x

Iklan

Ridhony Hutasoit

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pendidikan Dasar Berbasis Akuntabilitas Kuantum

Sebelum mengubah dunia, ubahlah diri sendiri. Sebelum merevolusi mental bangsa, ubahlah sistem pendidikan negeri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Prolog: Hikayat Batu Nisan

Sejarah merupakan penyebab eksistensi masa kini dan masa depan. Sejarah akan bernilai jikalau dijadikan dan dipilah sebagai pembelajaran hidup. Dengan sejarah, kita dapat semakin dewasa tanpa perlu mengalaminya terlebih dahulu. Pemahaman sejarah dapat menghemat waktu kita untuk mengenai nilai-nilai kehidupan, seperti pada sajak tentang sebuah kontemplasi yang tertuang dalam batu nisan di Westminster Abbey, Inggris. Sajak ini lahir  sekitar tahun 1100 Masehi yang dapat dijadikan pembelajaran hidup yang berharga bagi dunia pendidikan kita.

Jika hanya dibaca sekelebat, sajak akan diam seribu bahasa pada seonggok batu nisan tua. Namun jikalau kita telisik dan nikmati, paduan kata-katanya memiliki gaung selaksa makna. Makna yang tidak hanya timbul karena sepenggal waktu yang berlalu, melainkan hasil dari sekelumit masa yang teralami oleh sang empunya batu nisan. Dalam batu nisan ini dijumpai suatu simpulan yang hakiki dan sedehana. Simpulan hakiki dan sederhana ini merupakan buah dari pemikiran satu visi besar, yaitu mengubah dunia. Sebuah mimpi mulia.

Mimpi ini memiliki daya kuat untuk si penulis mewujudnyatakannya dalam sebuah keniscayaan. Simpulan hakiki dan sederhana ini dikerucutkan pada suatu elemen terkecil namun independen. Terkecil dalam segi bagiannya terhadap dunia dan independen karena elemen ini memiliki kuasa untuk menentukan suatu pilihan atas jalan hidupnya sendiri. Elemen yang sejatinya merupakan prakarsa dari kebesaran mimpi Sang Penulis, dalam sajak kematian dirinya. Elemen itu bernama “aku” atau dikenal dengan “dirinya sendiri”. Aksentuasi “aku” menjadi prolog dan epilog dari sajak ini, karena “aku” yang memulai, mengalami dan akhirnya mengevaluasi, di mana akhir hidupnya memang menjadi titik puncak elaborasi nilai kehidupan bagi pemilik nisan. Bait pertama dari sajak ini berbunyi seperti ini:

Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal

Aku bermimpi ingin mengubah dunia.

Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku

Ku dapati bahwa dunia tidak kunjung berubah

Maka cita-citaku itu pun agak ku persempit

Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku...

 

Sang penulis memulai dengan frase “ketika aku masih muda”. Muda menandakan tingkat toleransi yang masih sangan luwes untuk dibentuk. Muda menadakan tingkat pengalaman yang belum cukup menelusuri lika-liku dunia. Muda menggambarkan suatu semangat yang sigap namun tak jarang ada ketergesaan di dalamnya, tapi muda merealitaskan suatu potensi untuk menjadikan setiap insan menggerakkan dan berdampak bagi dunia.

Berjalannya waktu, kemudaan fisik si penulis mulai berangsur susut. Namun kearifannya bertambah lebar dengan persepsi pengalaman yang telah dijalaninya. Dia mendapai mimpinya terlalu luas untuk dijelajahi. Dia mengambil sikap untuk mempersempit mimpinya itu. Kemudian, makin bertambahnya usia, bukan memberikan pencapaian sesuai dengan mimpi yang telah diturunkan derajatnya, tetapi makin membuat dirinya pesimis. Hal ini terlihat dari bait selanjutnya dia berujar:

 

Hasrat itupun tidak ada hasilnya.

Ketika usiaku makin senja,

Dengan semangatku yang masih tersisa

Kuputuskan untuk mengubah keluargaku

Orang-orang yang paling dekat denganku.

Tapi celakanya, mereka pun tidak mau berubah!

Dan kini, sementara aku berbaring saat ajal menjelang

Tiba-tiba kusadari..

 

Dalam bait ini, dia mulai memilah-milah mimpinya untuk menjadi rasional. Mungkin dalam benaknya, kesan khayalan semakin kuat dia rasakan ketika berupaya mengubah dunia/negeri. Hingga pada satu titik terkecil, dia hanya berharap orang-orang paling dekatnya berubah. Tapi, dia sudah terlanjur di depan ajal, dan harapannya tak kunjung datang. Namun, usia yang makin senja dan akan menutup menjadi malam kematian, membawanya pada satu kesadaran utuh yang dia guratkan seperti ini:

Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku,

Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan,

Mungkin aku bisa mengubah keluargaku,

Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka,

Bisa jadi akupun mampu memperbaiki negeriku,

Kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa merubah Dunia.

 

Monolog: Pertama kali, Ubah Diri

Mengubah diri pertama kali inilah yang menjadi simpulan di akhir kehidupan si penulis sebagai jawaban untuk menggapai mimpinya yaitu mengubah dunia. Esensi ini dapat digunakan dalam dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang sepatutnya berorientasi pada pembentukan diri, bukan sekedar pada sekelumit ilmu yang dipertandingkan, apalagi hanya dihapal. Pembentukan diri muncul tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pembentukan diri sangat erat kaitannya dengan akuntabilitas diri yang melekat pada masing-masing individu. Artinya, mengubah diri seseorang dapat signifikan tercapai ketika pemahaman akuntabilitas yang melekat pada dirinya berubah atau semakin dalam. Akuntabilitas diri melekat utuh pada eksistensi diri dan dapat terukur melalui nilai, peran, profesi, hingga aturan main. Akuntabilitas diri tumbuh dan makin terasah dengan nilai-nilai etika dan kehidupan yang secara repetisi terus diajarkan dan dilakukan, termasuk di dalamnya ada keteladanan. Nilai-nilai etika dan keteladanan adalah dua mata uang yang tidak boleh dipisahkan dalam dunia pendidikan. Keteladanan pengajar muncul karena si Pengajar pun sadar ada akuntabilitas diri yang melekat dalam profesinya. Di sisi lain, sebagai seorang siswa, akuntabilitas diri membawa siswa pada pengalaman pendewasaan diri yang berkesinambungan.

Dalam konsep akuntabilitas, Amerieska (2009:13) menyatakan terdapat dua hal penting dalam membentuk akuntabilitas yaitu amanah dan kepercayaan, namun individu dalam menerapkan akuntabilitas tidak terlepas dari sikap dan watak kehidupannya. Akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia meliputi akuntabilitas intern dan akuntabilitas ekstern individu. Akuntabilitas intern disebut juga akuntabilitas spiritual merupakan akuntabilitas individu kepada Tuhan yang meliputi pertanggungjawabannya mengenai segala sesuatu yang dijalankannya, sedangkan akuntabilitas ekstern adalah akuntabilitas kepada lingkungannya baik secara formal (atasan) maupun informal (masyarakat) (Dewi, 2008:20). Akuntabilitas dapat diinterpretasikan mencakup keseluruhan aspek tingkah laku seseorang yang mencakup baik perilaku bersifat pribadi dan disebut dengan akuntabilitas spiritual, maupun perilaku yang bersifat eksternal terhadap lingkungan dan orang sekeliling. Selain dalam hal spritualitas, akuntabilitas diri melekat pula pada aktivitas-aktivitas melekat yang dilakukan sehari-hari, secara khusus seorang pribadi yang memiliki profesi sebagai guru dan seorang anak yang berperan sebagai siswa. Libby dan Luft (1993) dalam Silvia dan Ansar (2010) menyatakan bahwa akuntabilitas erat kaitannya dengan seseorang, seseorang dengan akuntabilitas tinggi tentunya akan memiliki motivasi yang tinggi untuk melaksanakan pekerjaannya.

Ridhony (2014) menyatakan akuntabilitas diri dapat terdiri dari empat unsur, yaitu kesadaran dalam proses, pemahaman dalam berprofesi, kehendak untuk bertindak, dan kepekaan terhadap lingkungan. Subjek dari penelitiannya adalah seorang auditor di suatu institusi pengawasan milik pemerintah. Namun, keberadaan elemen-elemen ini dapat diadaptasikan pada materi pembelajaran dunia pendidikan dasar. Adaptasi ini sangat dimungkinkan karena dalam penelitian ini, keberadaan akuntabilitas diri dalam seseorang sangat signifikan mempengaruhi pembentukan karakter. Pembentukan karakter ini ternyata dapat memengaruhi lingkungannya.

Adaptasi konsep akuntabilitas diri di lingkungan sekolah wajib melibatkan komponen utama pendidikan, yaitu guru, siswa, dan orang tua (GSO). Setiap unsur dalam akuntabilitas diri tadi tidak boleh dipisahkan dan bahkan dapat saling memengaruhi. Dalam unsur pertama, kesadaran dalam proses merupakan unsur pembentuk akuntabilitas diri yang menempatkan diri seseorang pada irisan keberadaanya pada suatu hal. Misalnya seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) sadar profesinya sebagai guru di sekolah X atau anak Bapak Y sadar dirinya adalah siswa di sekolah X. Kesadaran dalam proses membawa diri guru dan siswa untuk memahami profesi/perannya, termasuk siapa dirinya. Unsur kedua, pemahaman berprofesi merupakan unsur pembentuk akuntabilitas diri yang menempatkan diri pada pengenalan mendalam atas sesuatu hal. Misalnya, guru sekolah Z berjuang memahami fungsi dirinya sebagai wali kelas atau kepala sekolah, sedangkan siswa dan orang tua memahami hak dan kewajiban dirinya. Pemahaman ini tentu melibatkan ketentuan/kebijakan terkait dari posisi masing-masing di sekolah. Pemahaman peran orang tua dalam mendukung pendidikan sangat perlu dilakukan, karena saat ini orang tua cenderung bersifat defensif ketika anaknya dikenakan disiplin.

Pemahaman yang tepat akan membawa diri GSO untuk memiliki kehendak untuk tindakan yang tepat. Maka tak heran unsur keempat adalah kehendak untuk bertindak, Kehendak untuk bertindak adalah unsur pembentuk akuntabilitas diri yang menempatkan diri pada hal yang akan dimaksudkan untuk dilakukan. Kehendak dalam bertindak akan semakin matang ketika disertakan dengan kepekaan terhadap lingkungan. Kepekaan terhadap lingkungan adalah unsur pembentuk akuntabilitas diri yang menempatkan diri bukan hanya terpusat pada diri sendiri melainkan lingkungan sekitar. Artinya, GSO tidak hanya terfokus pada implementasi profesi/perannya masing-masing, melainkan tetap harus mengarahkan pandangan dirinya kepada dampak terhdap lingkungan/orang lain, termasuk menerima feedback ketika melaksanakan peran/profesinya. Elemen ini dapat berguna sebagai “kaca” atau media evaluasi yang berkelanjutan atas diri.

Aplikasi pendidikan berbasis akuntabilitas diri sangat menekankan pembentukan manusia dalam kerangka “siapa” saya yang kemudian diresponi dengan “bagaimana” saya. Mari belajar dari negeri matahai terbit, yaitu Jepang. Jepang sangat menekankan pendidikan karakter sejak usia dini. Benar-benar fokus pada masalah etika dan disiplin. Dalam dunia pendidikan jepang, sangat wajar jikalau seorang siswa membersihkan toilet sekolahnya. Bagi dunia pendidikan Indonesia menjadi suatu ketidaklaziman. Dampaknya terasa, Jepang menjadi salah satu negara dengan toilet ternyaman dan terbersih di dunia. Di Indonesia, masalah pertoiletan menjadi masalah klasik dalam hal kebersihannya. Contoh lain pada negara Skandinavia di eropa, pekerjaan rumah (PR) adalah hal yang sangat minim bahkan tidak pernah diberikan kepada siswa. Penekanan karakter menjadi fokus di dalam pendidikan dasar maka tak heran apresiasi atas kejujuran/integritas menjadi komoditas utama pendidikan di sana. Beda dengan Indonesia, PR adalah keharusan, dengan alasan demi peningkatan kompetensi siswa dan bahan evaluasi. Bukan itu saja penguasaan ilmu, khususnya ilmu eksak menjadi kebanggan tersendiri bagi GSO di Indonesia. Tapi hasilnya jauh berbeda, negara-negara seperti Swiss, Swedia, dan Norwegia menjadi negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia, sedangkan Indonesia masih menjadi kelas menengah dalam dunia pendidikan, padahal dari sisi anggaran, dunia pendidikan Indonesia telah dilindungi ketersediannya dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebesar 20% dari total APBN. Bukan hanya kualitas pendidikan, dampak dalam lapangan pekerjaan, alumni atau usia produktif negara tersebut dominan memiliki kemampuan berpikir inovatif, dewasa dalam kritis, dan daya kompetisi/juang di negara-negara tersebut lebih kuat dan memiliki percepatan yang sinergi dengan perkembangan zaman, bahkan dapat lebih, karena sudah terbiasa untuk berpikir dan bertindak visioner atau out of the box.

Kondisi paradigma pendidikan di Indonesia, dapat terlihat juga dari kisah diskusi antara guru negeri kangguru dengan orang tua murid sekolah dasar (SD) Indonesia. Diskusi ini cukup menggambarkan sisi “menggelitik” dunia pendidikan dasar kita. Saat itu, dalam diskusi informal dan sederhana, orang tua murid siswa tersebut begitu mengagungkan keberhasilan anaknya di Indonesia yang berhasil meraih nilai rata-rata 9 (atau dalam dunia pendidikan di Australia sama dengan nilai A) pada mata pelajaran eksak, seperti matematika dan IPA. Uniknya, guru dari negeri kangguru ini tidak begitu tertarik dengan pencapain nilai tersebut. Dia dengan sederhana menjelaskan dalam dunia pendidikan negaranya, persoalan moral, etika, dan pembentukan karakter seperti tepat waktu dan budaya antri menjadi fokus pendidikan di sekolah dasar mereka. Pemahaman ilmu eksak secara khusus baru mulai digeluti pada pendidikan menegah. Dan dampaknya, profesionalisme pekerja di Australia sangat mencengangkan di dunia apalagi menyangkut produktivitas pekerja hingga kepuasan pelanggan/client, padahal jam kerja di Autralia lebih sedikit dari jam kerja di Indonesia. Dan satu kesamaan dari, negara Jepang, Skandinavia hingga Australia adalah rendahnya tingkat korupsi.

Einstein pernah berkata “hanya orang gila yang mau berubah dengan cara yang sama”. Artinya, sejauhmana pendidikan Indonesia bisa membawa perubahan karakter signifikan jikalau menggunakan dengan metode yang sama. Namun, tidak bisa dipungkiri, metodelogi pendidikan di Indonesia makin lebih baik dengan pendekatan andragogi yang lebih luwes. Keluwesan ini tampak dalam kurikulum terbaru, walau akhirnya ditunda dengan alasan kurangnya kompetensi para guru dan cukup banyak waktu bagi siswa untuk menerapkan mata pelajaran yang telah memiliki nuansa tematik. Integrasi ilmu pengetahuan dan penjelasan sikap dalam kehidupan sehari-hari dalam kurikulum terbaru (tematik) adalah hal yang baik untuk memberikan pemahaman dalam membentuk karakter. Namun dengan konsep akuntabilitas diri pada pendidikan dasar, kurikulum diarahkan secara signifikan untuk meletakkan prioritas pembentukan karakter melalui etika, sejarah, dan teladan (erat) sebagai yang utama dan memiliki porsi dominan. Pendekatan akuntabilitas diri meletakkan pembentukan diri sebagai suatu energi untuk mewujudkan revolusi karakter yang diyakini dapat memberikan pengaruh besar bagi kemajuan peradapan bangsa.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dialog: Realitas Akuntabilitas Diri sebagai Akuntabilitas Kuantum

Pernahkah kita membayangkan, jikalau atom yang begitu kecil, tak kasat mata, dapat berubah menjadi energi besar dan berdampak sangat signifikan bagi lingkungan sekitarnya?  Fenomena ini mengingatkan kita pada konsep mekanika kuantum dalam ilmu Fisika. Kuantum merupakan satuan terkecil energi. Teori mekanika kuantum menyatakan setiap elemen alam semesta ini merupakan bagian dari energi quanta, sehingga segala sesuatu yang tampak bagi kita tersusun dari energi quanta  (Max Planck, 1900). Di level quanta, semua benda sebenarnya menyatu dan tidak terpisah. Jika semua benda “diterawang” sampai tingkatan mikro terkecil atau dibelah sedemikian rupa maka akan tampak wujud asli terkecil dari benda tersebut tidak padat, melainkan terdiri dari rongga-rongga yang berisi getaran energi quanta yang bergerak sedemikian cepatnya, sehingga ”terlihat” padat oleh indra penglihatan kita dan ”terasa” padat oleh indra peraba kita. Hal yang menarik dari realitas kuantum ini adalah bahwa pada level yang semakin tak tampak, dalam dan halus ini, terkandung energi maha besar, misalnya energi nuklir. Energi nuklir dihasilkan dalam mekanisme pembelahan inti atom. Bayangkan, bila satu kilogram massa inti yang mengalami pembelahan dapat menghasilkan energi sebesar puluhan juta kilowatt jam (kWh). Ini sama saja dengan energi yang dapat digunakan untuk menyalakan lampu 100 watt selama puluhan ribu tahun. Tidak heran jika efek dari bom nuklir demikian dahsyatnya, karena energi yang dihasilkan memang sangat besar.

Ridhony (2014) menyatakan perubahan realitas kuantum tidak hanya merubah wujud fisik materi itu sendiri, tetapi dapat memengaruhi materi-materi lain di luar dirinya. Hal ini senada dengan pernyataan DePorter, et al, (2010) menegaskan bahwa quantum dapat diartikan sebagai interaksi yang merubah energi menjadi cahaya. Atom yang awalnya tidak terlihat tadi dapat tampak menjadi cahaya dan berguna dalam banyak hal. Kondisi ini menegaskan bawah pencapaian outcome yang besar ini memerlukan perubahan tatanan/struktur diri dengan pengolahan sedemikian rupa.  Pada sisi orbit atom, fenomena kuantum mengambarkan kemampuan elektron untuk melompat dari lintasan orbit satu ke lintasan orbit yang lain tanpa harus kehilangan energinya. Artinya, transformasi dalam diri dalam konsep kuantum mengindikasikan kesinambungan energi yang menyokong perubahan-perubahan selanjutnya. Berdasarkan analogi ini, Ridhony (2014) menyatakan bahwa akuntabilitas diri dapat ditampakkan sebagai realitas akuntabilitas kuantum ketika akuntabilitas diri tersebut mencapai pembentukan karakter diri yang membawa pengaruh kepada orang lain (melompati dimensi di luar dirinya).

 

 

 

Klimaks: Implementasi Akuntabilitas Kuantum dalam Pendidikan Dasar

Akuntabilitas diri atau dapat disebut dengan akuntabilitas kuantum dapat diterapkan dalam pendidikan dasar, namun tidak menutup kemungkinan dalam fase lebih dini lagi yaitu dalam pendidikan anak usia dini (PAUD). Penekanan pendidikan berbasiskan akuntabilitas kuantum ini adalah pendidikan yang mengutamakan pembentukan akuntabilitas diri melalui etika, sejarah, dan teladan (erat). Artinya, bobot terbesar dalam silabus pendidikan dasar bukan lagi yang bersifat pembentukan kognitif semata, melainkan pembentukan karakter. Komposisi yang diharapkan adalah sekitar 85-95% berisi materi tentang erat.  Dalam sebuah penelitian mendalam tentang akuntabilitas pada tahun 2014 yang diberi judul “Akuntabilitas Diri: Quo Vadis? (Sebagai Realitas dari Akuntabilitas Kuantum), dinyatakan bahwa nilai akuntabilitas diri sudah melekat sejak lahir. Eksistensi akuntabilitas diri melekat pada nama yang diberikan orang tua kepada anaknya. Mayoritas orang tua memberikan nama sangat dipastikan tidak asal-asalan atau gegebah, karena umumnya memiliki asa, cinta, dan doa di dalamnya. Penelitian ini mengungkapkan bahwa seorang yang berinisial VZ ini sangat memahami arti nama dirinya dan berdampak dalam setiap pengambilan keputusan dan sikap dalam profesinya. Korelasi pemaknaan nama dirinya semakin kuat dia rasakan ketika nilai-nilai kehidupan lain mulai saling berkolaborasi, mulai dari nilai agama, rona kenangan, hingga pelatihan diri untuk memilih dan melakukan tindakan sama terus menerus. Akuntabilitas diri menjadi menarik karena berkembang bukan hanya terbatas pada relasi antara principle dan agent (vertikal), melainkan dapat bersifat horizontal, antara dirinya dengan nuraninya, dirinya dengan profesi/perannya, hingga dirinya dengan segala pihak setara dan/atau tidak terikat yang membutuhkan/ terkena dampak atas “alasan” perbagai pilihan dan tindakan yang dilakukan. Elemen-elemen akuntabilitas kuantum dapat menjadi motor penggerak revolusi karakter karena pembentukan karakter memerlukan proses dan repetisi yang tidak singkat.

Dalam bayangan saya, jikalau pendidikan berbasis akuntabilitas kuantum ini diterapkan, keutamaan penerapan nilai-nilai etika kehidupan sehari-hari di sekolah. Etika yang tidak perlu rumit. Mulai dari bagaimana menyapa orang, senyum kepada orang, mengucapkan kata-kata mulia seperti “terima kasih, tolong, mohon, hingga maaf”, mengantri, tahu menempatkan diri baik dalam usia yang berbeda hingga lingkungan yang berbeda, termasuk respon positif terhadap sesama dan lingkungan. Jadi, siswa sekolah dasar ketika pertama kali masuk akan disuguhkan dengan pengenalan awal terhadap sekolah, makna sekolah, siapa dirinya, siapa gurunya, siapa teman sekelasnya, hingga mulai berlatih etika dasar tadi. Belajar membaca dan berhitung tetap dibutuhkan di dalamnya, namun bersifat pelengkap. Nilai-nilai integritas, tanggung jawab, persahabatan dan cinta lingkungan sangat dominan di dalamnya, termasuk bagaimana guru dan perangkat sekolah lainnya pun turut andil memberikan contoh penerapan tersebut. Perlu diingat, pembelajaran tentang etika kepada anak bukan sebatas definisi yang mudah dimengerti yang dijabarkan kepada anak, melainkan mengapa dan apa dampaknya ketika kita melakukan tindakan-tindakan etika tersebut sehingga nilai-nilai etika bukan hanya sebagai “instruksi” melainkan sebuah kebutuhan hidup.

Dalam konsep pendidikan ini, PR menjadi hal yang tabu untuk dilakukan. Pendekatan akuntabilitas kuantum ini membawa guru untuk makin berperan dalam berkomunikasi dengan orang tua. Komunikasi antara guru dan murid dapat menjadi hal yang kuat sebagai bahan evaluasi pengajaran dan menarik orang tua untuk ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mekanisme pendidikan. Saya membayangkan betapa senangnya orang tua jika ditelepon oleh Guru dan melaporkan bahwa anaknya sangat baik, berprestasi dan cemerlang dan saya yakin statement positif ini akan memberikan daya semangat orang tua untuk ikut memantau perkembangan anaknya. Maksudnya komunikasi bukan hanya sebatas ketika anak sedang bermasalah, melainkan perlu melaporkan kepada orang tua ketika anaknya melakukan hal-hal yang remarkable sebagai bentuk apresiasi. Nuansa komunikasi yang positif ini jauh lebih efektif membangun kedekatan guru dengan orang tua murid. Kedekatan ini akan membentuk kepercayaan utuh kepada guru bahwa anaknya di tangan yang tepat, sehingga tindak disiplin tidak lagi menjadi hal yang perlu dikhawatirkan oleh orang tua murid. Selain itu, komunikasi ini merupakan sarana guru untuk memantau “repetisi” pelajaran tentang erat yang dia terapkan di kehidupan sehari-hari. Misalnya, guru dapat bertanya kepada orang tua apakah siswa telah mengucapkan salam sebelum berangkat sekolah, atau membersihkan tempat tidurnya setelah bangun. Bahkan, besar harapannya dalam sistem pendidikan dasar, kunjungan langsung guru ke rumah semua murid di akhir pekan dapat menjadi salah satu budaya dalam sistem pendidikan kita.

Saya membayangkan, kunjungan langsung seorang guru ke rumah akan semakin membuat murid dan orang tua merasa terperhatikan. Kegunaannya adalah guru dapat lebih memahami anak didik lebih dalam dan komprehensif sehingga penyelesaian masalah anak dapat mengarah pada root cause. Misalnya, sering kali kenakalan anak disebabkan bukan dari pribadi anak tersebut atau ketidaknyamanan lingkungan sekolah, melainkan faktor bisa terkait antara relasi orang tua dan anak. Tanpa untuk mencampuri urusan keluarga, kunjungan ini memiliki potensi untuk menjadi secercah solusi, baik berupa "bimbingan konseling" antara orang tua dan anak, atau cukup guru sebagai pendengar yang menyejukkan bagi keduanya. Kunjungan ini membuat guru semakin mengenal anak didik dan orang tuanya, sehingga guru dapat menyusun dokumen rekam didik. Rekam didik ini dapat mempermudah pengajar selanjutnya memahami anak dan orang tua. Know your student (KYS) materi penting yang wajib dimiliki oleh setiap guru, dalam hal ini wali kelas. KYS merupakan menjadi langkah awal untuk guru semakin dalam memiliki kesadaran dalam proses mendidik dan pemahaman berprofesi yang makin tajam dan terarah. Oleh sebab itu, komunikasi/kunjungan termasuk di dalamnya penyusunan rekam didik ini dapat menjadi salah satu indikator pemberian tunjangan sertifikasi guru selain standar minimal 24 jam mengajar per minggu.

Selain rekam didik, sekolah dapat membentuk teacher charter yang berisikan kesepakatan antara orang tua murid dan guru dalam memberikan keluasaan/independensi dalam membina anak dengan transparansi bentuk sanksi atau disiplin yang akan diberikan kepada anak sebelum anak masuk dan/atau diterima sekolah dimaksud. Dengan adanya teacher charter, efektifitas dan dukungan orang tua dalam pendidikan dapat meningkat, sehingga orang tua tidak gegabah dalam menerjemahkan sikap atau tindakan guru kepada anaknya, termasuk menjadi batasan yang jelas yang dapat dijadikan pedoman guru dalam memberikan sanksi/tindak disiplin.

Pemahaman etika dan/atau nilai-nilai kehidupan dapat menggunakan pembelajaran dari sejarah bangsa ini. Tidak sedikit siswa pendidikan pertama hingga menengah akan berpendapat pelajaran sejarah sangat membosankan. Tetapi beda dengan siswa pendidikan dasar, mereka cenderung suka membaca cerita dan lebih lagi mereka suka mendengar cerita. Peluang ini harus diambil oleh dunia pendidikan, sehingga di kemudian hari anak-anak bangsa menjadi gemar membaca dan tidak mendiskriminasikan pelajaran sejarah sebagai pelajaran kelas dua. Ciri pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang tidak melepaskan sejarah dari materi ajar yang terkandung di dalamnya.

Di sisi lain, sejarah bangsa ini menjadi penting didengungkan sejak pendidikan dasar karena tidak sedikit warga negara Indonesia melupakan bahwa bangsa ini berdiri karena perjuangan dalam perbedaan. Saat ini, perpecahan terselubung semakin kuat terangkat. Pembeda identitas antara suku, agama, ras, antargolongan (SARA) telah memiliki bibit yang terus menumpuk dalam generasi lintas generasi kini. Buktinya sikap-sikap ekstrimis semakin tinggi. Misalnya, hal yang cukup menyedihkan hati saya ketika membaca curahan hati seorang ibu di media sosial mengenai begitu mudahnya teman sekolah anaknya mengucapkan kata kafir kepada anaknya, dan gurunya hanya diam membisu. Bukan sekedar kata yang digunakan, tetapi ketika diucapkan akan selalu diikuti dengan rasa ketidaksukaan/kebencian. Dan tidak bisa dipungkiri, tidak sedikit oknum guru menjadi pelaku yang serupa baik secara langsung maupuun tidak langsung, baik dalam diskusi informal atau melalui media sosial.

Kondisi ini harus segera ditanggulangi dengan nilai-nilai sejarah kepahlawanan bangsa, termasuk tokoh-tokoh masyarakat yang sudah meneladankan diri sebagai negarawan sejati. Pemahaman sejarah bangsa yang tepat akan mendorong siswa untuk berpikir dan bertindak nasionalis. Nasionalisme adalah jawaban untuk menyatukan persepsi atau paradigma yang berbeda serta mengikis ideologi yang ekstrim dan dapat mengadu domba bangsa ini. Dalam usia yang dini, akulturasi nilai-nilai sejarah masih memiliki ruang yang besar. Pada aspek jangka panjang, nilai-nilai sejarah termasuk di dalamnya etika akan membentengi para siswa mengahadapi ideologi-ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila dan bhineka tunggal ika. Sisi keberagaman dalam budaya Indonesia dapat menjadi metode yang menyenangkan dalam belajar di kelas. Misalnya, kolaborasi angklung dengan belajar membaca, atau congklak dengan menghitung. Sungguh sejarah dan kekayaan budaya kita tidak boleh disia-siakan dan dapat digunakan untuk merevolusikan sistem pendidikan dasar yang mengarah kepada pembentukan karakter. Mekanisme/ metodologi pembentukan karakter adalah kunci dari revolusi karakter itu sendiri.

 

Epilog: Hikayat Bom Atom

Bulan Agustus 1945, Nagasaki dan Hiroshima diluluhlantakkan oleh Amerika Serikat. Kisah ini memberikan dua nilai yang sejalan tentang eksisten kekuatan energi kuanta. Nilai pertama, modifikasi energi kuanta dalam atom yang begitu kecil melahirkan bom atom uranium jenis bedil (Little Boy) dan bom plutonium jenis implosi (Fat Man) yang mengasilkan daya ledak maha besar ketika dijatuhkan di kedua kota besar milik Jepang itu. Namun yang jauh lebih penting adalah nilai kedua yaitu respon kaisar jepang setelah di Bom Atom dijatuhkan. Hari ketujuh setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Kaisar Jepang tidak melakukan pembalasan melainkan menyerah tanpa syarat pada Perang Dunia II (1942-1945). Kaisar Hirohito (bertakhta 1926-1989) berupaya membangun kembali bangsanya yang sudah porak-poranda itu. Ia memerintahkan menteri pendidikannya untuk menghitung jumlah guru yang tinggal dan masih hidup. Setelah mengetahui jumlah guru yang tersisa, Kaisar Hirohito gerilya mendatangi para guru yang tersisa untuk memberi perintah juga arahan.

Ada lima perintah atau arahan yang harus dilaksanakan oleh para guru dan dipercaya dapat membangkitkan serta memajukan negara matahari terbit ini: pertama, guru harus melaksanakan pendidikan yang bermutu; kedua, guru harus lebih disiplin dari murid; ketiga, guru harus lebih berwawasan/pandai dari murid; keempat, pendidikan itu harus bisa menuntun industri; kelima, sebagian guru akan belajar ke luar negeri untuk kembali membangun pendidikan jepang. Kaisar Hirohito sangat tahu energi kuanta untuk membangkitkan kembali kejayaan negaranya yang remuk itu adalah dengan membangun manusia melalui pendidikannya. Hasilnya kini, siapa yang tidak kenal negara Jepang, siapa yang tidak kenal dengan kedisiplinan, layanan prima, kesantunan, kualitas produk, dan profesionalisme rakyat Jepang? Dunia sangat mengenal bahkan dunia menjadikan Jepang salah satu percontohan peradapan manusia yang berkualitas.

Bulan dan tahun yang sama, ketika Jepang hancur porak poranda, Indonesia meraih kebebasannya dari penjajah. Perlu diingat, Jepang memulainya dari kejatuhan dan berhasil gemilang bangkit kembali, sedangkan kita memulainya dari kebangkitan dan sampai saat ini makin berkubang dengan isu SARA dan korupsi yang tak habis-habisnya. Sejarah ini dan batu nisan itu mencatat bahwa pembentukan diri setiap insan manusia adalah kunci dari keberhasilan merubah negeri atau dunia. Pendidikan adalah media yang efektif untuk memenangkan kunci tersebut. Indonesia perlu terus berbenah. Maka, selama masih ada masa dan kesempatan, kita tidak boleh menyerah untuk membangun pendidikan kita, dan berani keluar dari metode yang sama. Semoga pendidikan dasar berbasis akuntabilitas kuantum ini dapat menjadi secercah solusi/inspirasi untuk memajukan sistem pendidikan Indonesia tercinta.

 

Oleh Ridhony Hutasoit

Ikuti tulisan menarik Ridhony Hutasoit lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler