x

Iklan

Susianah Affandy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perlindungan Anak Terlantar

Dari ribuan anak terlantar, data Kemensos RI (2016) menyebut hanya sekitar 6000-an anak yang mendapat perlindungan dan layanan Program Kesejahteraan Anak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

*Susianah Affandy

Ketua Bidang Sosial, Kesehatan dan kesejahteraan Keluarga KOWANI

Anak-anak terlantar di Indonesia banyak melakoni hidup di jalan-jalan, bantaran sungai, samping rel kereta api, terminal, pasar dan stasiun. Mengacu pada UU 23/2002 dan UU 35 tahun 2014, anak harus mendapat perlindungan yang diatur dalam pasal 4 sampai pasal 18. Jadi anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan fisik, psikis, rohani dapat dikategorikan sebagai anak terlantar. Para pekerja Sosial banyak mengutip ciri-ciri anak terlantar pada Keputusan Menteri Sosial RI No 27 Tahun 1984 antara lain anak usia 5-18 tahun (dalam banyak kasus anak dibawah usia 5 tahun juga banyak ditelantarkan orang tuanya), tidak memiliki ayah (yatim) atau Ibu (piatu) tanpa diwarisi harta benda yang dapat dikelola untuk menuntut ilmu, orang tua sakit-sakitan, orang tua tak memiliki penghasilan cukup, tak memiliki tempat tinggal, yatim-piatu di mana kondisinya tidak memiliki saudara yang memberikan perlindungan dasar, tidak terpenuhi kebutuhan dasar dan anak yang lahir tidak diinginkan karena korban pemerkosaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi Saat Ini

Banyak istilah yang digunakan masyarakat untuk menyebut anak terlantar. Istilah yang lazim kita dengar dan sangat stereotip adalah istilah anak jalanan. Anak-anak jalanan merujuk pada anak-anak yang menghabiskan waktu dan aktivitasnya di jalanan. Banyak pihak termasuk penulis tidak sepakat dengan penggunaan istilah “anak jalanan” karena istilah tersebut menyudutkan posisi anak. Data Kementerian Sosial tahun 2015, jumlah anak jalanan (maksudnya pekerja anak sektor non formal di jalan-jalan) sebanyak 33.400 yang tersebar di 16 Provinsi. Persebaran anak-anak terlantar yang menghabiskan hidupnya di jalanan terbesar di Pulau Jawa. Propinsi DKI Jakarta menempati urutan teratas dengan anak-anak terlantar paling banyak yakni 7600 anak. Propinsi lainnya yang banyak anak terlantar yakni Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan estimasi anak terlantar yang hidup di jalan sebanyak masing-masing propinsi 5000-an sedangkan di Jawa Timur sebanyak 2000-an.

Dari ribuan anak terlantar tersebut di atas, data Kemensos RI (2016) hanya sekitar 6000-an anak yang mendapat perlindungan dan layanan Program Kesejahteraan Anak. Selebihnya anak-anak terlantar ini hidupnya sangat rentan dengan kekerasan, penyakit menular dan penyakit tidak menular oleh sebab gizi buruk, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual. Pemerintah sendiri punya komitmen menjadikan Indonesia bebas anak jalanan di akhir tahun 2017.

Perlindungan Sosial Terintegrasi

Pemerintah RI telah menunjukkan adanya political will dalam mengimplementasikan mandat konstitusi UUD 1945 terkait dengan perlindungan anak terlantar. Konstitusi kita tegas menyebutkan bahwa anak terlantar di pelihara oleh Negara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Dasar Negara Indonesia yakni Pancasila sila ke lima dan UUD 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesejahteraan. Prinsip keadilan sosial mengamanatkan kepada Pemerintah untuk bertanggung jawab mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Pasal 28H ayat 3 UUD 1945 menyatakan Negara memberi jaminan sosial kepada seluruh warga Negara untuk mengembangkan diri. Perlindungan sosial ini secara global juga dijamin dalam deklarasi HAM pada 10 Desember 1948 dan Konvensi ILO Nomor 102 tahun 1952. Regulasi dalam negeri sendiri yang mengatur tentang Sistem Perlindungan Sosial tertuang dalam TAP MPR No X/MPR/2001, Kepres No 20 Tahun 2002, UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Perlindungan anak terlantar harusnya dilakukan oleh Pemerintah secara terintegrasi dan holistik yang melibatkan banyak sektor. Dalam struktur Pemerintahan, setidaknya terdapat delapan kementerian/Lembaga yang memiliki tupoksi layanan dan perlindungan anak. Delapan kementerian/lembaga tersebut antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, BKKBN, KPAI dan Kementerian Dalam Negeri yang memiliki struktur melayani masalah kependudukan sampai tingkat Kecamatan. Selain Pemerintah pusat, Pemerintah Daerah harus tanggap dengan adanya anak-anak terlantar di daerahnya masing-masing.

Pemerintah daerah harus melakukan pendataan anak-anak terlantar. Pendataan ini dapat dilalukan dengan mengintegrasi pada pencatatan kependudukan. Satu contoh yang selama ini dianggap sepele warga masyarakat adalah hak anak terhadap akte lahir. Setiap anak dari semua latar belakang, termasuk anak yang tidak diketahui identitas orang tuanya oleh karena ia dibuang atau hasil pemerkosaan, ia tetap berhak atas akte lahir sebagaimana diatur dalam UU No 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Anak yang tidak memiliki akte lahir, ia akan sulit memperoleh perlindungan dari Negara. Ia akan menghadapi berbagai macam masalah terkait dengan hak-haknya seperti misalnya haknya mendapat identitas dalam Kartu Keluarga, KTP, dan seterusnya sampai jaminan kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.

Struktur Pemerintah Daerah yang mengakar sampai tingkat Rukun Tetangga (RT) dalam pandangan penulis dapat dimanfaatkan untuk melakukan pendataan anak-anak terlantar. Dengan berbekal data faktual, perlindungan anak terlantar dapat dilakukan sejak dini. Keluarga yang tidak mampu dan hidup di garis kemiskinan sehingga berdampak pada ketelantaran anak seharusnya menjadi prioritas penerima jaminan sosial yang kini berbetuk Kartu Keluarga Sejahtera.

Anak terlantar harus menjabat jaminan pendidikan, kesehatan dan kehidupan sosial lainnya. System perlindungan sosial yang ada saat ini sebagaimana diatur dalam UU No 40 tahun 2004 yang secara teknis diwujudkan berbentuk “kartu-kartu” itu masih banyak menyasar orang dewasa sedangkan anak-anak kerap terabaikan. Banyak anak-anak dari keluarga miskin yang tidak memperoleh jaminan kesehatan karena system jaminan selama ini “dipahami” hanya untuk orang dewasa. Di sinilah cacatan pentingnya, anak-anak sejak lahir harus mendapat perlindungan. Perlindungan di bidang pendidikan juga sama. Sejak lahir, anak-anak yang rentan hidup terlantar harus tercatat sebagai penerima jaminan pendidikan. Jika Pemerintah memiliki data terpadu kependudukan, maka anak-anak terlantar ini pastinya mendapat layanan perlindungan tidak hanya pendidikan, kesehatan namun juga layanan public seperti angkutan gratis.

Data kependudukan terintegrasi ini akan dapat mengeliminir adanya metamorfosir kelompok miskin dan anak terlantar menjadi gelandangan, pengemis dan pengamen di jalanan. Anak terlantar yang telah terdata di tingkat RT akan cepat mendapat fasilitas perlindungan sosial, tentu hal ini hanya menjadi isapan jempol manakala aparat desa tidak memiliki sense pelayanan kepada warganya. Kehadiran anak-anak terlantar yang telah bermetaforsis menjadi gelandangan, pengemis dan pengamen di jalanan selama ini diposisikan sebagai "sampah masyarakat” yang hidupnya dikucilkan. Aparat pelayan publik yang harusnya mengayomi justru dengan cara mengejar-ngejar mereka secara represhif menjadikan Negara bagi mereka sebagai hantu.

Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat

Perlindungan anak terlantar harus mengedepankan kepentingan terbaik anak. Anak-anak terlantar sebaiknya tetap diasuh oleh kedua orang tuanya. Mereka harus tetap tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang orang tua dan keluarga. Belajar dari kasus Soni (16) dan Marcell (3) di Tangerang, ketika ditanya apakah ia betah tinggal di Rumah Singgah Dinas Sosial dengan beragam fasilitas? Soni menjawab lugas, ia ingin hidup bersama Ibunya (ayahnya meninggal dunia) meski selama ini telah menelantarkannya.

Perlidungan anak terlantar harus mengedepankan kepentingan terbaik anak. Jika anak terlantar memiliki orang tua dan keluarga, sudah seharusnya kita tidak memisahkan keduanya. Bagaimana langkah perlindungannya? Pemerintah harus memberdayakan keluarga dan masyarakat di mana anak terlantar itu berada. Pemberdayaan keluarga dilakukan dengan tujuan agar keluarga kembali memiliki fungsi pengasuhan dan perlindungan kepada anak.

Pemberdayaan keluarga dapat dilakukan dengan edukasi, penyuluhan dan sosialisasi tentang “parenting skill”. Edukasi atau trend disebut dengan pendidikan keorang tuaan ini sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana melakukan pengasuhan dan perlindungan anak secara benar. Selama ini para orang tua tidak banyak yang memiliki skill menjadi orang tua. Akibatnya, pola pengasuhan dan perlindungan anak dalam keluarga dan masyarakat hanya mengacu pada pengalaman generasi sebelumnya.

Selain memberikan edukasi, intervensi program yang dapat dilakukan Pemerintah adalah pemberdayaan ekonomi keluarga. Keluarga yang berdaya secara ekonomi diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak. Pemberdayaan ekonomi keluarga ini bukan sesuatu yang mudah dilakoni ketimbang memberikan edukasi berupa penyuluhan. Pemberdayaan ekonomi keluarga mencangkup “keahlian/skill” dalam produksi barang/jasa, modal, barang/jasa itu sendiri, packaging dan pasar. Meski pemberdayaan ini kesannya sulit dan membutuhkan waktu lama namun dalam pandangan penulis tetap harus dijalani oleh Pemerintah untuk menyelamatkan generasi masa depan yakni anak-anak.

Pengasuhan Alternatif

UU No 23 tahun 2002 dan UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 7 mengatur ketentuan bagi anak yang karena sebab orang tuanya tak dapat menjamin tumbuh-kembang maka ia berhak di asuh atau diangkat orang lain. Pengangatan anak harus memegang prinsip kepentingan terbaik anak dan tidak memutus hubungan anak dengan orang tuanya.

Anak-anak terlantar yang memerlukan perlindungan khusus sebagaimana diatur dalam UU 23/2002 dan UU 35/2014 pasal 59 yakni anak dalam kondisi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari suku minoritas atau terisolasi, anak korban eksploitasi (ekonomi maupun seksual), anak korban trafficking, anak korban Narkoba, anak korban penculikan, anak korban kekerasan dan sebagainya harus mendapat layanan khusus di pusat rehabilitasi maupun di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RSPA). Anak terlantar yang membutuhkan perlindungan khusus ini jika mengacu pada pasal 59A UU 35 tahun 2014 maka semua stake holder harus bergandeng tangan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun elemen masyarakat lainnya.

Mandat regulasi mengharuskan kita memberi penanganan cepat mencakup pengobatan, rehabilitasi fisik, psikis dan sosial kepada anak-anak terlantar yang membutuhkan perlindungan khusus. Perlindungan juga diberikan untuk pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan. Bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan oleh sebab korban kekerasan, eksploitasi, trafficking maka dibutuhkan dampingan psikososial yang seharusnya dilakukan bersamaan fase pengobatan sampai pemulihan. Anak-anak ini juga harus mendapat pendampingan dari tenaga professional.

Mengingat beratnya kompleksitas masalah dalam perlindungan anak terlantar dan perlindungan khusus, maka dibutuhkan political will dalam anggaran yang disusun Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Tanpa dukungan anggaran, sulit rasanya kita berharap adanya pelayanan yang didukung sarana dan prasarana, sumber daya manusia, penguatan kelembagaan dan proses re-integrasi sosial anak dalam tumbuh kembangnya di masyarakat.

Mengakhiri tulisan ini, pelindungan anak terlantar hanya dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta banyak pihak. Pemerintah sebagai pemegang mandate konstitusi, orang tua sebagai pemegang mandate Sang Pencipta dan masyarakat di masa anak terlantar itu berada. Dengan demikian penulis berharap masyarakat menghapus “stigma” buruk kepada anak terlantar sebagai anak-anak penyangdang masalah sosial dengan pemahaman sempit yakni “sampah masyarakat”. Anak terlantar memiliki hak yang sama dengan anak lainnya sehingga tak ada alasan masyarakat tidak menerimanya sepenuh hati. Wallahu’alam

Sumber foto : www.tempo.co

Ikuti tulisan menarik Susianah Affandy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu