Terbitnya peraturan pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 telah dipandang berbagai pihak sebagai upaya penyalahgunaan pelaksanaan kewenangan. Bagaimana tidak, dalam sebuah sistem demokrasi dimana warga Negara dengan HAM-nya, kini dengan mudah bisa dibubarkan oleh pemegang kekuasaan tanpa proses yang transparan antara kedua belah pihak. Hal ini tentu akan menimbulkan keresahan masyarakat akan bangkitnya sebuah rezim apabila dilihat dari kacamata politik.
Demokrasi juga dalam sejarahnya, kita kenal sebagai bukti pencapaian kemerdekaan, sebab ada jaminan hidup yang lebih sejahtera dengan asas kesetaraan, keadilan, dan solidaritas(persatuan) bangsa. Namun dalam praktiknya dari masa ke masa, semboyan-semboyan demokrasi itu hanya tinggal sayat-sayat pilu bagi masyarakat luas yang masih mayoritas berada dalam kemiskinan. Sebuah demokrasi yang cacat lagi dan lagi dipertontonkan penguasa untuk membuat masyarakat pinggiran tak bersuara lagi. Ketika muncul berbagai ideologi dengan sudut pandang yang berbeda, harusnya pihak istana lebih mengevaluasi segala kebijakan politis apakah berguna bagi tatanam kehidupan warga Negara, atau justru menciderai kesinambungan sosial yang ada. Karna sangatlah penting pemerintah melihat sisi kesejahteraan manusia baik dari segi materi dan mental agar kemudian dipertimbangkan sebagai landasan dasar kebijakan pemerintah.
Berbagai organisasi radikal yang begitu sering disebut-sebut di media, sangatlah wajar jika kita ikut menganalisis ribuan suku bangsa dengan sejarah dan prinsip yang berbeda, ikut bertarung dalam dunia demokrasi berkembang. Selain itu, ketimpangan ekonomi yang tak berkesinambungan akhirnya memunculkan segala eksistensi hakekat manusia untuk mencari jawaban atas berbagai polemik kesejahteraan dan keadilan sosial bagi warga Negara. Maka sangat perlu kita mensinkronkan antara kebutuhan psikologis dasar manusia ditengah-tengah pembangunan yang begitu di dewakan akhir-akhir ini.
Akibat keruhnya globalisasi di Indonesia, ideologi pancasila perlu ditata ulang kembali dalam praktik-praktik kepemimpinan rakyat. Sebab dalam umur NKRI yang tak muda lagi, ruh pancasila masih digunakan sebagai bayang-bayang kepentingan untuk mencapai kehormatan dan popularitas oknum politik. Kegagalan kepemimpinan dimasa silam, cukuplah menghiasi generasi-generasi yang kini hampir cacat pikir.
Kepemimpinan ini menjadi aspek terpenting dalam menjalankan suatu Negara. Kepemimpinan yang sepihak akan mengurangi partisipasi perkembangan proyek transisi ideologi, yang harusnya menjadi fokus pendidikan kebajikan dalam membentengi pengaruh luar yang ingin merasuki jiwa pancasila anak bangsa.
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Unimed, aktif di Himapa, Himpunan Mahasiswa Pakkat
Ikuti tulisan menarik Azari Tumanggor lainnya di sini.