Refleksi 1 Maret 1949

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

tulisan ini sebagai refleksi untuk memahami patriotisme pejuang kemerdekaan.

Jangan pernah melupakan sejarah”. Begitulah pesan Soekarno, bapak revolusioner sejati Indonesia. Dalam konteks sejarah Indonesia, 1 Maret merupakan tanggal sakral bagi Indonesia karena hidup mati bangsa Indonesia sebenarnya ada pada serangan umum yang dilancarkan pada 1 Maret 1949 saat itu. Maka dalam konteks ini, tentu kita sebagai generasi muda harus mengingat kenapa serangan umum harus dilakukan dan siapa aktor luar biasa dalam ide serangan umum 1 Maret 1949 tersebut.

Dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa serangan 1 Maret 1949 lebih kepada ingin menunjukan eksistensi bangsa, bahwa bangsa Indonesia masih hidup. Hal itu dilakukan sebagai tanggapan terhadap isu yang dimainkan oleh Belanda pada dunia internasional dengan mengatakan bahwa Indonesia sudah mati, sudah tidak ada. Hal itu tentu mendorong kemarahan serta heroisme bangsa Indonesia melalui Jendral Sudirman sebagai representasinya.

Oleh karena itu, sebagai generasi muda tentu tidak boleh lupa kepada dua tokoh seperti Sri Sultan Hamengku Buwono XI dan Letkol Suharto sebagai representsi rakyat dan militer. Maka dalam hal ini, penulis bukan ingin menggali sejarah perjuangan 1 Maret 1949, namun lebih kepada melihat, mengedepankan, dan membandingkan kontekstualisasi peradaban Indonesia paska heroisme simbolik 1 maret 1949 sebagai refleksi generasi muda.

 

Konteks Kekinian

 

Simbol-simbol heroisme bangsa saat ini mungkin tidak terlihat lagi. Sekarang bukan lagi saatnya mengangkat senjata-senjata untuk berperang karena konteks kekiniaannya berbeda. Sekarang kita tidak sedang melawan musuh yang nyata, tampak di depan mata.  Namun sekarang kita sedang menghadapi musuh yang abstrak. Oleh karena itu, kepekaan nalar kritis terhadap konteks kekinian bangsa harus menerka musuh abstrak tersebut.

Abstraksi musuh bangsa abad XXI ini seolah mengaburkan yang terang, menjauhkan yang dekat. Dengan kata lain, abstraksi sama seperti proxy war. Kita tidak mampu lagi menerka siapa musuh kita yang sesungguhnya, lagipula kita tidak sedang berperang dengan senjata. Namun sekarang kita sedang berperang dengan bayang semu proxy war tersebut.

Manifestasi proxy war di Indonesia bisa kita rasakan dari berbagai kepentingan ideologi yang ingin berebut kendali di Indonesia, sehingga momok ideologi yang menakutkan di Indonesia adalah kapitalisme. Ideologi ini hanya mementingkan urusan dirinya saja, kelompoknya saja bahkan lebih ekstremnya hanya mementingkan keluarganya saja tanpa meikirkan nasib orang banyak. Tenaga kerja murah namun keutungan banyak. Begitulah mereka, lebih cenderung besar kepentingan dirinya sendiri. Dengan demikian, yang terjadi di Indonesia saat ini adalah perang ideologi para kapitalis yang memiliki kepentingan besar.

Lantas, jika kita bandingkan dengan konteks 1949 maka orentasinya beda. Saat itu kita mempunyai musuh yang nyata, memegang senjata yang tidak semu sehingga mudah kita perangi dan kalahkan. Lebih dari itu, saat itu pula kita sedang dirunduk satu masalah yang dianggap sama, yaitu masalah penjajahan. Sehingga semangat juang saat itu adalah ingin merdeka. Dalam konteks kekinian, kita sudah merdeka. Namun benarkah kita sudah merdeka?

Konteks kemerdekaan itu sangat kompleks. Kita sudah melewati proses perebutan bangsa dari cengkraman kolonial. Itulah namanya kemerdekaan lahiriah, tapi bukan kemerdekaan batiniah karena batin rakyat Indonesia sesungguhnya masih terjajah. Sebenarnya, kini kita dalam proses mengisi kemerdekaan lahiriah dan batiniah. “Kemerdekaan sesuangguhnya ialah hak segala bangsa oleh karena itu, penjajahan di dunia itu harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri keadilan dan peri kemanusiaan”.  Begitulah amanat Undang-Undang Dasar 1945. Maka kemerdakaan dalam konteks kekinian adalah terlepas dari jeratan-jeratan kepentingan, baik itu kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi kapitalis yang benar-benar memerdekakan dalam arti yang terbalik.

Maka, sebagai fefleksi, kita generasi muda harus mulai tersadar dan membangun nalar kritis. Dengan demikian kita mampu memaknai setiap pergolakan politik dan ekonomi bangsa. Hal ini memerlukan peran serta generasi bangsa secara keseluruhan untuk, setidaknya, melihat fenomena kekinian sebagai tanggapan perubahan dan perkembangan dunia yang begitu pesat.

Salah satu contohnya adalah dalam kemajuan teknologi. Sekaraang teknologi digital memberikan kemudahan bagi bangsa, namun di sisi lain, kita harus siap bersanding dengan kemajuan ini walaupun kita manusialah yang menciptakan kemajuan itu juga. Oleh karena itu, seharusnya kemajuan teknologi sekarang harus berbarengan dengan kemajuan pola pikir generasi muda.

Dampak dari cepatnya laju arus teknologi, terutama internet, sosial media kemudian anak-anaknya seperti facebook, twitter, youtube dan lain-lain membuat kita belum mampu mengimbangi. Dari ketidak seimbangan pola pikir dan nalar kritis kekinian itulah  seolah kita mudah dijadikan pusaran proxy war.   Terbukti, sosial media menjadi kanal baru interaksi sosial. Tapi sayang interaksi di sosial media cenderung pada reproduksi berita bohong, (hoax), berita palsu (fake) hingga ujaraan kebencian (hate speech).  Inilah salah satu misi bahaya proxy war. Mereka membangun sentimen umat untuk menyudutkan umat yang lain melalui penyebaran hoax, dan fake news tersebut sehingga kita sebagai generasi muda terpancing dengan hal tersebut.

Tentu kita harus paham, dalam berita bohong yang tersebar di media sosial itu lebih cenderung menyudutkan subjek (orang, tokoh), karena sesungguhnya dalam hoax itu pasti menyudutkan subjek dengan memelintirkan data yang faktual dan tidak empiris. Penulis ingin menekankan soal data faktual dan empiris agar tidak diplesetkan juga. Data faktual dapat dikategorikan dengan data yang memang  sesuai kenyataan, tapi belum tentu empiris. Empiris dalam hal ini adalah sesuatu yang telah melalui proses dan etika ilmiah yang berlaku sehingga data bisa dipertanggung jawabkan dengan benar.  Hal inilah yang sering dikaburkan oleh para produsen berita hoax, mereka lebih banyak memberikan data yang artifisial, sudah diolah sedemikian rupa sehingga hal itu (hoax) serupa dengan berita benar. Masalahnya adalah kita akan susah membedakan mana berita hoax dan right jika kita tidak melakukan logika berpikir ilmiah salah satunya dengan cara mengecek kebenaran dari sumber terpercaya.

Hal ini kontradiktif dengan hasil survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel, 2017).  Bahwa ditemukan tingkat kesulitan memeriksa kebenaran berita melalui saluran media sosial adalah 30,30 % dalam kategori sulit, dan 12,80% dalam kategori sangat sulit. Sementara tingkat kemudahan mengecek kebenaran berita masuk kategori tinggi yaitu 53,50%. Hal ini tentu sangat kontradiktif juga dengan kehawatiran Presden, Kapolri, TNI, Menkumham, dan Menkominfo dengan mengatakan bahwa berita hoax itu sangat berbahaya terhadap keutuhan NKRI. Maka menjadi benar bahwa logika ilmiah kita belum mampu memberikan klarifikasi terhadap hoax itu.

Oleh karena itu, melihat urgennya kontekstualisasi masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sekarang. Maka perlu kiranya kita sebagai generasi muda bangsa yang majemuk, menggali kembali nilai perjuangan keutuhan bangsa melalui perjuangan yang direfleksikan oleh para pejuang Serangan Umum 1 Maret 1949 dalam mempertahankan dan merebut kembali kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga kita lah yang akan mengisi kemerdekaan ini.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
arif bulan

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Refleksi 1 Maret 1949

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler