandar Tinambung perlu dicatat bahwa Harian Jakarta Pos Pemimpin Redaksinya pada tahun 1955 itu adalah Abdul Gani Saleh, orang Mandar Tinambung (Kandemeng). Menyusul Majalah Teluk Mandar (stensilan) tahun 70-an didirikan oleh Suradi Yasil. Keberadaan Purma (Pustaka Rakyat Majene) tahun 40-an (sebelum Jepang) sampai tahun 1956 itu adalah merupakan virus dari Tinambung yang disusul Toko Buku Binanga 1950 di Majene (belakangan pindah ke Wonomulyo Kab. Polewali Mandar).

Sejarah juga mencatat lahirnya komunitas Teater Flamboyant Mandar tahun 80-an. Flamboyant didirikan sebagai Lembaga pada tanggal 5 September 1983. Diresmikan pada tanggal 15 September 1984. Membincang Teater Flamboyant terkait literasi, mungkin akan melahirkan perbedaan dalam menginterpretasinya. Namun bagaimanapun, pentolan-pentolan dari Flamboyant ini justru tak dapat dibantah, bahwa substansi dari gerakan literasi itu ternyata lebih kuat di internal Flamboyant. Latar belakang munculnya Teater Flamboyant juga tidak melalui proses formal.

Di tahun 80-an, saat mudik liburan ke tanah leluhurnya, Tinambung. Bung Ali Sjahbana yang kuliah di Jogyakarta menemukan para pemuda yang hanya menandaskan hari-harinya main gitar, berjudi, minum tuak dan beragam pelaku khas gerombolan anak kampung. Ia kemudian melecut mereka untuk menyatu dalam sebuah komunitas yang belakangan disebut dengan Teater Flaboyant Balanipa Mandar.

Sebagai arena anak kampung, ia kemudian sanggup mengambil alih kesibukan dan perhatian para pemuda untuk lebih kratif mengembangkan kesenian. Hingga akhirnya searah perputaran jaman, Teater Flamboyant Mandar tumbuh, tidak saja hanya sebagai komunitas kesenian yang melulu berteater, dan melakukan persinggungan melalui usungan karya seni ke pentas lokal, regional bahkan nasional. Tetapi, belakangan ia muncul menjadi semacam agen perubahan dan pentafsir atas nilai-nilai kebudayaan (baca: kearifan budaya lokal) masyarakat Mandar.

Hamzah Ismail, Tokoh pendidik di Tinambung pernah bercerita pada penulis bahwa sejak TF berdiri, ada tradisi literasi yang seakan melecut kami untuk berburu bacaan (Ali Sjahbana memang pelanggan Tempo). Setiap kiriman Tempo itu datang, serta merta akan di copy untuk jadi bahan diskusi jika malam tiba. Tradisi itulah yang terus berkembang sampai hari ini. Amruu Sadong, Seorang guru yang juga pendiri TF bahkan sampai hari ini masih memiliki koleksi Majelah Tempo tahun 1980-an.

Hingga kini TF dengan pelan memperkenalkan manajemen kerja kebudayaan dan kesenian yang ilmiah dan modern, tanpa mentercerabutkan akar cultural dan sejarahnya sebagai Terater Rakyat. Sampai dititik ini, TF telah berhasil melahirkan beragam arus pemikiran, yang terkadang memilih menjadi oposan dan radikal humanis dalam kacamata kebudayaan.

Resume Sejarah literasi tersebut seakan terulang dan menginjeksi semangat literat generasi muda Mandar dengan keberadaan Rumah Kopi dan Perpustakaan (RUMPITA) Rumah Pustaka yang diinisiasi oleh Ramli Rusli, Nusa Pustaka binaan Muhammad Ridwan Alimuddin, Rumah Baca dan Museum Naskah juga berdiri di Teppo Kabupaten Majene serta puluhan RUMAH BACA yang digarap oleh RUMPITA Tinambung hingga sampai ke Kabupaten Mamuju (Tappalang). 

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu