Oleh Gunoto Saparie
Beberapa waktu lalu beberapa media massa nasional sempat ramai memberitakan soal Bank Tanah, dari pengertiannya hingga tujuannya. Istilah Bank Tanah memang cukup asing di telinga orang Indonesia, karena kita belum pernah menerapkannya.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan Pertanahan Nasional berharap Peraturan Presiden (Perpres) tentang Bank Tanah akan terbit pada Agustus 2017 ini. Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN Himawan Arief Sugoto mengungkapkan, draf awal perpres Bank Tanah akan diserahkan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk dibahas di level kementerian dalam dua pekan ke depan.
Bank Tanah ini nantinya berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) dan akan memfasilitasi penyediaan lahan untuk pembangunan projek-projek infrastruktur di Indonesia, terutama untuk projek yang masuk kategori prioritas. Sesungguhnya banyak manfaat Bank Tanah bagi persoalan pertanahan di negeri ini, salah satunya dapat menyelesaikan persoalan mafia tanah.
Bank Tanah memang memerlukan biaya kuat dalam pengoperasiannya, karena salah satu tugasnya adalah mengakuisisi tanah publik untuk penggunaan masa depan sesuai master plan pembangunan. Sebagai contoh, projek pembangunan listrik 35.000 Mw yang dilakukan negara saat ini tertunda, masalahnya adalah pembebasan lahan. Namun, nanti di masa mendatang saat Bank Tanah ada, jauh sebelum projek digelar pembebasan lahan sudah dilakukan. Artinya, pembebasan lahan bukan lagi bagian dari tahap projek pengerjaan, melainkan tugas Bank Tanah yang dilakukan jauh hari sesuai master plan. Oleh karena itu diperlukan biaya besar dalam operasional Bank Tanah.
Sejumlah Pilihan
Meskipun begitu, untuk mendapatkan manajemen pertanahan yang baik bukan berarti kita harus memaksakan diri, menggelontorkan anggaran yang besar dari APBN. Ada sejumlah pilihan untuk membiayai Bank Tanah. Dalam praktik di beberapa negara, kegiatan Bank Tanah dibiayai dengan memanfaatkan pungutan pajak properti yang dikelola bank ini. Di samping itu, kegiatan Bank Tanah juga dibiayai hibah dari pemerintah. Di Prancis, misalnya, pajak lokal dipungut untuk membiayai pembelian tanah. Sementara itu di Belanda, pemerintah kota yang mengelola Bank Tanah memperoleh pinjaman dari bank umum dan pemerintah pusat untuk membeli tanah.
Dalam konteks Indonesia, skema pembiayaan tersebut dapat diadopsi. Dengan demikian, skema pembiayaan operasional Bank Tanah, meliputi anggaran pemerintah (alokasi APBN atau APBD), penerimaan pajak properti, dan pinjaman jangka pendek serta penerbitan obligasi.
Di samping tiga skema pembiayaan tersebut, Bank Tanah juga dapat memanfaatkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), baik dari BUMN dan BUMD maupun sektor swasta. Tidak menutup kemungkinan Bank Tanah mendapat dukungan dana hibah, baik dari lembaga donor domestik maupun lembaga donor internasional. Bentuk hibah ini tak mengharuskan Bank Tanah mengembalikan pembiayaan yang diberikan, biasanya cukup dengan menyampaikan laporan hasil kegiatan.
Sesungguhnya wacana Bank Tanah sudah beberapa tahun lalu disuarakan oleh kalangan pengembang perumahan. Ketika itu kalangan pengembang meminta pemerintah segera membentuk lembaga khusus yang menangani Bank Tanah untuk kepentingan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Wacana Bank Tanah dapat diartikan sebagai tuntutan agar pemerintah segera mengembangkan berbagai skenario pemanfaatan ruang secara aktif, bukan hanya membuat gambar rencana tata ruang, mengurus perizinan, dan menjalankan projek tahunan. Pemerintah secara lintas sektor dan bersama-sama pemerintah daerah harus memiliki berbagai sistem dan mekanisme dalam penggunaan dan pengendalian tanah, pengendalian harga tanah, pembatasan pemilikan tanah yang berlebihan di wilayah prioritas pembangunan, pemanfaatan tanah telantar, dan penguasaan dan pengelolaan tanah untuk pembangunan perumahan rakyat maupun kawasan permukiman.
Bank Tanah adalah simpul dari penataan kebijakan pengelolaan tanah perkotaan, membuka aksesibilitas tanah untuk perumahan, menuju jaminan bermukim bagi semua. Perwujudannya adalah berbagai bentuk skema penyediaan tanah yang terpadu dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas perkotaan. Dengan demikian, bank tanah adalah salah satu instrumen penting dari integrasi pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan menuju kota-kota yang inklusif dan berkelanjutan.
Pengembangan sistem Bank Tanah tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi menuju kota yang inklusif, di mana akses tanah/perumahan menjadi salah satu elemen pokoknya. Untuk menjalankan strategi ini, pemerintah perlu melakukan
langkah-langkah yang strategis dan melembaga.
*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah
Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.