x

Iklan

Erick Mubarok

Ghost writer | Penyuka sejarah | Penonton dagelan | Gooner dan Bobotoh
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kafir dari Tukang Vonis

Bukankah persaudaraan lebih berharga dari pertentangan? Jangan terlambat, hingga kemudian Tuhan menganggap kita sebagai kaum tercerai berai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebelumnya mari kita satukan frekuensi agar bahasa dalam tulisan ini dapat diterima dengan persepsi yang sama. Meski itu sulit dan saya meyakini pasti tetap saja ada yang offset menilai tulisan ini.

Tulisan ini adalah bentuk kekhawatiran saya sebagai Muslim dan Warga Negara Indonesia atas maraknya sikap kebanyakan orang ditataran akar rumput, terutama sejalan dengan meningkatnya penggunaan media sosial yang meningkatkan pula ujaran kebencian, bullying, persekusi baik dilakukan personal atau kelompok, hal ini sangat berpotensi terjadinya ‘perang horisontal terbuka’. Maka itu, bahasan yang saya bahas hanya berkutat pada konteks sisi kemanusiaan, pentingnya menjaga keutuhan sebagai warga yang menjejaki Bumi Pertiwi dan bagi kalangan muslim merupakan manifestasi keimanan untuk berlaku, berhimpun sebagai saudara.

***

Sosial media seperti Facebook, Twitter atau Instagram telah menjadi magnet semua kalangan. Perannya pun tidak sebatas menjadi media untuk menampung ekspresi seseorang di tengah aktivitas keseharian, media sosial dengan masyarakat digitalnya seolah menjadi solusi kebutuhan hausnya pengakuan bagi seseorang. Di era tumbuhnya generasi Z, ini menjadi gila, maka tak heran kita temukan kasus seorang remaja menipu dengan modus meminjam uang ujung-ujungnya diperuntukan untuk plesiran ke belahan dunia. Eksistensi menjadi barang mahal ditengah kondisi kemasyarakatan yang serba dibatasi bingkai privatisasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebetulnya, kalangan tertentu sudah sangat pandai memanfaatkan media sosial sebagai peluang meningkatkan level target kepentingan. Misal bagi pebisnis, media sosial menjadi pendongkrak market yang bisa menghemat berkali-kali lipat modal jika dibandingkan dengan offline market. Apalagi saat ini hampir semua bisnis yang maju berbasis digital, skalanya tidak hanya dari kalangan pelaku bisnis kelas besar, pelaku UMKM pun didorong oleh pemerintah untuk memajukan sektor usahanya.

Peluang itulah yang kemudian melahirkan industri model baru yakni ‘industri buzzer’. Beberapa targetnya misalnya bagaimana membangun dan memenangkan persepsi, opini, citra dan branding di masyarakat terhadap suatu produk, bisa produk berbentuk fisik ataupun personal/lembaga itu sendiri. Catatanya, industri ini lebih sering bertindak secara lebih frontal. Pelakunya memang tidak semua berbentuk badan hukum resmi, bisa personal, intinya bertanggungjawab menggerakan massa di dunia maya yang kemudian dapat berimplikasi di dunia nyata. Maka sejak perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, menjadi titik awal kita mengenal istilah buzzer.

Hebatnya, misi mereka memang berhasil mempengaruhi khalayak. Namun sayangnya juga, ihwal tersebut menimbulkan efek negatif, kita terjebak permainan perusahaan penggerak buzzer atau kelewat dan salah memaknai opini yang dibangun sehingga menimbulkan huru-hara sosial di dunia maya, bahkan tak jarang sampai perselisihan di dunia nyata. Bentrok teman lama bahkan saudara akibat beda pandangan politik. Keutuhan persatuan NKRI terancam. Agama, ras, suku menjadi isu sensitif, memiliki permukaan tipis, mudah robek, mudah disulut oleh trigger yang sengaja dibuat. Sampai kapan kita terjebak dalam kondisi seperti ini?

Barangkali jika menarik benang merah secara pandangan pribadi, ada dosa Pilpres 2014, entah siapa yang mesti dihakimi. Yang kemudian terpolarisasi menjadi dua kubu pro dan kontra, fanatisme akut lalu menyeret pada persoalan-persoalan baru: Al Maidah 51, HRS, Afi, dan sederet lainnya.

Lalu, apakah ‘industri buzzer’ patut kita salahkan?

Pertanyaan itu akan selesai jika kita menepikan egoisme personal, egoisme sektoral, dan lebih memilih mengedepankan nilai-nilai luhur persaudaraan sebagai bangsa. Tidak peduli anda sebagai apa, tidak peduli agama anda apa, tidak peduli anda berasal dari suku mana, tidak peduli berapa umur anda dewasa atau remaja, tidak peduli apa profesi anda; satu yang pasti kita adalah saudara!

Maka, perbedaan pandangan, utamanya menyangkut politik hanya ada dalam batas diskusi, momennya. Setelah itu, ya selesai. Memang ini diperlukan sikap kelapangan dada. Mungkin ada nilai harga diri yang barangkali harus disisihkan terlebih dahulu. Siapkah kita? Demi NKRI kenapa tidak!

Akhirnya, jika prinsip itu tidak kita pegang, akan terjadi friksi yang lebih lebar dan lebih luas tanpa batas. Munculah kemudian penghakiman massal, perang vonis dadakan antar kedua pihak yang tak sependapat, dianggap melawan agama, dikatakan anggota kelompok liberal, dilabeli kafir, dicap antinasionalis, antipancasila, bullying, persekusi. Anda dapat manfaat apa dari itu semua? Kita hanya makhluk-makhluk yang akan mendapat vonis, bukan pemvonis!

Pada akhirnya jika Indonesia bubar akibat kepentingan persaudaraan sebagai bangsa dikalahkan oleh pandangan kelewat batas yang dominan oleh egosime sektoral, maka, kita tanpa kecuali, adalah generasi pendosa bagi bapak-bapak pejuang dan pendiri bangsa. Jangan sampai, Sang Maha Kuasa menganggap kita sebagai kaum tercerai berai yang tak mampu menjadi khalifah di tanah kaya Indonesia. Padahal Tuhan mengutuk kaum yang tercerai berai.***

Ikuti tulisan menarik Erick Mubarok lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler