x

Iklan

indri permatasari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Galaumu itu Lebay Dék

Dibalik gegap gempita perayaan tradisi mudik lebaran, ada orang-orang yang tidak bisa merasakan nikmatnya berlebaran di kampung halaman tepat pada waktunya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ramadan kali ini bagi saya seperti balapan, tak terasa tiba-tiba sudah hampir lebaran. Entah apa saja yang sudah saya lakukan di bulan suci ini, tapi sepertinya koq semua hanya demi eksistensi duniawi semata. Tapi ya mau bagaimana lagi, semoga akan selalu ada permakluman untuk seorang mahluk yang notabene hanya bisa nguli untuk mengais rezeki.

Ngomong-ngomong soal lebaran yang siap menghadang, tentu saja tak bisa dilepaskan dari yang namanya mudik. Ritual akbar tahunan yang satu ini memang selalu menyita perhatian masyarakat Indonesia, bukan hanya umat islam saja namun juga untuk umat beragama lain, tak hanya di pulau jawa saja, tapi juga hampir di seluruh penjuru nusantara meski dengan kuantitas yang berbeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai mahluk perantauan yang sudah nunut hidup di Jakarta namun tak kunjung kaya jua, tentu saja saya harus ikut meramaikan acara balik kampung ini dengan penghayatan dan pengamalan yang maksimal. Alkisah hampir 3 bulan yang lalu, saat PT. KAI mengumumkan pembukaan pembelian tiket lebaran, saya bersama dengan (mungkin) ribuan manusia pecinta sepur lainnya bersama-sama rebutan membeli tiket yang akan mengantarkan kami bertemu dengan handai taulan dan sanak saudara di kampung tercinta.

Acara rebutan tiket kereta api sekarang memang sudah tidak semengerikan dulu yang ditandai dengan  dorong-dorongan di depan loket stasiun hingga banyak manusia tumbang pingsan kelelahan dan kekurangan oksigen. PT. KAI sudah mereformasi diri dengan model pembelian tiket on-line di beberapa laman yang bisa diakses dari mana saja sepanjang sinyal internet ada. Namun sama halnya dengan tahun sebelumnya, setiap masa penjualan tiket lebaran hampir bisa dipastikan ada acara ngadat di sistim yang entah disebabkan karena blokiran genderuwo atau mahluk astral yang mana lagi. Tapi ya sudahlah, yang penting drama itu sudah berlalu dan saya berhasil mendapatkan tiket balik kampung meski bukan dengan kereta kesayangan.

***

Konon ketika seseorang sudah berhasil dapat tiket sepur, maka sempurnalah acara mudiknya dan ia pun bisa dan berhak menyombongkan keadaannya kepada orang lain, manusia berpesawat pun kalah gengsi lah kalau sudah menyangkut mudik lebaran. Begitu pula yang terjadi dengan saya. Dengan jumawa, saya pun pamer sana sini sambil cengingisan dengan tak lupa (pura-pura) berempati kepada teman lain yang gagal berkereta ria dan terpaksanya harus menempuh jalan darat dengan kendaraan beroda empat.

Menilik jadwal cuti bersama yang masih mengharuskan masuk di hari jumat dan Idul Fitri yang kemungkinan besar jatuh di hari minggu tentu saja membuat para pemudik jarak jauh (jawa tengah-jawa timur) yang menggunakan mobil cukup ketar-ketir. Dengan memperhitungkan kemacetan yang tak pernah masuk akal, bisa-bisa mereka tak akan berhasil berlebaran di kampung halaman tepat pada waktunya. Saya sih cengar-cengir saja membayangkan hal itu, maklum saya bukan orang baik yang bisa dengan mudah bahagia di atas kebahagiaan orang lain.

***

Dengan kesombongan yang hampir paripurna karena merasa nasib lebih beruntung daripada para pemudik bermobil, hati saya menjadi mak tratab ketika secara mengejutkan dan hampir tanpa desas desus sebelumnya, tiba-tiba saja Pak Joko (ini Pak Joko yang presiden, bukan tetangga saya) mengeluarkan sebuah keputusan lewat Keppres No. 18/2017 yang kalau diringkas isinya menjadikan hari Jumat sebagai cuti bersama. Peraturan ini sontak disambut dengan gemuruh kebahagiaan bagi sebagian besar para pegawai plat merah.

Kemudian bagaimana dengan saya? Sebagai bagian dari yang terkena dampak aturan penambahan cuti satu hari itu, hati saya ambyar berkeping-keping. Padahal seharusnya saya malah harus bersyukur karena liburnya nambah, tapi saya rasa semua hal baik itu percuma saja, lha wong saya baru bisa mudiknya di hari sabtu. Dan yang lebih bikin mak nyut-nyut di hati adalah sebagian besar manusia pemudik bermobil yang beberapa waktu lalu saya anggap sebagai kaum yang merana lha koq mak bedundug sekarang posisinya berubah diatas angin. Karena dengan terbitnya peraturan baru itu, otomatis hari kamis pun mereka bisa lenggang kangkung dan segera nggeblas meninggalkan ibukota termasuk didalamnya seonggok mahluk hidup yang tulisannya sedang anda baca.

Duh dek,dunia itu memang berputar, sekarang diatas besok bisa dibawah. Kalau sudah kaya gini, ama kamu juga masih percaya kalau bumi itu datar to?

***

Kegalauan akibat kebaikan Pak Joko itu mungkin saja dianggap lebay bagi sebagian orang, tapi percayalah bagi yang tidak pernah hidup merantau sorangan tanpa sanak saudara, maka sesungguhnya seilmiah apapun alasannya tak akan pernah anda mengerti. Tentu saja saya tak menyalahkan keputusan itu, yang kabarnya diusulkan oleh Kepolisian untuk mengantisipasi kemacetan parah dan hal-hal buruk lainnya di jalan raya sehingga para pemudik yang menggunakan jalan raya dapat sampai tempat tujuan dengan aman dan nyaman tanpa kendala berarti.

Meski begitu, tentu saja saya dan sebagian calon pemudik yang memang sudah menggenggam tiket impian dari 3 bulan sebelumnya tetap saja susah move on dan menyimpan dongkol di hati. Tambahan sehari di rumah itu sangat berarti bagi kami, mungkin saja kami bisa membantu cari daun pisang untuk bungkus lontong, melakukan surveilans dan investigasi siapa saja yang masih jomblo, mengacaukan dapur dengan membuat bolu yang tak bisa mekar atau yang paling penting ya sekedar bercengkerama bersama keluarga yang memang lama tak bersua.

Hingga akhirnya, sebuah pencerahan menghantam kesadaran saya.

***

Ceritanya, kemarin saya mampir ke stasiun mumpung lewat. Sekedar iseng sambil sekalian cetak boarding pass , biar pas hari H gak ikut desak-desakan. Di tengah suasana yang mulai hiruk pikuk dengan para pemudik, pandangan saya seketika menatap para petugas penjaga pintu masuk yang tambah sibuk, para petugas kebersihan yang selalu sigap membersihkan lantai dari sampah akibat ulah tak bertanggung jawab sebagian pengunjung, para porter yang lincah menawarkan jasanya, penjaga toilet yang bolak balik memastikan kebersihan tempat yang menjadi tanggung jawabnya, para sopir taksi yang antri dalam barisan menunggu calon penumpang, pak petugas kemanan yang senantiasa berjaga juga mbak-mas penjual di gerai makanan yang tetap ceria melayani konsumen meski mungkin saja mereka sedang berpuasa.

Tak cukup sampai disitu, otak saya yang sedang korslet seketika memikirkan pak masinis beserta kru nya yang tentu saja tak akan bisa merayakan lebaran bersama keluarga di hari H nya. Tiba-tiba bayangan pilot, pramugari/a , petugas ATC, sopir bus AKAP/AKDP/Trans-J/truk sembako dkk nya, nahkoda dan para petugas di pelabuhan, pak-bu Poltas juga TNI serta jajaran petugas kesehatan dan profesi lainnyayang tak menikmati libur di hari raya  berkelebat di benak saya. Ya, mereka yang memang harus tetap bertugas di hari libur tak terkecuali hari raya lebaran tentu saja juga pernah merasa sedih di hati. Meski merupakan konsekuensi profesi tapi tetap saja hal itu manusiawi adanya.

Hmmm, kamu pasti bakalan bilang mereka semua kan memang digaji untuk itu, yo wajar dan sudah seharusnyalah mereka mau. Duh dek, kamu itu mesti gitu ogh, seneng banget cari justifikasi demi bisa menyudutkan pihak lain yang ndak kamu dukung.

Nah kalau gitu tak kasih satu contoh, gimana dengan para penjaga perlintasan kereta api tanpa palang, yang senantiasa memastikan para pengguna jalan tukang serobot dan gak sabaran itu bisa pulang dengan nyawa  masih menempel di raga. Memang kadang mereka mendapat ‘uang tanda terimakasih’ tapi tak jarang dari mereka yang mendasarkan semua hal yang diperbuat nya di atas landasan keikhlasan semata. Di musim mudik seperti ini, tugas mereka pun makin berat Karena frekuensi kereta api yang lewat makin berlipat.

Jangankan buat jagongan sambil makan lontong opor di rumah, bahkan kadang hasrat kebelet pun mesti dikesampingkan kalau memang ada kereta mau lewat.

Mbak, mosok contohnya koq cuman satu tok, terus yang lain mana? pasti kamu pada komen gitu. Ishh, contoh lainnya mbok dicari sendiri to dek, lihat sekelilingmu biar kamu bisa jadi orang yang lebih peka, ndak cuma peko* (kena sensor)

***

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa kegalauan saya akibat tambahan cuti sehari sungguh sangat tak berarti di hadapan para ‘pahlawan’ yang tetap bertugas di hari lebaran. Sungguh berlebihan dan kekanakan sekali jika saya masih saja merasa rugi dan tak bisa mensyukuri atas semua kelapangan dan keleluasan yang telah diberikan pada saya selama ini.

Sebagai penutup, di akhir curhatan tak tentu arah ini izinkan saya untuk berucap selamat melanjutkan ibadah di bulan Ramadan yang tinggal sak nyuk-an ini, mari kita manfaatkan sebaik-baiknya siapa tahu ini perjumpaan terakhir, juga selamat mudik dan merayakan Idul Fitri di kampung halaman bagi yang merayakan, tetap waspada dan hati-hati dalam perjalanan dan tak lupa tetap semangat untuk semua yang karena satu dan lain hal tetap harus bekerja dan tak bisa ikut mudik lebaran.

***

Jadi gimana dek, kamu juga masih mau galau terus? Ya sudah sana terusin, tapi nggak mau nemani lagi lho ….

gambar: DeviantArt.com

Ikuti tulisan menarik indri permatasari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu