x

POTENSI PELANGGARAN PILKADA

Iklan

Andrian Habibi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Potret Pelanggaran Pilkada 2017

Bawaslu harusnya memiliki data akurat pelanggaran pemilu dari masa ke masa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang revisi kedua UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota termuat pasal-pasal pidana pilkada. Pasal tersebut terdiri dari pasal 187 sampai dengan pasal 189. Tujuannya adalah menjamin penyelenggaraan pilkada yang fair dan berkeadilan. Semangat revisi kedua dinilai oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah mampu menguatkan pasal pidana di UU 1/2015.

Membaca dari tujuan dilahirkannya ketentuan pidana pemilu dalam UU Pilkada adalah mengurangi potensi pelanggaran, kecurangan dan kejahatan yang menyebabkan terganggunya proses dan hasil penyelenggaraan pilkada. Akan tetapi muncul pertanyaan, apakah ketentuan pidana pilkada sudah berjalan sesuai dengan harapan para pembuatnya?

Penyelenggaraan pilkada serentak 2017 dimulai sejak disahkannya UU Nomor 10 Tahun 2016. Setelah itu, Penyelenggara Pemilu melaksanakan program dan penerbitan aturan teknis dibawah UU. KPU melaksanakan kerja-kerja dengan Peraturan KPU (PKPU). Bawaslu melaksanakn kerja dengan menerbitkan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu). Lalu, 101 daerah pun menyelenggarakan pilkada sesuai dengan perintah KPU dan Bawaslu RI.

Awas Curang

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam hal ini, KIPP Indonesia selalu mengingatkan rakyat dengan kalimat “awas, pemilu selalu curang”. Artinya, penyelenggaraan pilkada serentak dengan penguatan ketentuan pidana pemilu belum tentu menyelesaikan permasalahan “kecurangan” pilkada. Pembuktian pidana pilkada bisa menurunkan angka pelanggaran hanya dengan membandingkan angka pelanggaran dan penanganan di pilkada serentak 2015 dengan pilkada serentak 2017.

Pada pilkada serentak jilid I terdiri dari delapan provinsi, 170 kabupaten dan 26 kota. Sedangkan daerah pelaksana pilkada serentak jilid II terdiri dari tujuh kabupaten, 76 kabupaten dan 18 kota.Nasrullah mengungkapkan ada ribuan pelanggaran selama penyelenggaraan pilkada 2015 (kompas,10/12/2015). Bawaslu pun membuat klasifikasi pengawasan pilkada menjadi delapan jenis pengawasan. Muhammad selaku ketua Bawaslu RI menyampaikan kepada DPR terkait kedepalan jenis pengawasan tersebut (Bawaslu, 02/02/2016).

Adapun klasifikasi pengawasan tersebut terdiri dari: pengawasan penyusunan daftar pemilih, pengawasan tahapan pencalonan, pengawasan tahapan kampanye, pengawasan dana kampanye, pengawasan logistik, pengawasan tahapan pemungutan dan penghitungan suara, pengawasan rekapitulasi penghitungan suara dan pengawasan netraitas asn.

Permasalahan umum Bawaslu adalah ketidakmampuan Bawaslu dalam menghimpun keseluruhan data pelanggaran pada pilkada 2015. Sehingga angka ribuan yang disampaikan oleh komisioner dianggap jumlah dengan frase “kemungkinan”. Jadi, sulit sekali membuat Bawaslu sebagai bank data pelanggaran pemilu di Indonesia. Bahkan, untuk urusan pengelolaan website, Bawaslu masih jauh tertinggal dari saudaranya, KPU.

Dalam penalaran yang wajar, Bawaslu masih belum siap untuk membandingkan pelanggaran pilkada 2015 dengan pilkada 2017. Padahal Bawaslu harusnya memiliki data akurat pelanggaran pemilu dari masa ke masa. Lalu, data pelanggaran dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah dan DPR untuk menguatkan ketentuan pidana pemilu pada regulasi yang akan datang.

Ketidaksiapan Bawaslu sudah menjadi hal yang lumrah. Istilahnya, kita terbiasa mendengar keluh kesah Bawaslu. Kemudian, atas rasa simpati, pelbagai alasan dianggap alat pembenar untuk menutupi permasalahan ketekunan dan kreatifitas kerja Bawaslu. Setidaknya, angka-angka pengharapan sudah cukup untuk meyakinkan Pemerintah, DPR dan rakyat atas kinerja Bawaslu.

Potret Pelanggaran 2017

Dari tahun 2016 sampai dengan 2017, atau sebelum pemungutan dan penghitungan suara pada 15 februari 2017. Bawaslu sampai sekarang baru membuat Indeks Kerawanan Pilkada (IKP). Namun, IKP tidak bisa memuaskan hasrat keingintahuan publik terhadap wajah pengawasan pilkada 2017. Apakah pengawasan dan penuntasan pelanggaran pilkada meningkat? Atau malah sebaliknya, menurun drastis? Tentu saja, hanya Bawaslu yang bisa menjelaskan kemungkinan-kemungkinan tersebut.

Dari pandangan saya, potret pelanggaran pilkada 2017 masih sama dengan tahun 2015. Hanya saja, pelanggaran pilkada 2017 terdiri dari dua isu besar. Pertama, keserantakan yang diharapkan mampu menjadi ajang kemeriahan pesta demokrasi lokal telah gagal total. Pemberitaan diseluruh media (cetak dan elektronik) khususnya nasional sibuk membahas Pilgub DKI Jakarta.

Padahal, Pilkada serentak 2017 sejatinya memberikan porsi yang sama terhadap 101 daerah. Akan tetapi, kita semua telah sama-sama melanggaran kata “serentak” di lihat dari kaca mata pemberitaan nasional dan media sosial. Seandainya UU ITE dilaksanakan memakai kacamata kuda. Mungkin sudah penuh persidangan se-Indonesia atas dasar perkara “mengganggu orang lain” dan/atau “ketidaksenangan atas status dan/atau komentar orang” di media sosial.

Kedua, isu SARA khususnya agama menjadi pelanggaran berat di pilkada 2017. Politik identitas (agama) dibiarkan terombang ambing meluas tanpa batas di bumi pertiwi Indonesia. Selain itu, potensi meluasnya perbedaan agama dan etnis suku bangsa lebih besar akibat perseteruan di Pilgub DKI Jakarta. Hal ini diperparah dengan bumbu penyedap rasa penolakan kampanye (blusukan) terhadap pasangan calon. Penolakan-penolakan ini sudah seharusnya ditindak dengan menggunakan ketentuan pidana pilkada. Lagi-lagi Bawasu beserta kawan sejawat di Sentra Gakkumdu terkesan lambat untuk sosialisasi dan penanganan kasus “penolakan kampanye”.

Penguatan Teknologi

Dari rangkaian kisah diatas, penulis berharap Bawaslu menghimpun segenap praktisi teknologi untuk menguatkan pengawasan berbasis teknologi mudah dan murah. Seperti aplikasi android Gowaslu yang sudah diciptakan Bawaslu. Kedepan, Bawaslu hanya cukup menguatkan aplikasi dan menyosialisasikannya secara sistematis, terstruktur dan massif. Sehingga seluruh rakyat bisa menggunakan aplikasi Gowalu selama 24 jam untuk mengawasi penyelenggaraan pilkada 2017.

Selain itu, demi menjamin penguatan partipasi publik dalam pengawasan pilkada berbasis Gowaslu. Maka, langkah selanjutnya adalah memberikan contoh pelaporan, penanganan dan hasil dari kasus pelanggaran pilkada. Sehingga, publik selain mengetahui juga membuat trauma (penakut) untuk melanggar atau melakukan tindak pidana pemilu.

Sebagai catatan akhir, penulis mengharapkan kita semua untuk bersama-sama membantu pengawasan pilkada 2017. Bila ada potensi “ancaman”, maka pihak kepolisian wajib memberikan rasa aman bagi setiap pelapor pelaku kejahatan pemilu. Rasa aman ini tentu perlu disosialisasikan mengingat kepolisian diberi stimulus dana pengamanan pilkada 2017. Semoga Pilkada 2017 menghasilkan pemimpin daerah yang bukan pelaku curang dan penjahat demokrasi lokal.

 

Oleh Andrian Habibi

Koordinator Kajian KIPP Indonesia

Ikuti tulisan menarik Andrian Habibi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler