x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dua Abad Kebun Raya Bogor, Mau Kemana?

Kebun Raya Bogor dapat berkontribusi lebih besar dalam mendongkrak tingkat melek sains masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Tatkala Profesor Reinwardt—botani berkebangsaan Jerman, bukan Belanda—mengunjungi Nusantara, ia mengagumi benar kekayaan tanaman kita. Begitu beragam, demikian beraneka. Kekaguman serta rasa ingin tahu ilmiahnya yang besar menguarkan gagasan untuk membangun sebuah kebun raya di negeri tropis: “Bagaimana jika contoh-contoh tanaman yang tersebar di berbagai pulau ini dihimpun di satu tempat.”

Kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, Baron van der Capellen, Reinwardt mengusulkan pembangunan kebun raya di daerah Buitenzorg alias Bogor sekarang, di belakang kantor Gubernur. Usul ini diterima. Dimulailah pemancangan patok pertama Kebun Raya pada 18 Mei 1817—jadi, kebun besar ini sudah berumur 200 tahun, terhitung sebagai tertua ketiga di dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbekal sekitar 900 jenis tanaman hidup, kebun raya ini diarahkan untuk jadi pusat konservasi tumbuhan, penelitian, pendidikan lingkungan, jasa lingkungan, serta tempat wisata. Jumah koleksinya kini telah mencapai sekitar 13 ribu yang ditanam di lahan seluas 87 hektar—sebuah koleksi yang sangat besar. Sebagai tujuan wisata, Kebun Raya Bogor tergolong diminati, tapi sesungguhnya kebun ini dapat berperan lebih dari sekedar tempat wisata.

Dengan usia yang memasuki dua abad, Kebun Raya Bogor dapat berperan lebih besar dalam edukasi sains kepada masyarakat. Dalam konteks pengajaran sains, botani khususnya, Kebun Raya Bogor—maupun kebun-kebun raya lainnya—dapat berkontribusi dengan memberi sudut pandang lain dalam pengalaman belajar siapapun. Mengamati langsung beraneka tanaman berpotensi memberi pencerahan bagi siapapun tentang beraneka tanaman.

Siswa sekolah, misalnya, dapat berinteraksi langsung dengan beragam tanaman. Siswa dapat melihat sendiri bentuk pohon, daun, dan buahnya bila ada, bunganya, warna, cara tanaman berkembang, hingga aroma—unsur yang jelas sukar diperoleh di ruang-ruang kelas bila guru tidak membawa serta contoh. Pengalaman berinteraksi langsung dengan tanaman semestinya dipandang sebagai bagian penting proses belajar sains, sedangkan teks yang dipelajari di kelas menyediakan ruang konstruksi mengenai hal-hal seperti klasifikasi tanaman.

Kekayaan keragaman botani kita perlu terus diperkenalkan kepada masyarakat, kekayaan yang membuat seorang naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace nekad mengarungi lautan dari negerinya ke wilayah Nusantara. Ia mengunjungi puluhan pulau besar dan kecil dan terpana oleh kekayaan hewan dan tanaman di sini. Anak Indonesia jarang mengetahui bahwa Wallace menemukan apa yang disebut ‘teori seleksi alam’ berbarengan dengan Charles Darwin yang mengandalkan risetnya di Pulau Galapagos, Amerika Selatan. Nama Darwin selalu disebut-sebut sebagai penemu teori ini, sedangkan nama Wallace baru akhir-akhir ini lebih diakui—seandainya kita lebih melek bahwa Wallace melakukan penelitiannya di kepulauan Nusantara.

Kisah-kisah petualangan mendebarkan yang dilalui Wallace dalam mengarungi lautan untuk menuju kepulauan Nusantara berpotensi membangkitkan rasa ingin tahu anak Indonesia terhadap kekayaan alam negerinya. Belajar sains dengan gaya klasik di ruang kelas hanyalah satu cara, dan terdapat banyak cara lain yang bisa menopangnya, seperti belajar sains melalui film, alat peraga yang dapat dibuat sendiri, melalui biografi ilmuwan, bahkan belajar melalui komik bergambar.

Melalui kekayaan koleksi botaninya, Kebun Raya Bogor juga dapat berkontribusi dalam mendongkrak literasi sains masyarakat kita. Tur keliling kebun raya bersama pemandu yang paham akan koleksinya, ceramah langsung oleh ilmuwan mumpuni di bidang botani, pemutaran film mengenai kekayaan botani kita serta rahasia-rahasia di dalam masing-masing tanaman niscaya akan mendorong minat masyarakat terhadap sains.

Kita memerlukan upaya-upaya ekstra bila ingin meningkatkan literasi masyarakat kepada sains yang saat ini terbilang rendah dibandingkan negara-negara lain. Ruang-ruang kelas di sekolah tidak memadai dan mungkin cenderung membosankan anak didik. Pengalaman langsung dalam mengamati bentuk, warna, maupun aroma tanaman akan membangkitkan semangat dan rasa ingin tahu. (Foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler