x

9 Oktober 1740

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 22 April 2024 09:59 WIB

9 Oktober 1740

Drama sejarah tentang pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: 9 Oktober 1740 – Drama Sejarah

Penulis: Remy Sylado

Tahun Terbit: 2005

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: v + 198

ISBN: 979-91-0037-2

 

Pembantaian orang Tionghoa di Batavia pada Oktober 1740 adalah sebuah peristiwa besar di Hindia Belanda. Peristiwa ini telah memicu perang panjang antara orang Tionghoa yang didukung oleh orang Jawa di Jawa Tengah melawan Belanda. Namun informasi tentang peristiwa ini sangat minim dalam narasi Sejarah Nasional Indonesia.

Untunglah saya sudah membaca dua buku yang memberikan informasi penting tentang peristiwa ini. Kedua buku tersebut adalah “Geger Pacinan 1740” karya Darajadi dan “Ni Hoe Kong –Kapiten Tiong Hoa di Betawie dalm Tahon 1740.” Buku karya Darajadi mengisahkan tentang perang Tionghoa-Jawa melawan Belanda, sedangkan buku Ni Hoe Kong mengisahkan tentang sang Kapiten yang menjadi korban kejahatan Belanda.

Informasi baru yang saya dapat dari karya Remy Sylado ini adalah adanya konspirasi antara Pemerintah Dinasti Mancu di Tiongkok dengan Pemerintah Hindia Belanda. Pembantaian orang Tionghoa di Batavia tidak lepas dari kesepakatan politik antara Dinasti Mancu dengan Pemerintah Hindia Belanda. Di dua buku yang telah saya baca, informasi ini tidak muncul.

Karya Remy Sylado yang berjudul “9 Oktober 1740” ini menggambarkan drama sejarah perjuangan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Tentu Remy Sylado tidak menulis layanya sebuah naskah sejarah. Remy Sylado menggunakan sejarah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia untuk menggambarkan perasaan hati mereka-mereka yang menjadi korban. Menariknya, Remy Sylado menempatkan seorang tokoh pemuda Belanda sebagai salah satu korban.

Hein De Wit - nama pemuda belanda tersebut, membela bangsa istrinya karena ia melihat bahwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia adalah sebentuk kejahatan kemanusiaan. Ini bukan masalah perang antara ras putih Belanda melawan ras kuning Tionghoa. Namun pilihannya tersebut membawanya kepada nasip buruk. Ia dipisahkan dari istri dan calon anaknya dengan cara dipulangkan ke Belanda. Saat ia kembali dan memutuskan untuk bergabung dengan lascar Tionghoa di Lasem, ia diragukan kesetiannya oleh salah satu pejuang Tionghoa.

Remy Sylado berkisah dengan menggunakan teknik dari panggung ke panggung. Membaca karya ini seakan kita diajak untuk menonton sebuah pertunjukan di panggung teater. Ada 6 babak yang disajikan oleh Remy Sylado untuk menggambarkan Perang Tionhoa – Jawa melawan Belanda. Pertama adalah adegan di Batavia, dimana sang Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier sedang bersoal jawab dengan Karel Dijkstra untuk membahas rencana pembantaian orang Tionghoa. Termasuk rencana untuk mencelakai Hien Nio, anak perempuan Ni Buo San, adik dari Kapiten Ni Hoe Kong.

Adegan kedua berlatar belakang Amsterdam. Adegan dengan latar belakang Amsterdam dipakai oleh Remy Sylado untuk menggambarkan bagaimana Karel Dijkstra merusak Hein De Wit. Hein De Wit adalah suami Hien Nio sekaligus keponakan Wouter Ruyter, tokoh bengis tentara Belanda yang memimpin eksekusi orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. Dijkstra berupaya menjerumuskan Hein De Wit untuk menjadi orang bermoral bejat dengan membawanya ke pelacuran. Hein De Wit dipulangkan ke Belanda oleh Wouter Ruyter dengan alasan supaya bisa sekolah seni. Tapi sebenarnya alasan utamanya adalah untuk menghindarkan Hein De Wit mengetahui perselingkuhannya dengan ibu Hein serta pembunuhan ayah Hein.

Adegan ketiga berlatar Keraton Kartosuro. Remy Sylado menggambarkan Tumenggung Martopuro dari Grobogan bersama Tan Ping Cang, Uy Ing Kiat dan Hien Nio sedang menghadap Susuhunan Pakubuwono II. Tan Ping Cang dan Uy Ing Kiat adalah dua tokoh Tionghoa yang memimpin lascar Tionghoa di Pantai Utara Jawa Tengah untuk melawan Belanda. Melalui adegan yang sangat singkat itu Remy Sylado berupaya menggambarkan sifat Pakubuwono II yang plin-plan dan penuh keraguan.

Adegan keempat memakai latar belakang sebuah desa di pedalaman Tangerang yang menggambarkan tokoh pemuda Tionghoa bernama Lim Tik Hian yang sangat emosional mengajak Ni Bou San untuk ikut berjuang ke Jawa Tengah. Akhirnya hanya Lim Tik Hian dan Hein De Wit yang berangkat ke Jawa Tengah menyusul Hien Nio.

Adegan kelima menggambarkan sebuah kejadian di Lasem. Terlihat bagaimana Tan Ping Cang dan Uy Ing Kiat sedang memimpin latihan perang para prajurit Tionghoa. Remy Sylado menyisipi adegan di Lasem ini dengan cemburu buta Lim Tik Hian terhadap Hein De Wit yang menjadi suami Hien Nio. Kecemburuan Lim Tik Hian dibungkus engan kebencian SARA.

Sedangkan adegan keenam menggambarkan bagaimana Hien Nio, Hein De Wit bertemu dengan Wouter Ruyter beserta Marianne Valentijn Ibu De Wit. Perkelahian antara Wouter Ruyter melawan Hien Nio dan Hein De Wit. Wouter Ruyter yang culas dan licik akhirnya mati di tangan Hien Nio. Di adegan ke enam yang terjadi di Semarang inilah Remy Sylado menggambarkan bagaimana pengkhianatan, cinta, keculasan dan semangat kemanusiaan bercampur dalam sebuah adegan.

Seperti telah saya sampaikan di atas bahwa ini bukan buku sejarah, tetapi sebuah kisah yang dibangun berbasis sejarah. Melalui kisah sejarah inilah Remy Sylado mengajak pembacanya mendiskusikan tentang konsep kejahatan bangsa, kesetiaan kepada bangsa dan kesetiaan pada kemanusiaan serta antara cinta dan kebencian. Memang batas antara cinta bangsa dan cinta kemanusiaan begitu tipis. Begitupun dengan cinta dan kebencian. 830

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB