x

Kantor Majelis Ulama Indonesia. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

gunoto saparie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sertifikasi Produk Halal di Tangan BPJPH

MUI wajib membuka laporannya kepada publik sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kurang lebih 29 tahun lalu, tepatnya awal tahun1988, Buletin Canopy diterbitkan Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya (UB) Malang dan membuat heboh di kalangan masyarakat. Buletin itu memuat tulisan laporan penelitian Ir. Tri Susanto, M.App.Sc yang menyatakan bahwa sejumlah produk makanan dan minuman terindikasi mengandung lemak babi. Tak pelak, tulisan tersebut menimbulkan kepanikan di kalangan konsumen beragama Islam maupun kalangan produsen produk pangan serta sejumlah produsen mengalami penurunan omzet secara drastis.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia yang kemudian disingkat LPPOM MUI. LPPOM MUI berdiri pada 6 Januari 1989 berdasarkan Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep./18/MUI/I/1989, dengan rencana kegiatan utama melaksanakan pemeriksaan produk halal yang kemudian disebut sertifikasi halal.

Dalam rangka memperkuat lembaga sertifikasi halal, maka pada 1996, ditandatangani Nota Kesepakatan Kerja Sama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI. Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar mengeluarkan SK Menteri Agama Nomor 519 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal. Menteri Agama menunjuk MUI sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal, yang dikemas untuk diperdagangkan di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bersamaan dengan itu, Menteri Agama Said Agil juga mengeluarkan SK Nomor 518/2001 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal. Selain itu, sejak diterbitkan keputusan menteri pada 30 November 2001, MUI yang sudah melaksanakan sertifikasi halal hingga saat ini turut didukung regulasi lain yang menjadi landasan dalam menerbitkan sertifikat halal. Yakni UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

Kini MUI kehilangan hak atas penerbitan sertifikasi halal, lembaga alim ulama itu harus menyerahkan kewenangan menerbitkan sertifikasi halal kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Meskipun demikian, MUI masih dilibatkan dalam pemberian fatwa halal maupun haram.

Amanat Undang-undang

BPJPH adalah lembaga yang pembentukannya merupakan amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Payung hukum baru ini mengamanatkan pembentukan BPJPH paling lambat tiga tahun setelah UU disahkan atau pada 2017.

Berdasarkan UU JPH Pasal 6 pada huruf (c), jelas disebut bahwa BPJPH berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk. UU JPH yang disetujui Rapat Paripurna DPR pada 25 September 2014 memang bertujuan menjamin keamanan konsumen dan masyarakat, khususnya mayoritas muslim di negeri ini. Sebab, secara tegas disebutkan, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. UU yang terdiri dari 68 pasal itu juga tegas menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan jaminan produk halal (JPH). Tanggung jawab itu kini dipikul oleh BPJPH.

Dengan memakan anggaran sebesar Rp193 miliar, wewenang BPJPH antara lain merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri, serta melakukan registrasi sertifikat halal bagi produk luar negeri. Sertifikat halal wajib untuk seluruh produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia, mulai berlaku lima tahun sejak UU JPH diberlakukan, atau efektif pada 2019.

Dana yang diperoleh dari sertifikasi halal bisa dimasukkan ke kas negara melalui jalur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Oleh sebab itu, nantinya besaran tarif proses sertifikasi bakal ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.

Adapun kriteria produk halal yang dimaksud UU JPH adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat Islam. Meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat. Masa berlaku sertifikasi halal juga bakal terjadi perubahan. Jika saat ini hanya dua tahun, nantinya bakal berlaku empat tahun.

Harus diakui, sejak sertifikasi halal diberlakukan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak pernah benar-benar membuka rinciannya. Mulai dari berapa yang didapat, apa saja alokasinya, semua tidak pernah dibuka kepada publik. MUI merasa tidak semua anggarannya bisa dibuka ke publik.

Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono berpendapat, MUI merupakan badan publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN, APBD, dan sumbangan masyarakat atau asing. Karena itu, MUI wajib membuka laporannya kepada publik sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Padahal, MUI sudah mengutip biaya sertifikasi halal sejak 1989 dan mendapat “dukungan” regulasi berupa SK Menteri Agama sejak 2001. Kementerian Agama mengaku tak pernah mendapatkan laporan mengenai dana tersebut. Wallahua'lam bisshawab.

Oleh: Gunoto Saparie

Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Tengah

Ikuti tulisan menarik gunoto saparie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler