x

Ilustrasi pernikahan. Shutterstock

Iklan

Achmad Hidir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Janda dan Duda dalam perspektif Gender

Janda dan Duda dalam perspektif Gender

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Stereotype jender tentang dua konsep janda dan duda di dalam masyarakat kita tampaknya memiliki makna yang berbeda. Walaupun  keduanya secara sosial memiliki status yang sama namun secara kultural mereka dianggap memiliki nilai yang tidak sama. Konotasi “duda” dalam masyarakat kita selalu dianggap hal yang lumrah tidak ada suatu keanehan, berbeda dengan janda, janda dalam masyarakat kita masih dianggap label yang janggal terlebih jika status janda tersebut diperoleh bukan karena kematian pasangan hidupnya tetapi karena perceraian dengan pasangannya.

Pada hal terjadinya suatu perceraian itu bukanlah selalu satu-satunya kesalahan yang terletak pada kaum perempuan saja. Nakamura (1990)  mengidentifikasikannya ada beberapa sebab yang mengakibatkan hancurnya suatu perkawinan, yaitu karena ; (1) faktor ekonomi, (2) krisis moral, (3) dimadu, (4) meninggalkan, (5)  biologis, (6) ada pihak ke tiga, dan juga (7) karena politik. Ikhwal dari  hancurnya perkawinan itu suka tidak suka membawa  berba­gai konsekuensi, baik pada kaum perempuan (istri),  laki-laki (suami) dan anak-anak (kalau ada).

Namun dalam budaya patriarki yang demikian dominan, hancurnya perkawinan selalu membawa dampak  dan  konotasi negatif bagi  kaum perempuan. Artinya, dari kegagalan perkawinannya itu  yang  berakhir pada  suatu  perceraian menyebabkan  segera  pihak  perempuan beralih  statusnya  menjadi seorang janda. Perempuan yang menjadi janda dalam usia relatif muda dan bukan karena kematian pasangan hidupnya seringkali dianggap sebagai perempuan yang kurang baik dan aneh oleh masyarakat. Maka segera saja bisik-bisik dan gosip tentang sesuatu hal pada seseorang yang berstatus “janda muda” itu akan segera muncul dalam masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Topik pembicaraan tentang janda  memang tampaknya lebih menarik daripada pembicaraan tentang duda, bukti demikian menariknya telah muncul berbagai cerita, anekdot dan bahkan buku humor yang banyak mengeksploitasi seputar kehidupan tentang janda. Cerita humor yang dikemas berupa buku kecil ini seringkali pula humornya selalu mengarah pada hal-hal berbau porno. Anehnya  hampir tidak ada pula buku yang dibuat serupa itu untuk kasus tentang kehidupan duda.

¨¨¨

Ikhwal seperti ini dapat dimaklumi karena di Indonesia masih sangat menjunjung tinggi institusi perkawinan,  maka bila terjadi peralihan status perkawinan seseorang untuk kemudian  menjadi duda atau  janda akan memberi citra yang buruk. Dan citra buruk ini selalu pula  lebih mengarah pada seseorang yang berlabelkan janda. Label janda bagi sebagian masyarakat  masih  dianggap seolah-olah adalah  sam­pah,  bekas pakai, dan tidak layak menjadi seorang istri lagi karena atas kegagalan rumah tangganya dahulu. Artinya, seorang janda  selalu menjadi kambing hitam dari kegagalan rumah tangga. Fenomena ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa  posisi  perempuan selalu  menjadi subordinat  dengan lawan jenisnya yang bernama  pria  itu.

Pada hal kegagalan perkawinan itu tidak seluruhnya  terpikul  pada  pundak  seorang perempuan. Sebab banyak bukti menunjukkan, bahwa justru pihak  laki-lakilah seringkali penyebab perceraian itu, seperti misalnya untuk kasus  di  daerah Riau selama tahun  2015  mencapai  1.558 kasus  perceraian yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan penyebab yang paling utamanya adalah " suami tidak bertanggung jawab ".

Akibat dari perceraian itu, kini mereka menyandang status baru sebagai    “ janda “. Sebagai orang yang berstatus janda,   kadangkala seorang lelakipun enggan untuk menikahinya lagi.  Keengga­nan ini acapkali tidak hanya muncul dari individu si laki-laki  saja,  bahkan dilegitimasi  oleh  pihak keluarganya pula, untuk merasa malu bermenantukan  seorang  janda. Sisi lain, tampaknya masyarakat kita masih mementingkan virginality sebagai sesuatu barang yang harus  dipertahankan  oleh seorang perempuan dan menjadi ukuran langgeng tidaknya  suatu  perkawinan.  Berbeda  halnya  dengan status duda , konsep duda jarang sekali dikaitkan dengan virginality  oleh masyarakat meskipun sebenarnya adalah sama, yaitu sama-sama bekas pakai.

Oleh karena adanya bias persepsi dalam masyarakat seperti itu, tampaknya telah  menyebabkan kaum perempuan untuk menjadi takut berstatus janda. Ketakutan ini cukup beralasan, selain karena faktor budaya  juga terkadang secara ekonomipun perempuan seringkali sangat tergantung pada suaminya. Hasil  penelitian  Kasto  (1982)  menunjukkan   bahwa perempuan  yang cerai atau kematian suaminya cenderung  untuk hidup menjanda. Kalaupun hendak menikah lagi, mereka lebih menyukai  laki-laki  yang pernah kawin  (duda). Sedangkan laki-laki (duda) lebih banyak memilih perempuan  yang  belum pernah menikah  Preferensi demikian, bisa  jadi  karena kaum  laki-laki banyak yang enggan untuk menikahi seorang janda (apalagi telah memiliki anak dari suami pertamanya), selain  juga  karena adanya keengganan  pihak keluarganya untuk memiliki menantu seorang janda. Apalagi bila si laki-laki itu nyata-nyata seorang jejaka yang hendak menikahi seorang janda, maka rintangan yang harus dihadapi si laki-laki tidak sedikit, hal ini karena masih dianggap sungsang oleh sebagian masyarakat kita bila jejaka hendak menikahi janda. Tetapi sebaliknya, bila seorang duda hendak menikahi seorang gadis hal itu dianggap sah-sah saja.

Fenomena lain, tentang stereotype janda dan duda ini dapat diamati dari ukuran cepat-lambatnya menikah kembali antara janda dan duda. Artinya, bila seorang janda itu cepat menikah kembali dan mendahului mantan suaminya dalam memperoleh jodoh untuk yang kedua kalinya seringkali juga hal ini  dianggap sesuatu yang tidak wajar. Maka  dianggapnyalah  seorang janda itu janda yang genit, sundal dan segudang predikat negatif lainnya. Tetapi sebaliknya bila mantan suaminya yang lebih dahulu menikah, hal ini dianggap wajar dan lumrah oleh masyarakat. Pada hal sebenarnya cepat-lambatnya menikah kembali itu tidak selalu ada kaitannya dengan kegenitan dan kesundalan seseorang, semua ini sangat terkait dengan masalah jodoh seseorang.

Oleh  karena  itu, terjadinya perceraian  sebenarnya  obyek  yang paling menyakitkan dan menakutkan bagi sebagian perempuan, karena dampaknya begitu luas dan predikat yang disandangnyapun cukup membuat gerah setiap orang,  karenanya banyak kaum perempuan menyerah dan  rela untuk  " disia-siakan " oleh suaminya asal tidak  dicerai­kan,  meskipun  disertai  dengan  tindak kekerasan. Diidentifikasikan ada beberapa hal yang menyebab­kan perempuan bertahan dalam posisi seperti itu, antara  lain;

  1. Mereka  merasa kasihan pada suaminya,  apalagi  mengingat  adanya nilai masyarakat bahwa  perempuan  itu diharapkan dapat merawat, mencintai dan  memaafkan, masih kuat.
  2. Adanya bujukan dari keluarga atau teman yang memin­ta untuk bertahan demi anak-anak
  3. Faktor ekonomi, artinya perempuan akan merasa  kesuli­tan  bila bercerai dalam hal ekonomi, kecuali  jika ada keluarga yang akan membantu. ( Fentiny dan Yuliarto Nugroho, 1991)

Dalam prakteknya, orang tua yang memiliki anak  perempuan berstatus jandapun ternyata lebih prihatin daripada ia memiliki  anak laki-laki  yang berstatus duda.  Keprihatinan  ini  lebih disebabkan  karena anaknya menjadi single parents. Menurut Wignyosoebroto (1994), di Indonesia, ditaksir jumlah keluarga demikian (sekalipun tak semuanya terjadi akibat perceraian) berada pada  angka 6,5 % dari jumlah total yang ada. Keluarga single  parents seperti  ini tentu saja merupakan ajang hidup yang  sangat kurang menguntungkan, baik secara ekonomi  maupun  secara sosial  secara sempurna. Dilaporkan di kawasan Asia  Pasi­fik,  bahwa insiden kekurangan gizi di kalangan  anak-anak sering  tak hanya disebabkan oleh  tingkat  kesejahteraan keluarga yang rata-rata rendah, akan tetapi juga  disebab­kan oleh penelantaran-penelantaran seperti itu.

Letak ketimpangan stereotype dalam masyarakat terhadap janda juga dapat diamati bila seorang perempuan  berfungsi  sebagai kepala keluarga (misal karena menjanda)  tetapi dalam kenyataan mereka ini sering  tidak masuk dalam hitungan dalam konteks pembangunan. Karena konsep kepala keluarga selalu diukur dengan status laki-laki. 

Ikuti tulisan menarik Achmad Hidir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler