x

Calon Gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memberikan keterangan di Rumah Lembang, Menteng, Jakarta, 5 Januari 2017. TEMPO/Larissa

Iklan

edriana noerdin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilkada dan Serangan Seksual terhadap Perempuan

Serangan seksual bisa dalam bentuk fisik tapi bisa juga dalam bentuk verbal, tulisan dan posting di media sosial yang dipakai oleh lawan politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada dan Serangan Seksual terhadap Perempuan

Dalam setiap pertikaian politik yang seringkali dijadikan sebagai target serangan seksual adalah perempuan. Kenapa? Karena perempuan merupakan titik yang paling rentan secara fisik, keluarga, etnis dan bangsa. Banyak perempuan Kosovo mengalami perkosaan, begitu juga perempuan-perempuan Rohingya. Perempuan etnis Cina di Indonesia juga menjadi target kekerasan seksual ketika terjadi transisi politik di tahun 1998. Serangan seksual terhadap perempuan untuk tujuan politik sudah dicanangkan oleh PBB sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

Serangan seksual bisa dalam bentuk fisik tapi bisa juga dalam bentuk verbal, tulisan dan posting di media sosial (cyber bullying) yang dipakai oleh lawan politik untuk menjatuhkan mental dan merendahkan perempuan sebagai representasi dari lawan politik agar mereka tidak lagi berani bicara di ruang publik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang kenalan saya pengamat tata kota yang selalu kritis terhadap kebijakan penggusuran dan kebijakan tata kota yang top down lainnya yang diterapkan oleh petahana juga menjadi korban diserang secara seksual oleh para haters yang menjadi pendukung fanatik petahana. Melalui media Twitter, kenalan saya tersebut dikata-katai antara lain sebagai pelacur, mantan germo di Kalijodo, perempuan tidak laku, dan wanita paling 'bangsat' se-Jakarta. Masih banyak kata-kata yang menyerang seksualitasnya -rasanya yang tidak pantas saya ulangi di sini. seorang perempuan jurnalis yang juga kritis akan pembangunan di Jakarta juga dibully dengan bahasa yang sangat  merendahkan. Cara-cara ini adalah senjata yang sering digunakan dalam dunia patriarki.

Kecenderungan para pendukung fanatik petahana untuk menyerang lawan politik perempuan ini sejalan dengan kata-kata Djarot S. Hidayat dalam debat terakhir, Jumat 10 Februari 2017. Ketika itu, pasangan AHY mempertanyakan karakter Basuki yang suka berteriak, marah-marah, memaki perempuan, di depan publik (TV) dengan menggunakan sebutan maling dan sebagainya yang ditonton pemirsa se Indonesia.

Saat itu, Djarot membela perilaku atasannya dengan mengatakan bahwa itu adalah upaya gubernur untuk mendidik perempuan agar menjadi lebih baik atau lebih benar. Artinya gubernur menganggap 'wajar' bahwa mendidik perempuan harus dilakukan dalam bentuk tindak kekerasan, diteriaki, dibentak dan dimaki-maki di muka umum. Ini adalah ciri khas dari perilaku patriakh yang harus menggunakan kekerasan dalam 'mendidik' perempuan.

Apakah bapak gubernur dan para pendukung fanatiknya tidak paham bahwa tindakan tersebut melanggar prinsip-prinsip PBB dan undang-undang yang melindungi perempuan dari segala bentuk tindak kekerasan.

Perilaku kekerasan verbal terhadap perempuan yang dilakukan oleh Ahok dengan cepat ditiru oleh para pendukung fanatiknya. Kalau pemimpin mereka bisa menyerang dan merendahkan perempuan di depan publik, para pendukung fanatiknya tentu saja merasa sah untuk menyerang perempuan lawan politiknya di depan publik seperti di media sosial. Hal ini merupakan contoh buruk karena perilaku petahana yang memaki perempuan maupun pihak lain yang tidak berkenan di hatinya akan menjadi contoh bahkan ditiru oleh pendukung fanatik yg mengidolakannya.

Mari kita belajar dari sebuah pepatah bijak bangsa kita: "Ahok makan berdiri, Ahokers fanatik makan berlari".

Ikuti tulisan menarik edriana noerdin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler