x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orang-orang Kecil yang Terlupakan Sejarah

Sejarah orang kecil dalam Novel Pram: Di Tepi Kali Bekasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Di Tepi Kali Bekasi

Penulis: Pramoedya Ananta Toer

Tahun Terbit: 2003 (cetakan ke 5)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Lentera Dipantara

Tebal: 262

ISBN: 979-97312-2-9

 

Meminjam ucapan Muhidin M. Dahlan dalam pengantar, bahwa sejarah sering hanya mencatat kisah-kisah heroik para tokohnya dan melupakan mereka-mereka yang anonim dan benar-benar menderita akibat peristiwa sejarah tersebut. Padahal para anonim, si rakyat jelatanlah yang sebenar-benarnya menjadi korban dalam peristiwa sejarah tersebut. Merekalah yang sebenar-benarnya mengalami kekalahan dan tidak pernah menang. Meski sejarah selalu menciptakan para pemenang, para hero, tetapi rakyat jelata selalu pada pihak yang kalah dan dilupakan. Rakyat adalah orang-orang yang tak pernah merancang arah sejarah, tetapi begitu saja terlibat dalam jalannya sejarah. Meski akhirnya rakyat memilih untuk mendukung salah satu pihak yang bertikai, tetapi meski pihak yang didukungnya menang, rakyat selalu berada pada pihak yang terkorbankan, kalah dan menderita.

Meski demikian, menuliskan kisah para rakyat jelata yang terlibat dalam arus sejarah adalah sebuah kemuliaan. Sebab dengan menuliskan kisah-kisah remah ini nuansa proses sejarah yang sesungguhnya menjadi muncul ke permukaan. Tidak penting apakah nama-nama yang dituliskan tersebut akurat. Tidak penting apakah keterlibatan mereka para rakyat jelata ini persis sesuai kronologisnya. Sebab rakyat jelata memang anonim dan nirkala. Demikian pun dengan novel “Di Tepi Kali Bekasi” karya Pramoedya Ananta Toer ini. Novel ini mengisahkan rakyat jelata yang harus memilih untuk berada di wilayah Republik atau berada di wilayah Belanda. Kisah orang-orang tua yang penuh pertimbangan dan kisah anak-anak muda yang berkobar-kobar. Kisah tentang rakyat jelata yang harus berdesakan dalam kereta dan kisah orang-orang biasa yang mencoba mencari rejeki di tengah suasana chaos.

Pram memilih nama-nama tokohnya adalah nama-nama rakyat jelata, seperti Farid, Surip, Amir, Zuleka. Mereka bertiga mewakili anak-anak muda yang berhasrat menjadi tentara untuk membela Republik. Sedangkan Zuleka adalah sosok perempuan muda yang harus bekerja keras melintas wilayah untuk berdagang. Farid pergi meninggalkan ayahnya naik kereta menyeberang ke wilayah Republik di Cikampek. Di kereta ia bertemu dengan dua temannya Surip dan Amir. Ketiganya bergabung dengan banyak pemuda yang melamar menjadi tentara.

Apakah benar dalam peperangan di Bekasi tahun 1945 ada tentara bernama Letnan Dua Amir yang gugur? Jika benar, apakah beliau adalah Letnan Dua Amir yang bapak dan ibunya serta adiknya dibunuh tentara Nica? Dan jika pun betul, apakah beliau adalah pacar dari Nany seorang indo Perancis yang kemudian mengabdikan diri sebagai anggota palang merah? Semua itu menjadi tidak penting karena  Amir adalah representasi dari kecintaan rakyat terhadap kemerdekaan yang sudah diproklamirkan. Demikian pun dengan seorang prajurit yang kakinya luka yang bersedih karena orangtuanya yang berada di Jakarta tak bisa mendapatkan pasokan beras lagi. Orang-orang yang dikisahkan oleh Pram adalah para rakyat jelata yang menjadi korban arah sejarah.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Farid, seorang pemuda berumur 17 tahun. Ia memilih bergabung dengan tentara karena tertarik untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia berhasil dalam karier awalnya sebagai tentara. Keberhasilannya menjebak tentara NICA di Bekasi membuatnya mendapat cuti selama satu minggu. Ia segera pulang ke Jakarta untuk menemui ayahnya tang telah ditinggalkannya selama 6 bulan tanpa khabar berita. Namun sayang, saat ia sampai di rumahnya, ia tidak menemukan ayahnya. Rumahnya kosong. Melalui Ibu Saleh, tetangganya, Farid mengetahui bahwa ayahnya telah dirampok oleh perampok yang membawa truk. Semua harta ayahnya diambil perampok, dan ayahnya ditemukan dalam kondisi terikat di lantai. Seminggu setelah perampokan, ayah Farid berpamitan untuk mencari Farid ke Cikampek, namun ternyata ayah Farid malah menjadi pegawai NICA. Keterampilannya sebagai penjahit dimanfaatkan untuk melamar sebagai pegawai NICA. Farid sungguh kecewa dengan keputusan bapaknya tersebut. Farid pun segera meninggalkan Jakarta saat bapaknya tertidur karena kelelahan. Farid sangat kecewa terhadap bapaknya. Sayang sekali kisah psikologis antara Farid dengan bapaknya ini kurang tuntas dieksploitasi oleh Pram.

Novel ini juga dibumbui dengan kisah percintaan para tentara. Amir sang Letnan Dua telah berpacaran dengan Nany, seorang indo Perancis. Sayang Amir meninggal cepat. Nanny yang memutuskan untuk tidak kembali ke Jakarta akhirnya tinggal di rumah Surip. Surip, seorang tentara yang sekaligus tukang catut memang tertarik pada Nany. Tetapi Nanny dan Farid malah saling jatuh cinta. Ketika Surip akhirnya harus mengganti uang yang hilang (dipakainya) ia harus meninggalkan Nany di Cikampek. Dalam tugasnya Farid tertarik pada Safiah. Namun ia ragu, apakah ketertarikannya kepada Safiah itu sekedar nafsu atau cinta. Bagaimana dengan cintanya kepada Nanny?

Sayang sekali bahwa novel ini tidak tuntas. Dua pertiga bagian depan dari novel ini telah hilang. Sebab, seperti dijelaskan oleh Pram di akhir buku, sesungguhnya novel yang terbit ulang ini hanya sepertiga dari novel aslinya. Novel aslinya telah lenyap karena disita oleh Nefis pada saat penerbitannya yang pertama.

Sangat menarik untuk melihat sejarah dari peran rakyat jelata. Sebab rakyat jelata bukanlah orang-orang yang hidupnya hanya tertuju pada suatu tujuan politik saja. Mereka harus memikirkan perut. Novel ini menunjukkan bagaimana perjuangan rakyat antara urusan kemerdekaan dan urusan perut. Dalam perjuangan sering ada rakyat yang harus berjuang untuk perut dengan segala keterbatasannya. Ada yang harus mengorbankan kehormatannya supaya keluarganya tetap bisa mendapatkan makanan, seperti yang dilakukan oleh para perempuan penjual beras. Mereka ini rela untuk memenuhi kebutuhan biologis tentara, laskar atau siapa saja yang bersenjata supaya beras yang dibawanya bisa lolos ke Jakarta.

Jadi, ke manapun arah sejarah, rakyat harus menerima kekalahannya. Meski sebagian dari mereka berhasil keluar menjadi pemenang, namun kemenangannya adalah semu. Sebab di balik kemenangan dalam peperangan tersebut, korban di sisi rakyat sangatlah besar.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu