Udang di Balik Batu, Hubungan Ekonomi Indonesia -China

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kerja sama ekonomi Indonesia-China telah mengalami beberapa kali pergeseran seiring dengan pergantian pimpinan pemerintahan di Indonesia.

Kerja sama ekonomi Indonesia-China telah mengalami beberapa kali pergeseran seiring dengan pergantian pimpinan pemerintahan di Indonesia. Saat Presiden SBY dan Presiden China, Xi Jinping, menandatangani perjanjian kerjasama Oktober 2013 di Jakarta. Hubungan kerjasama cenderung pada bidang perdagangan dan meningkat ke arah seperti infrastruktur, transportasi, energi, keuangan serta pariwisata.

Pada saat pemerintahan presiden Jokowi-JK hubungan Indonesia-China makin mesra dan mempengaruhi pandangan pengamat bahwa Indonesia benar-benar berpaling ke China. Kondisi ini bermula dari pertemuan antara Jokowi dan Presiden China (RRC) Xi Jinping, di sela-sela acara KTT Asia Afrika (KAA) ke-60, di Jakarta Convention Center, 22 April 2015. Presiden Jokowi ingin memastikan China dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, meliputi pembangunan 24 pelabuhan laut, 15 bandar udara (airport), pembangunan jalan sepanjang 1.000 km, pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km dan pembangunan pembangkit listrik (powerplan) berkapasitas 35 ribu megawatt. Ada kesepakatan Indonesia-China terkait bantuan pembangunan infrastruktur tersebut.

Utang RI ke China Semakin Melejit

Dalam bidang keuangan, di bawah era pemerintahan Jokowi-JK, utang luar negeri Indonesia terhadap China tumbuh 56,61 %. Pada Januari 2015 utang Indonesia ke China AS $ 8,55 miliar, sementara per Januari 2016 tumbuh menjadi AS $ 13,65 miliar, melejit 59 %.

Dari lima kreditor besar terhadap Indonesia, tercatat hanya utang Indonesia ke China dan Jepang yang mengalami kenaikan. Investasi China di bidang keuangan dan infrastuktur, terutama pelabuhan, akan bermanfaat bagi China dari segi geopolitik dan geostrategis China. China memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke Hongkong, Shenzhen, Guangzhou dan pelabuhan China lain agar tetap terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin “String of Pearl” China dengan gagasan dasar, yakni sebagai doktrin penguasaan maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah melewati Laut China Selatan.

China Memanfaatkan Indonesia

Berdasarkan skema China tentang penguasaan geopolitik jalur sutra, Indonesia termasuk mata rantai penting menjadi sasaran strategis dan perang asimetris China melalui investasi dan bantuan keuangan (utang), termasuk pembangunan infrastruktur.

Pada sisi lain China memiliki kepentingan untuk memecahkan masalah utangnya sendiri. Sebuah sumber menggambarkan bahwa kondisi ekonomi China tidak menggembirakan karena ekonomi China tengah berada di bawah tekanan utang raksasa senilai US$28,2 triliun atau sekitar Rp. 366 ribu triliun. Jumlah utang China ini 100 kali utang luar negeri Indonesia. Utang China meningkat pesat sejak 2007 atau mengalami peningkatan mencapai US$ 20,8 triliun. China menguasai dua pertiga dari peningkatan utang global dalam rentang waktu 2007-2014 sebesar US$ 57 triliun.

Kini utang ekonomi China mencapai 286% terhadap GDP negara China dan jumlah ini akan terus meningkat dengan kata lain pertumbuhan ekonomi China terus merosot. Semula sempat pertumbuhan 7%, tahun 2017 diperkirakan hanya akan tumbuh 6%. Diperkirakan, sangat mungkin pada tahun-tahun mendatang mencapai hanya sekitar 4 %.

Sejumlah pengamat ekonomi internasional menilai, kondisi ekonomi China merupakan “alarm” atau peringatan bagi ekonomi global karena jika utang raksasa China jatuh, maka krisis 2008 yang melanda ekonomi AS akan terulang di China dan akan sangat berdampak negatif terhadap negara-negara Asia, termasuk Indonesia.

Dengan melakukan investasi di Indonesia sesungguhnya selama ini China memanfaatkan Indonesia yang menyerahkan semua proyek infrastruktur raksasa kepada China. Bagi China, Indonesia adalah “pelampung penyalamat”.

Dengan memegang “kontrak” infrastruktur dengan Indonesia, beserta hak atas tanah, maka China bisa mengagunkan atau menggadaikan kontrak tersebut ke pasar keuangan global dan membentuk kembali gelembung keuangan China. Infrastruktur raksasa seperti tol laut, tol darat,  pelabuhan  laut, bandara, kereta api, monorel, MRT dan lain-lain untuk digadaikan.

Pada 14-15 Mei 2017 diadakan KTT One Belt One Road (OBOR) atau KTT Jalur Sutera di Beijing, China. Dihadiri 20-an negara. Era pemerintahan Jokowi mewakili negara Indonesia hadir dengan menawarkan proyek infrastruktur senilai hingga US$ 35 miliar atau sekitar Rp 465 triliun (kurs US$ 1 = Rp 13.300). Proyek ditawarkan ini diarahkan pada skema business to business dan melibatkan BUMN Indonesia. Lokasi proyek semua di luar Pulau Jawa.

Uraian di atas menunjukkan China telah berhasil memenuhi kepentingan di Indonesia. Politik luar negeri Indonesia sudah membuka diri seluas-luasnya untuk bekerja sama ekonomi terutama pembangunan infrastruktur di Indonesia. Indonesia mulai condong ke China ketimbang AS dan Barat dalam kerja sama ekonomi pada umumnya.

Manfaat telah diperoleh China dalam kerja sama ekonomi, antara lain telah diperoleh sejumlah kontrak infrastruktur yang dapat diagunkan atau digadaikan ke pasar keuangan internasional. Hal ini salah satu solusi China mengatasi krisis utang China dan membentuk kembali gelembung keuangan China yang sekarang ini semakin “kempis”.

Rakyat Indonesia harus paham posisi keuangan China ini agar tak mudah tertipu atas propaganda atau kampanye publik yang seakan-akan Indonesia mendapat manfaat setara dengan China.

Bagikan Artikel Ini
img-content
abdul hakim

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler