Kisah Kehidupan Pendidik Bangsa

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Keras tapi tidak kasar, demikianlah ciri khas dari kepribadian Ki Hadjar Dewantara.

Siapa yang tidak kenal Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara? Guru Bangsa dan Pahlawan Nasional yang telah berjuang keras demi kemajuan bangsanya. Dia berjuang keras agar para inlander juga bisa mendapat pendidikan layak. Dan kelak, untuk menghormati perjuangannya, bertepatan dengan kelahirannya, setiap 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Aku dilahirkan pada hari Kamis legi, 2 Ramadhan 1309 H, atau tanggal 2 Mei 1889 M. Kedua orang tuaku memberi nama Soewardi. Karena aku termasuk keturunan pangenan kadipaten Puro Pakualaman, maka aku juga memiliki gelar kebangsawanan menjadi Raden Mas Soewardi (hal. 38).  

Keras tapi tidak kasar. Demikianlah ciri khas dari kepribadian Ki Hadjar Dewantara yang diakui oleh teman-teman seperjuangannya. Kesetiaannya pada sikap dan idealismenya selalu tergambar jelas dalam setiap tindakan dan kiprahnya. Meskipun secara fisik terlihat ringkih, tapi semangat juangnya menggelora.

Pidato-pidatonya yang lantang dan bergelora, menjadi pembangkit persatuan rakyat Indonesia. Meskipun berulang kali ditangkap dan dipenjara, tapi semangatnya untuk membela kepentingan jelata tak pernah padam (hal. 31). Sebuah karakter yang mencerminkan pengalaman pribadinya yang menjadikan setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.

Setelah kembali dari pengasingan, pada tahun 1919, Ki Hadjar mulai tertarik dan terpanggil untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Berangkat dari impian dan cita-cita luhurnya itu, pada 3 Juli 1922 Ki Hadjar dan teman-teman seperjuangannya mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (hal. 33).

“Mengingat pentingnya pendidikan untuk masa depan, pernah membuatku selalu memikirkan Sariman dan teman-temannya yang hanya berasal dari kalangan jelata. Apakah anak-anak yang terbiasa dengan kehidupan kasar itu bersedia jika kuajak sekolah? ‘Tentu saja aku ingin sekolah Denmas, seperti sinyo-sinyo Belanda itu,’” Kata Sariman (hal. 74).

Ki Hadjar Muda tak kuasa menyaksikan anak-anak bumiputera terampas kebebasannya dalam menuntut ilmu. Sejak kecil Ki Hajar Dewantara  mendapat pemahaman, manusia itu memiliki kedudukan sederajat di hadapan Tuhan. Maka, selain mendidik daya pikir dan nalar, Ki Hajar  juga menekankan pendidikan budi pekerti, agar karakter anak  terbentuk secara baik dan  berkembang menjadi manusia berbudi pekerti mulia.

Sistem pendidikan kolonial yang berdasarkan pada budaya Barat, jelas-jelas tidak sesuai dengan kodrat alam anak-anak Indonesia. Sistem pendidikan kolonial yang cenderung memaksa dan memberikan ancaman hukuman harus diganti dengan jalan memberikan kemerdekaan dan kebebasan berpikir yang seluas-luasanya kepada para peserta didik, dengan tetap memperhatikan tertib damainya hidup bermasyarakat (hal. 368).

Mendidik dan mengenalkan mereka pada ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan. Agar di kemudian hari mereka menjadi manusia-manusia tangguh secara lahir batin. Lebih dari itu, aku berharap agar anak-anak yang masih polos itu kelak akan menjadi pribadi-pribadi yang penuh semangat, cerdas, dan memiliki tekad yang kuat untuk membela harga diri bangsa dan tanah airnya (hal. 333).

Tujuan didirikannya sekolah Tamansiswa, adalah mendidik anak-anak inlander dengan sistem pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia (hal. 479). Anak-anak itu harus digembleng dengan sistem pendidikan yang selaras dan sesuai dengan budaya kehidupan bangsanya. Jika pendidikan anak-anak tidak didasarkan pada semangat nasionalisme, otomatis anak-anak itu tidak akan pernah memiliki rasa cinta terhadap bangsa dan negaranya. Tidak memiliki kepedulian untuk membela dan menjaga tanah airnya, tanah tumpah darahnya.

Selain semboyan Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani, ada 3 tujuan utama Ki Hadjar mengembangkan pendidikan. [1] Hamemayu Hayuning Sariro, memberi pendidikan yang bermanfaat bagi anak didik dan keluarganya, memiliki kemandirian dalam belajar dan tidak bergantung orang lain. [2] Hamemayu Hayuning Bongso, memberi pendidikan kepada seluruh rakyat bangsa, yang membawa manfaat besar bagi nusa dan bangsa. [3] Hamemayu Hayuning Bawono, memberi pendidikan yang berguna demi kepentingan dunia (hal. 532). Pendidikan dalam pandangannya adalah ikhtiar mengajak manusia menjadi pribadi yang mandiri, tidak bergantung kepada orang lain, baik secara lahir maupun batin.

Ki Hadjar yakin, jika anak-anak itu diberi pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsanya sendiri, maka wawasan dan pengetahuan mereka akan semakin luas. Sehingga hal itu akan mendorong kesadaran mereka akan kemerdekaan jiwa dan raga.

Haidar Musyafa, penulis buku ini, berhasil menghidupkan kembali seorang Guru Bangsa melalui novel biografi yang cerdas, sarat makna dan inspiratif. Mencerahkan, utamanya bagi generasi muda bangsa Indonesia saat ini. Buku ini  juga layak dijadikan tuntunan yang wajib dibaca oleh semua stake holder pendidikan, baik pemerintah, sekolah, universitas, hingga masyarakat umum.

 

*Tulisan ini juga pernah dimuat di Harian Koran Jakarta, 30 Juni 2017. http://www.koran-jakarta.com/kisah-kehidupan-pendidik-bangsa/

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ahmad Fauz

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Kisah Kehidupan Pendidik Bangsa

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler