x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ratmini - 90 Tahun Mengarungi Samudera Kehidupan

Pernik-pernik sejarah dari kacamata istri Soedjatmoko

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ratmini – 90 Tahun Mengarungi Samudera Kehidupan

Penulis: Ratmini

Tahun Terbit: 2015

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit:

Tebal: 191

ISBN:

 

Buku ini adalah kesaksian Ibu Ratmini tentang pernik-pernik sejarah Republik Indonesia dari mata seorang istri seorang pejuang. Kisah Republik Indonesia sejak belum lahir, masa awal kemerdekaan, era Sukarno, era Suharto, era reformasi sampai dengan tahun 2004. Sungguh sangat luar biasa bahwa beliau mempersembahkan buku ini di hari ulang tahunnya yang ke – 90.

“Aku dilahirkan pada masa Hindia Belanda, menjadi remaja pada jaman Perang Dunia Kedua, mengalami pendudukan Jepang dan menjadi saksi mata masa-masa awal Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Kehidupan rumah tanggaku ikut mengalami gejolak sejarah: pertikaian kepentingan pada akhir masa pemerintahan Soekarno, kekerasan pada tahun 1965-1966, peristiwa Malari, dan tangan besi pemerintahan Soeharto, jatuhnya Orde Baru dan masa reformasi.” Demikian tulis Ratmini pada epilog. Beliau adalah saksi sejarah lima jaman.

Ratmini adalah seorang blue blood dari Banyumas (hal. 67). Beliau adalah keturunan Bupati Banyumas dari jalur ayah dan patih Wonosobo dari jalur ibu. Itulah sebabnya Ratmini mendapatkan pendidikan yang baik saat mudanya. Beliau sempat bersekolah di MULO di Magelang (hal. 32) dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Guru (OSVO) di Surabaya. Meski pendidikannya di sekolah guru sempat terputus akibat masuknya Jepang ke Indonesia, beliau berhasil menyelesaikan sekolahnya di OSVO Jakarta.

Ratmini kemudian menjadi guru di Jakarta. Di kota inilah beliau bertemu dengan sang kekasih hati, seorang pemuda Solo bernama Soedjatmoko. Pasangan ini akhirnya menikah di Banyumas pada tanggal 15 Oktober 1957 (hal. 68). Kehidupannya dengan Koko, demikian ia memanggil Soedjatmoko – suaminya, penuh pasang surut tetapi bahagia. Mereka dikaruniai 3 orang putri. Sebagai seorang politisi anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI), hubungan Koko dengan pemerintah naik turun. Saat Syahrir sebagai ketua PSI masih dekat dengan Sukarno, kehidupan Koko cukup mapan. Namun saat Syahrir tidak lagi sejalan dengan Sukarno, dan PSI dibubarkan (hal. 77), kehidupan ekonomi Koko menurun drastis. Tidak saja di jaman Sukarno, di jaman Suharto pun hubungan Koko dengan pemerintah tidak selalu dekat. Pernah dikirim sebagai duta besar Indonesia untuk Amerika di awal Orde Baru (hal. 87), Koko lebih sering menjadi orang luar pemerintahan di era Orde Baru. Demikian pula ketika Koko sudah menjadi seorang intelektual daripada orang partai, tidak selalu ekonomi Koko baik.

Ratmini bukanlah seorang istri yang hanya memanfaatkan ketenaran suaminya. Ia benar-benar adalah seorang pendamping yang baik serta seorang perempuan yang mempunyai kepribadiannya sendiri. Kemana pun Koko bertugas, Ratmini selalu menemani. Ia berupaya untuk menjadi Ibu Duta Besar yang baik (hal. 89). Koko adalah seorang yang sangat sibuk. Oleh sebab itu Ratminilah yang sesungguhnya mengurus keluarga.

Ratmini adalah seorang seniman. Ia sangat tertarik dengan busana, etiket dan seni lukis. Di sela-sela mengurus keluarga, Ratmini mengembangkan hobinya sebagai seorang pemerhati mode, penasihat etiket dan sebagai pelukis. Ratmini pernah terpilih sebagai wanita Indonesia berbusana terbaik (hal. 98) dan kemudian beliau menjadi bagian dari pantia pemilihan wanita berbusana terbaik.

Kariernya sebagai pelukis diawali saat beliau masih sekolah. Ia belajar melukis saat berkesempatan belajar ke Belanda (hal. 60). Bersama dengan “Group Sembilan” Ratmini mengembangkan kelompok pelukis (hal. 98). Ia belajar melukis gaya Jepang saat Koko menjadi Rektor Universitas PBB (hal. 121). Puncaknya, Ratmini bersama dengan para pelukis perempuan lainnya melakukan pameran di Universitas Gregoriana, Vatikan (hal. 172).

Sangat menarik mengamati apa yang dilakukan dan dicatat oleh Ratmini saat mendampingi Koko ke berbagai negara. Ratmini tidak mengisahkan tempat-tempat belanja atau menceritakan barang-barang mewah yang dibelinya. Ratmini lebih tertarik untuk mengamati budaya, mempelajarinya dan menceritakannya dengan detail. Ia juga sangat menyukai keindahan alam dari tempat-tempat yang dikunjunginya.

Ibu Ratmini adalah seorang yang suka bercanda. Kejadian yang seharusnya membuat ia sedih malah dijadikan sebuah candaan. Seperti yang beliau tuliskan pada halaman 101, saat kakinya digigit anjing herder milik polisi. “Kejadian ini ketika aku ke rumah teman; aku menekan bel, mendadak seekor anjing menyerang dan menggigit kaki kananku. Rupa-rupanya herder itu dipinjam dari kepolisian untuk dikawinkan dengan herder teman yang aku kunjungi, tetapi ditolak oleh si betina, sehingga ia melampiaskan kemarahan kepada tamu betina: ialah aku!”

Karya yang ditulis oleh Ibu Ratmini di usianya yang sudah senja ini merupakan sebuah dokumen penting bagi sejarah perjalanan NKRI. Perni-pernik sejarah dari pandangan “seorang perempuan biasa” sering terlewat oleh para sejarahwan yang kebanyakan maskulin. Kisah beliau ini bisa menjadi rujukan untuk membuat wajah sejarah Indonesia menjadi lebih seimbang dengan membawa cerita-cerita yang feminim.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu