x

Petugas Bank Indonesia menghitung dan memeriksa uang Rupiah tidak layak edar dari berbagai pecahan yang ditukarkan oleh masyarakat di loket Gedung C Bank Indonesia, Jakarta, 26 Juli 2017. Tempo/Tony Hartawan

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencermati Pelemahan Nilai Rupiah

Tidak ada gunanya, suatu nilai tukar menguat, jika volatilitasnya bergerak liar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Gunoto Saparie

Hari-hari ini sentimen dari luar negeri diperkirakan masih akan menekan nilai tukar rupiah. Betapa tidak?  Mengutip akhir September nilai tukar rupiah di pasar spot menguat 0,32% ke level Rp 13.472 per dollar AS. Namun, mata uang Garuda tercatat melemah 1,2%. Sementara, kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan, hari ini, rupiah melemah 0,21% ke Rp 13.492 per dollar AS. Sepekan, rupiah terdepresiasi 1,25%.

Memang, rupiah sebenarnya sempat menguat ketika suku bunga acuan BI turun menjadi 4,25%. Meski begitu, tak lama kemudian, rupiah kembali melemah akibat sentimen yang berasal dari luar negeri. Posisi dolar AS sudah meningkat sejak beberapa waktu lalu terhadap hampir semua mata uang di dunia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh karena itu, wajar saja kalau rupiah akan terdepresiasi terhadap dolar AS. Hanya saja, range pergerakan rupiah sedikit lebih lebar dibandingkan dengan pergerakan mata uang Asia lainnya. Hal itu diakibatkan sentimen negatif berupa rencana Donald Trump yang akan memangkas pajak korporasi sehingga membuat dolar AS diburu di pasar. Apalagi kini memasuki bulan Oktober, yang artinya The Fed akan memulai kebijakan balance sheet-nya.

Dalam hal ini, BI perlu mengintervensi pasar dengan menjual dolar di pasar, agar rupiah tidak menembus ke level Rp 13.600 terhadap dolar AS. Sebab, posisi non-deliverable forward rupiah sempat menyentuh level Rp 13.650. Setelah dikurangi swap point satu bulan, seharusnya kita berada di kisaran 13.610-13.620.

Sesungguhnya pelemahan nilai tukar rupiah ini masih lebih baik ketimbang beberapa mata uang Asia.  Kita lihat, misalnya, nilai tukar ringgit Malaysia terhadap dolar AS melemah 6,25% pada periode yang sama. Kurs dolar Singapura pun turun 6,57% terhadap dolar AS. Bahkan, baht Thailand melemah 7,53% sejak awal tahun.  Hanya mata uang peso Filipina yang berkinerja lebih baik katimbang rupiah di Asia Tenggara. Sejak awal tahun, peso menguat 2,40% terhadap dolar AS.

Harus diakui, dengan rezim devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (floating rate) yang dianut Indonesia saat ini, membuat pengelolaan nilai tukar rupiah menjadi tidak mudah dan menantang. Apalagi, dengan makin terintegrasinya pasar keuangan global dengan instrumen-instrumen keuangan yang makin kompleks dan rumit. Perekonomian dunia yang masih melempem telah mendorong otoritas kebijakan moneter di negara maju harus menjalankan kebijakan yang tidak konvesional dan di luar pakem (kebijakan suku bunga negatif).

Kondisi eksternal ini akan memicu volatilitas nilai tukar. Tidak ada gunanya, suatu nilai tukar menguat, jika volatilitasnya bergerak liar. Oleh karena itu, kita berharap, agar nilai tukar yang bergerak stabil. Bagaimanapun, jika volatilitas bergerak liar, maka hal ini akan sangat merugikan perekonomian.

Oleh sebab itulah, tantangan yang akan dihadapi oleh BI untuk memperkuat dan menjaga nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2017 tidaklah mudah. Selain harus menjaga kinerja rupiah yang positif, BI juga dituntut dapat menjaga volatilitas rupiah agar tidak bergerak liar.

Dalam kaitan inilah, BI tidak bisa bekerja sendiri. Sebaliknya, pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan harus lebih memperkuat koordinasi. Bagaimanapun, pergerakan nilai tukar rupiah tidak ditentukan oleh satu varibel, tetapi oleh banyak variabel yang saling kait-mengait.

Pemerintah diharapkan konsisten untuk menjalankan dan mengakselerasi implementasi paket-paket ekonomi, sehingga akan terus terjadi proses perbaikan terhadap struktur perekonomian. Ketika struktur perekonomian makin membaik dan kuat, maka ia bisa menjadi bantalan untuk menahan gempuran dari sisi eksternal.

Otoritas di sektor keuangan diharapkan juga dapat melahirkan kebijakan yang kredibel, akurat, dan terukur. Dengan demikian, akan terjaga persepsi yang positif dari investor di pasar keuangan. Pendalaman sektor keuangan domestik juga harus terus dilakukan secara konsisten, melalui kehadiran produk-produk sektor keuangan yang lebih terdiversifikasi, mendorong tumbuhnya investor domestik, khususnya investor ritel.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler