x

Satuan Tugas Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan memeriksa garis polisi yang terpasang di tumpukan gula rafinasi ilegal milik UD Benteng Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, 22 Mei 2017. ANTARA FOTO

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Impor Gula Tak Terelakkan

Kebutuhan gula di Indonesia rata-rata 3,5 juta ton, sementara produksi nasional hanya 2,2 juta ton

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana impor gula konsumsi sekitar 1,3 juta ton dan gula untuk memenuhi kebutuhan industri sebanyak 3,5 juta ton di 2017. Impor terpaksa dilakukan pemerintah lantaran produksi dalam negeri jauh dari kata mencukupi. Produksi gula dari pabrik-pabrik milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) tidak optimal mengingat mesin maupun pabriknya sudah uzur atau sudah tua.

Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita mengungkapkan, produksi gula di dalam negeri diperkirakan hanya sekitar 2,2 juta ton pada tahun ini. Jumlah tersebut masih jauh dari total kebutuhan gula konsumsi di Indonesia yang mencapai 3 juta-3,5 juta setiap tahun. Begitupun dengan gula untuk industri, seperti makanan dan minuman yang memerlukan pasokan 3,5 juta-4 juta ton.

Memang, panen tebu baru dimulai sekitar Mei-Juni. Akan tetapi, Enggartiasto sudah memperkirakan total produksi gula sekitar 2,2 juta ton di 2017. Itu berarti, pemerintah akan mengimpor sekitar 1,3 juta ton gula impor dari berbagai negara, seperti Thailand dan negara lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam per¬ekonomian Indonesia. Hal ini ¬karena gula merupakan satu dari sembilan bahan pokok yang tidak bisa lepas dari kebutuhan masyarakat. Namun, masalah gula masih menjadi masalah pelik di Indonesia.

Kebutuhan gula di Indonesia rata-rata kurang lebih sebesar 3,5 juta ton. Padahal produksi nasional perkiraan hanya sekitar 2,2 juta ton saja sehingga sisanya harus diimpor dari luar negeri. Akan tetapi, impor gula ternyata masih menjadi pro dan kontra. Hal ini karena kalangan petani dan industri gula menolak penjualan gula rafinasi di tingkat pengecer. Padahal itu akan merusak harga gula lokal mengingat gula rafinasi dijual dengan harga lebih murah per kilo gramnya.

Defisitnya produksi gula dalam negeri tentu saja mengakibatkan tingginya permintaan akan kebutuhan impor gula di Indonesia. Permintaan gula dalam negeri yang semakin meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk di Indonesia. Pemerintah selaku regulator harus dapat dengan bijak menentukan peraturan maupun kebijakan yang mampu mengatasi permasalahan ter-sebut.

Gula memang menjadi salah satu komoditas yang terus digantung untuk bisa mencapai peringkat swasembada. Di samping dialokasikan untuk keperluan konsumsi langsung (direct consumption), gula adalah bahan baku bagi industri makanan/minuman dengan perkembangan spektakuler.

Terus Berfluktuasi

Kita tahu, sejumlah kebijakan telah ditempuh untuk bisa meningkatkan kesejahteraan petani tebu dan meningkatkan produksi. Akan tetapi, sampai saat ini produksi gula terus berfluktuasi dan cenderung belum mampu menutup kebutuhan. Gugatan petani sering muncul saat harga tidak berpihak bersamaan sewa lahan dan biaya produksi meningkat.

Mengapa Indonesia tidak mampu memasok kebutuhan gula dari produksi lokal meskipun dari sisi sumber daya lahan dan agroklimat kita memiliki potensi terwujudnya kedaulatan pangan? Namun, pertanyaan hanya berhenti sebagai pertanyaan. Impor tetap menjadi opsi tak terelakkan ketika terjadi disparitas begitu besar antara kebutuhan dan produksi.

Sesungguhnya kita telah menyadari bahwa impor gula tetap menguras devisa dalam jumlah besar sekaligus menutup peluang pengembangan ekonomi regional. Akan tetapi, kita juga tidak berdaya ketika ternyata tidak mudah mendapatkan lahan untuk menunjang pembangunan PG baru. Kita pun seperti angkat tangan melihat rendahnya efektivitas program peningkatan produksi pada PG yang ada saat ini. Apa boleh buat memang.

Oleh: Gunoto Saparie

Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler